Universitas Seni Kota M
Aliysia akhirnya sampai di kampus, ia berjalan tanpa membelok ke sana atau ke sini, lurus ke tujuan utama yaitu aula tempat kami biasa berkumpul dengan nona Indy. Di perjalanan ia juga bertemu dengan teman yang dikenal, hingga kini jalan bersamanya dengan sesekali berbincang mengenai apa yang ingin disampaikan oleh nona Indy hari ini.
"Kira-kira, apa yang akan dikatakan oleh Nona Indy. Kamu bisa menebak tidak?" tanya Tiara dan Aliysia yang mengangkat bahu tanda jika tidak tahu.
"Entahlah, tapi sepertinya sesuatu yang penting."
"Apa karena pemilihan itu?"
Kembali Tiara bertanya saat mendengar Aliysia menanggapi, meski tatap dengan nada malas, tapi ia tetap penasaran.
"Mungkin saja."
"Bagaimana kalau memang iya?"
Aliysia memutar bola bola mata karena Tiara sama sekali tidak berhenti bertanya, padahal ia sedang tidak sedang dalam kondisi baik untuk ditanya ini dan itu.
Tidak lama kemudian keduanya sampai di ruang tujuan. Aliysia dan Tiara duduk nyaman di kursi, bersama yang lain dengan obrolan yang tertunda saat terlihat miss Indy yang datang dengan seorang pria asing berjalan bersisihan.
Pria itu adalah pria perwakilan dari universitas luar negeri, menurut penuturan nona Indy berniat memilih beberapa mahasiswa untuk menerima beasiswa full dibidang seni suara khususnya sopran, seperti mereka.
Benar.
Pria yang menjadi tujuan Aliysia, sehingga ia sungguh-sungguh memberikan penampilan terbaiknya saat acara berlangsung kemarin.
"Hallo guys, let me introduce someone to you. Mr. Smith, please, ( Haloo semuanya. Izinkan saya perkenalkan seseorang kepada kalian. Mr. Smith, silakan)"
"Hallo guys, My name is Smith dan nice to meet you."
Mereka yang di sana menanggapi dengan antusias, setelahnya melakukan perkenalan singkat dengan beberapa pemberitahuan dari Mr. Smith, yang salah satunya adalah nantinya akan ada yang terpilih salah satu di antara para penyanyi berprestasi.
Beliau juga memberitahu, jika yang tidak terpilih bukan artinya tidak berprestrasi, melainkan hanya kurang beruntung. Akhirnya beliau pun meninggalkan ruangan, yang tentu saja langsung gaduh karena berita sejuk yang didengar para mahasiswi.
Beasiswa ini adalah harapan bagi mereka, tentunya ini juga tangga menuju kesuksesan bagi para mahasiswa yang ikut dalam acara.
Banyak yang menaruh besar harapan pada pemilihan nanti, termasuk Aliysia yang memiliki pikiran positif jika di antara sekian mahasiwa yang terpilih ada ia salah satunya.
Aku harap aku masuk list, batinnya berharap.
Puk!
"Sya."
Tepukan dari Tiara juga panggilan darinya membuat Aliysia segera menoleh, kemudian memasang wajah bertanya dengan sebelah alis terangkat.
"Hm?"
"Itu...."
"Apa?" tanya Aliysia, ketika Tiara seakan ragu mengatakan pertanyaan dan hanya menatap dengan bola mata bergulir ke arah lain. "Apa, Tiara? Kenapa hanya diam saja," imbuhnya gemas.
"Emh.... Begini, jika kamu mendapatkan beasiswa itu. Kamu siap pergi meninggalkan kota ini? Bagaimana dengan keluargamu? Lalu, apa kamu yakin bisa menyeimbangkan dan beradaptasi dengan cepat?" tanya Tiara bertubi-tubi, nada yang digunakannya terdengar khawatir membuat Aliysia terdiam.
Bukannya apa, ia tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan dengan keluarga dibawa serta, sesuatu yang sangat sensitive baginya.
Namun, ia tetap mencoba biasa saja dan mengulas senyum dengan bahu terangkat tidak acuh.
