Apartemen Soho
"Selamat makan."
Suara Vian yang tiba-tiba terdengar membuat Aliysia tersentak kecil, kaget, sepertinya ia tidak sadar sudah melamun karena pemandangan indah yang menjadi hal biasa baginya.
"Selamat makan, Vian," sahutnya mencoba biasa dan keduanya pun memulai acara makan tanpa ada pembicaraan berarti, sibuk dengan masing-masing apa yang ada di piring.
Vian yang seperti ini, kenapa sampai putus dengan para mantan dan ditinggal calon istrinya yah? Aku rasa mereka akan sangat menyesal, menyia-nyiakan pria sepertinya, okay lupakan fakta jika dia jahil. Anggap saja itu nilai minus di antara plusnya. Manusia 'kan, tidak ada yang sempurna. Benar tidak?
Aliysia hanya bisa membatin di antara suapan sambil diam-diam memperhatikan, bagaimana cara si pria mengunyah dan terlihat santai. Ya…, meski harus kembali kaget, kemudian mengangguk ketika Vian akhirnya bertanya, memecah kesunyian di antara keduanya.
"Enak?"
"Umm…. Enak dong, ini enak banget," sahut Aliysia cepat, mengangguk semangat dan seketika dibuat mencebil saat mendengar cibiran untuknya.
"Enak lah, kamu 'kan tinggal makan dan tidak membuatnya, beda sama yang mengolah sampai matang seperti ini."
Wah! Si bapak nyinyirnya kelewatan.
Alhasil, Aliysia berdecih dengan delikan kesal tanpa sungkan. "Cih!"
"Oy! Dilarang mengumpat di meja makan apalagi sama yang tua," sambur Vian, balas mendelik dan sayangnya itu menjadi suatu lowongan untuk Aliysia balas mengejek.
"Bagus! Kamu akhinya mengakui diri sudah tua, Vian."
"Bilang apa kamu, Liysa?"
"Ampun, Vian. Yuk ah! Mari kita lanjut makan, jangan sampai dingin," sahut Aliysia menyerah, tidak ingin membuat si suami paman mengamuk dan beruntung ajakannya kali ini berhasil membuat Vian tidak jadi marah kepadanya.
Selalu seperti ini, makan dengan diselingi cekcok yang justru menjadi hal berbeda.
Meski awalnya diam dan tenang ketika menyantap makanan, tapi nyatanya jika sudah diberi kesempatan berbicara maka Aliysia menyahuti ucapan, dengan Vian yang anehnya membalas suka cita.
Sesungguhnya, wanita yang akan menjadi istrimu kelak sangat beruntung, Vian, batin Aliysia menatap dalam diam ke arah Vian yang sedang asik dengan makanan.
"Vian."
"Hn?"
"Besok salmon lagi ya, he-he…."
Sontak Vian mendelik segera, melihat cengiran tanpa dosa yang diperlihatkan kepadanya.
"Salmon enak Vian, aku pintar karena rajin makan ikan salmon."
"Terus, apa hubungannya sama aku, bocah?"
"Ada dong Vian, kamu 'kan yang beli dan masak."
Ini makan malam kesekian keduanya dengan suasana hening yang berganti, ketika Aliysia sendiri sudah mulai merusuh. Padahal, Vian bukan orang yang suka berbincang ketika makan. Namun, seminggu bersama Aliysia yang merecoki, ia menyerah dan membalas setiap apa yang dilontarkan oleh si bocah.
Pertama kali makan bersama, ia harus dibuat mendengar rengekan dengan ujung ia sendiri yang terganggu. Jadi, daripada tidak diladeni dan semakin menjadi rusuhnya, mau tidak mau ia membalas setiap apapun celotehan Aliysia.
Seminggu ini Vian akui hidupnya berwarna dan perannya pun bertambah, dari yang awalnya hanya seorang CEO di perusahaan sendiri, kini bertambah menjadi chef di rumah sendiri.
Semuanya menjadi sendiri, jangan tanya penyebabnya, karena itu sudah sangat jelas si bocah yang merangkap sebagai istri kontraknya.
Seperti saat ini, ketika lagi-lagi ada saja yang dilakukan Aliysia saat ia sedang menikmati makanan. Dimana, dengan senyum lebar yang diulas, si bocah kembali mengisi piringnya dengan makanan.
Padahal, baru saja tenang saat ia sudah diam tidak membalas ucapan terakhir si bocah.
"Liysa, sudah jangan ditambah."
Vian menatap protes, menegur Aliysia yang justru hanya mengangkat bahu acuh, sungguh menyebalkan.
