Apartemen Soho
Apa lagi ini, ya Tuhan.
Sungguh, Vian hanya bisa membatin, speechless. Bahkan, ia sampai berhenti dari acara berjalan, ketika pertanyaan sang mama masuk di indra pendengaran dan membuat jantungnya berdetak kencang.
Tepatnya sebal dan tidak menyangka, jika mamanya memiliki pemikiran demikian.
Apa itu berpelukan romantis, yang benar saja!?
[Vian, kamu dengar Mama 'kan, Sayang. Kok diam saja?]
Suara mama yang memanggilnya dengan cemas membuat si empu nama tersadar dalam keterdiaman. Tak lama kemudian menggeleng kepala, mengenyahkan pikiran luar biasa menanggapi perkataan sang mama beberapa detik sebelumnya.
Memamerkan foto anaknya bulan madu kepada teman-teman, mamaku luar biasa sekali.
"Iya, Mah. Aku hanya sedang membuka pintu kamar, jadi kurang fokus dengan apa yang ditanyakan Mama," sahut Vian mencoba biasa dan menjelaskan.
[Kamu buat Mama khawatir saja.]
"Maaf," gumam Vian singkat, seraya duduk di ranjang king size, kemudian menengadahkan wajah ke atas melihat langit-langit kamar.
Ia jadi ingin mendesah lelah, tapi takut kedengaran sang mama yang memiliki pendengaran sensitive jika itu tentangnya.
[Tidak masalah Sayang, yang penting kamu baik-baik saja. Jadi, bagaimana dengan pertanyaan Mama sebelumnya? Kamu mengerti dong maksudnya apa.]
"Mama tenang saja, oke? Kami akan ke Jerman untuk bulan madu, nanti kami kirim fotonya saat pergi jalan-jalan bersama. Begitu 'kan kemauan Mama?" tutur Vian merayu, mengulangi apa yang diinginkan sang mama dengan berat hati.
Lebih baik seperti ini, daripada panjang urusannya dan ia tidak bisa istirahat dengan sang mama yang masih merusuh.
[Sungguh? Benar yah, Vian. Kalau begitu salam untuk Liysa. Kapan-kapan kalian main ke sini, masa Mama main ke apartemen kalian dan kalian tidak ke sini. Tidak adil itu namanya, kamu mengerti?]
"Hn, akan aku sampaikan. Siapa tahu saja jadwalnya Liysa tidak padat ya Mah. Jadi Mama dan istriku bisa berbincang bersama sampai puas, ketika main ke rumah," balas Vian masih dengan janji manis, sampai-sampai menyebut si bocah 'istriku' segala macam.
[Siap deh, kalau begitu sudah ya, selamat istirahat, Sayang!]
"Hn, Mama juga istirahat dan jaga kesehatan," sahutnya dan kemudian panggilan pun selesai ketika sang mama memutus sambungan.
Tut!
"Aku harus merasa bahagia dengan pernikahan ini. God, ini salahku dan aku mengakuinya. Jadi, aku tidak perlu mengeluh dan jalani saja hingga pernikahan kontrak kami berakhir. Dan sebaiknya aku mandi," putus Vian, kemudian berdiri dari duduk lelah dan berjalan ke arah ruangan lembab biasa tempat ia membersihkan diri.
Tiga puluh menit kemudian ...
Ceklek!
Vian keluar dari kamar mandi dengan tangan sibuk menggosok rambut setengah basah. Ia berjalan ke arah nakas tempatnya meletakan gawai sebelum mandi. Ia berniat untuk menghubungi Aliysia, memastikan apakah si istri bocah sudah dalam perjalanan pulang atau jusrtu masih berlatih vocal.
Bukannya apa, ini memang sudah cukup malam bagi ukuran wanita seperti Aliysia.
Tut… Tut…. Tuuut-
Kening Vian sontak mengernyit, ketika panggilan pertama diabaikan oleh si bocah. Biasanya, jika diabaikan seperti ini Aliysia masih berlatih, meski tidak tahu iya atau tidak.
Vian pun memutuskan untuk menghubungi Aliysia lagi nanti, lebih baik ia keluar dan memeriksa ada makanan apa yang bisa dikonsumsi malam ini.
Masih dengan menggosok rambut, ia keluar hanya dengan bawahan boxer, tanpa memakai baju sehingga kini otot perut hasil latihannya terpampang bebas.
Vian tidak perlu merasa khawatir dengan orang lain, paling juga si bocah yang akan berteriak jika ada dan melihatnya yang seperti ini.