"Ya seperti itulah, kalau soal adaptasi kamu tenang saja, aku atau kamu ketika terpilih pasti bisa segera beradaptasi, cepat atau lambat. Lalu, masalah siap atau tidak ya harus siap, apalagi aku sudah menunggu pemilihan ini dari lama," jelas Aliysia apa adanya, meski tidak dengan hati yang kembali memikirkan ucapan terakhir darinya sendiri.
Dulu, ia pasti tanpa ragu menjawab jika ia siap kapanpun meninggalkan kota, tapi tidak dengan sekarang karena ia memiliki seseorang yang membuatnya berpikir dua kali.
Siapkah ia meninggalkan kota untuk kuliah dalam waktu lama? Sedangkan ada seseorang yang mulai menempati hatinya?
Huft…. Menyebalkan, kamu pasti bisa, Liysa, lanjutnya dalam hati.
"Benar sih, aku juga sangat siap, ha-ha…. Sepertinya pertanyaanku salah deh kalau itu kamu, tapi kamu tahu tidak penampilanmu sungguh memukau, aku yakin kamu yang akan dipilih."
"Umh, semoga saja."
***
Berlin, Jerman.
Waktu tempat Vian berada dan kota M berbeda sekitar enam jam, itu artinya jika Jerman pukul tujuh pagi di kota tempat Aliysia berada saat ini pukul satu dini hari.
Sekitar pukul tiga pagi tadi, Vian sampai di Flughafen Berlin-Schönefeld dan dijemput oleh utusan dari partner bisnis yang mengundangnya dalam kerjasama kali ini. Utusan tersebut mengantar Vian ke hotel tidak jauh dari perusahaan Pen Corp, tempat saat ini ia berada.
Ya, benar. Saat ini Vian sudah berada di hotel mewah, tepatnya di sebuah kamar president suite room yang akan menjadi tempat tinggal di beberapa hari ke depan. Sekalian tempat ia dan Aliysia menjalani bulan madu palsu untuk menyenangkan hati sang mama.
Berbicara tentang Aliysia, Vian sama sekali belum menghubungi si bocah atau memberi kabar kalau ia sudah mendarat dengan aman di Berlin. Padahal, sewaktu Aliysia mengantar ke bandara, si istri kontrak meminta untuk mengirimnya kabar jika ia sudah sampai di tujuan.
Namun lihat saat ini, ia justru tidak menghubungi dan membiarkan gawai tergeletak saja di nakas samping tempat tidurnya.
"Biarkan saja, ini lebih baik daripada aku semakin menginginkan dan berakhir dengan bertukar pesan denganmu. Aku tidak ingin kamu semakin memiliki rasa terlarang ini," lirihnya kemudian memutuskan untuk membersihkan diri.
Ya, karena sebenarnya akan ada pertemuan dengan klien, Vian sengaja tidak membuang waktu dengan bersantai karena ia tidak tahu apakah akan rumit atau tidak proses kerjasama dengan kliennya kali ini.
Sekitar setengah jam kemudian, Vian keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya memakai handuk. Sejenak ia kembali memeriksa gawai, bermaksud untuk melihat notifikasi selama ditinggal mandi.
Endra tentu menghubungnya, juga mama yang menanyakan keadaan di sini lalu seterusnya tidak ada.
Apa yang diharapkannya. Lagian, Vian yakin jika Aliysia masih tertidur mengingat di sana masih terlalu dini hari. Lalu, bukankah ia pun sudah menanamkan dalam hati, jika ia hanya menganggap sebagai adik dan tidak lebih.
"Baiklah, lebih baik aku segera memakai baju dan segera berangkat," putusnya dan bergegas membuka koper, mengambil setelan kemeja yang hari ini akan dipakai.
Vian belum sempat merapikan pakaian dan barang-barang yang dibawa, mungkin nanti ketika ia selesai dengan urusan bisnis.
Kemeja biru dongker saat ini sudah membalut tubuh dengan sempurna, seraya memakai arloji kesayangan yang selalu melingkari pergelangan tangan, Vian berjalan menuju jendela lebar kamar dan melihat pemandangan kota Berlin.
"Akan sangat menyenangkan, jika aku menghabiskan waktu istirahat setelah bekerja, dengan seseorang yang spesial," gumamnya dan tiba-tiba saja muncul wajah seorang wanita, sedang tersenyum di depan mata dengan memanggil namanya ceria.
Vian
Bersambung