"Biar banyak tenaga, Vian. Kamu 'kan sudah kerja keras hari ini," jelas Aliysia kemudian kembali menikmati makanan dengan santai, tanpa peduli dengan Vian yang sudah menggerutu di dalam hati.
"Memangnya buat apa tenaga malam-malam begini?" tanya Vian dengan sebelah alis terangkat, menghentikan acara makan dan menatap si bocah dengan senyum miring terpasang.
Ia mempunyai rencana untuk membuat si bocah diam dan makan dengan tenang, belum lagi setelah ini ia ada pekerjaan.
"Siapa tahu saja, kamu mau olahraga malam-malam. Iya 'kan?" jawab Aliysia ikut berhenti menyuap dan menatap dengan kening berkerut.
Bukankah makan banyak memang untuk menambah tenaga dan agar perut kenyang. Iya tidak sih?
Vian yang mendengar penjelasan Aliysia sontak menggeleng kepala, kemudian menautkan tangan untuk menyangga dagu dan menatap si bocah dalam, intens. "Kamu kok tahu kalau aku memang suka olahraga malam?" tanyanya membenarkan dengan nada mendayu.
Apa kataku, batin Aliysia.
Ia merasa senang karena tebakan benar. Wajahnya bahkan sumringah dengan binar cerah, kemudian membalas ceria apa yang dikatakan Vian.
"Nah! Benar 'kan, apa kataku kamu itu memang butuh asupan banyak untuk kuat saat berolahraga-
"Berolahraga yang menghasilkan keringat bersamamu, Liysa. Bagaimana, apakah kamu mau olahraga bersamaku, heum?" sela Vian dengan cepat apa yang akan dikatakan oleh Aliysia.
Alisnya sudah terangkat tinggi, mengulas seringai layaknya om mesum sambil menahan semburan tawa.
Bukannya apa, ia tidak kuasa saat mendapati Aliysia menatapnya dengan bola mata semakin membulat sempurna, kemudian melempar sebutir buah anggur disertai dengan gerutuan yang terdengar sekali kesal kepadanya.
Ya Tuhan, si bocah kalau ngamuk anarkis sekali, untung saja hanya sebutir anggur, bukan gelas atau garpu.
Kalau sampai itu terjadi, sudah dipastikan saat ini kepalanya sudah menjadi korban.
"Vian! Jangan menyebalkan, mulutnya minta ditampol dengan penggorengan ya? Reseh banget jadi manusia."
Aliysia mengamuk dengan apa yang dikatakan Vian, tapi sayang amukannya jutstru membuat si tersangka terkekeh akan reaksi berlebihan yang dikeluarkan olehnya.
"Ha-ha-ha.... Kamu cepat sekali nyambungnya kalau urusan olahraga berkeringat. Padahal, yang aku maksud bukan olahraga 'itu' loh, tapi olahraga yang melakukannya dengan berpasangan. Berarti bukan aku yang minta ditampol, tapi kamu. Dasar bocah dengan pikiran mesum, masih bocah sudah memiliki pemikiran kotor apalagi saat besar nanti," ejek Vian panjang lebar, tertawa kesenangan saat melihat mulut Aliysia yang menganga.
Ia juga menampilkan seringai meledek andalan, sehingga si bocah yang melihatnya kembali membulatkan mata dan kali ini lebih bulat dari yang dilihatnya pertama kali.
"Halah! Kamu hanya ingin mengelak 'kan? Akui saja deh, pasti pikiran kamu sendiri yang sudah kesana kemari dan melanglang buana. Malah nyalahin aku yang hanya seorang gadis polos," sahut Aliysia masih tidak mau mengalah, justru balik memojokkan dengan mengakui diri sebagai gadis polos.
Vian lagi-lagi menggelengkan kepala dan memilihi menyudahi pertengkaran ini. Akan sangat panjang jika ia meneruskan, bisa-bisa keduanya malah saling balas hingga waktu yang tidak bisa ditentukan.
"Kamu sok tahu, aku tidak memiliki pemikiran seperti itu. Sudah! Sebaiknya kamu cepat selesaikan makanmu, aku masih ada pekerjaan dan lagian, ada yang harus kita bicarakan setelah ini, jika kamu lupa," tukas Vian mengalah, padahal jelas ia duluan yang memulai apa yang menjadi permasalahan.
Meski masih mendelik tajam ketika bersitatap dengan Vian, Aliysia pun akhirnya menurut, kembali makan dan menyelesaikan makan dengan tenang, sambil sesekali melirik dengan memicing.
Sepertinya masih curiga, jika olahraga yang Vian maksud adalah olahraga plus-plus.
Ck! Kenapa kamu membuatku seperti laki-laki mesum seperti ini, batin Vian mengeluh.
Bersambung