Aliysia sungguh lucu jika sedang melihatnya dalam keadaan seperti ini. Mulutnya berteriak dengan cibiran diakhir. Namun, dari sela jari ada sepasang bola mata yang melihat tepat di bagian kotak-kotak perutnya.
Vian tahu itu, tentu saja karena dia berkata dengan jelas jika ....
Ceklek!
"Yah! Kebiasan banget kamu, Vian. Pamer kotak-kotak enam jelek tak terawat dengan berani seperti itu. Tutup sana, pakai bajumu! Dasar tidak tahu malu!"
Nah! Baru juga diceritakan, orangnya ternyata sudah ada di ujung pintu masuk. Sepertinya, ketika Vian membuka pintu, Aliysia juga kebetulan membuka pintu masuk hunian.
Namun sayang, pekikan horor Aliysia hanya dijawab Vian dengan dengkusan, ketika saat ini pun si wanita sedang menutup pintu dengan memunggungi, juga telapak tangan yang masih menutupi mata.
Dengan santai serta cuek yang selalu diperlihatkan, Vian tetap berjalan menuju dapur, melewati Aliysia yang sedang melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah.
Sandal rumah menjadi sepasang, lengkap dengan rak yang kini dipenuhi sepatu milik Aliysia.
Vian sampai bertanya-tanya, bagaimana bisa Aliysia memiliki sepatu dengan brand ternama yang harganya tidak diragukan lagi.
Ia curiga, tapi sayang rasa curiganya tidak bisa begitu saja dituntaskan dengan bertanya blak-blakan kepada si bocah.
"Vian, kamu sudah mandi?" tanya Aliysia seperti biasa, selalu cari hal sepele untuk memulai percakapan bersama si pria, yang kini jalan di depannya dan memperlihatkan punggung dengan tato di tengkuk.
Gambarnya bagus, sampai-sampai ia ingin sekali menyentuh dan melihatnya lebih dekat, penasaran.
"Hmm," gumam Vian pelan, menuai dengkusan kesal dari Aliysia yang kini mengekori sambil mencebil, meski tetap saja merusuh dengan banyak pertanyaan setelahnya.
"Kamu lagi apa? Mau kemana?" tanya Aliysia lagi, benar-benar tidak akan puas jika Vian belum menjawab pertanyaannya dengan benar.
Lagian, meski mengerti dengan gumamam Vian, tapi ya janga setiap hari juga kalau ditanya bergumam.
"Hmm…."
"Vian, jawab pertanyaanku yang bener lah, masa hanya bergumam kalau bisa menjelaskan dengan benar. Isk! Kesal deh," protes Aliysia dengan nada manja layaknya seperti bocah.
Ia menatap sebal punggung Vian dengan memicing, seakan ingin membuat bolong si empu punggung yang akhirnya menjawab dengan benar, masih berjongkok di depan kulkas.
"Mencari sesuatu, Aliysia Tjia. Memangnya kamu tidak lapar apa?"
"Lapar dong!"
Nah, bocah 'kan.
Giliran dijawab dengan baik dan benar plus dengan bumbu makanan sebagai penjelasan didalamnya, Aliysia akan menanggapi apa yang dikatakan si suami paman dengan riang serta gembira.
"Kalau begitu kamu yang masak sana," sahut Vian sambil membalik badan untuk menghadap ke si bocah yang seketika kembali menutup mata, belum lagi dengan pekikan yang kembali terdengar.
Cempreng sekali, untung saja ini apartemen dan bukannya kosan dengan dinding tipis sebagai pembatas.
Coba kalau demikian, pasti sudah dikira ada 'apa-apa' dengan keduanya, meskipun tidak masalah juga sih karena mereka jelas pasangan suami-istri.
"Yah! Jangan hadap sini, Vian. Mau aku pukul? Aku pukul nih!" seru Aliysia dengan nada panik, serta satu tangan lainnya terangkat membuat gesture ingin memukul. Sedangakan tangan satunya tetap di kelopak mata, menutupi netra yang masih bisa melihat melalui sela jarinya.
"Percuma ditutupi juga, kalau kamu tetap bisa melihat tubuhku melalui sela-sela jari. Iya 'kan, ngaku kamu?" ledek Vian dengan seringai miring dan Aliysia yang melihat seringai itu cepat-cepat berbalik, memunggungi disertai dengan gerutuan mengejek ikut terdengar
"Cih, kamu sok pamer."
Pftt….
Bersambung