Apartemen Soho
Cukup lama keduanya sama-sama diam dan ruangan kembali sunyi sampai akhirnya Vian menghela napas, memikirkan jalan keluar dari permasalahan bulan madu.
Vian sadar diri, tidak mungkin memaksa kehendaknya kepada Aliysia, apalagi sampai membuatnya batal mengikuti pentas suara yang sudah menghabiskan waktu juga tenaga, pastinya.
Sedangkan Aliysia, ia sebenarnya sangat ingin ke Jerman, pergi jauh untuk sejenak istirahat dari aktivitas, sekalian menghindar dari dua paman yang sudah tidak mengejarnya sesering dulu.
Sampai akhirnya suara Vian kembali terdengar, dengan usulan yang membuat Aliysia segera melihatnya.
"Atau.... Kamu menyusul saja? Nanti, aku akan menjadwal ulang tiket pesawatmu. Jadi, kamu tetap bisa tampil dan aku bisa memenuhi permintaan Mama. Bagaimana? Kupikir ini bisa jadi solusi kalau yang menjadi sandungan waktu," jelas Vian setelah memikirkan semuanya.
"Bisa seperti itu, Vian?"
"Tentu saja, apa yang tidak bisa, apalagi hanya jadwal tiket," sahut Vian segera, lega seketika karena akhirnya tidak mengganggu jadwal rencana yang dibuat.
Dengan begini, satu kali dayung dua pulau terlampau. Bisnis dan sang mama sama-sama dijalani, beres.
Aliysia yang mendengar tentu saja menampilkan wajah sumringah, bahkan ia sampai berdiri dari duduknya dan pindah di sebelah Vian kemudian memeluknya erat.
Grep!
"Terima kasih, Vian. Aku sebenarnya ingin sekali ke Jerman dari lama, tapi sayang Papa tidak memperbolehkan karena tidak aku pergi sendiri," ujarnya dengan nada senang, meskipun di akhir menggerutu tentang orang tuanya.
Namun, wajah Aliysia tidak menampilkan ekspresi kesal sama sekali dan Vian bisa melihat tatapan seolah menahan rindu.
Bukankah aneh. Kenapa dia tidak menemui Papanya, jika memang dia merindukan keluarga, batinnya bingung.
Kendati sering bingung dengan ekspresi yang ditampilkan Aliysia, kalau sudah membahas keluarga, Vian berusaha untuk mengabaikan dan menganggap hal itu bukan sebagai urusannya.
Ia baru saja ingin melepas rangkulan, tapi ada yang aneh dengannya, tepatnya kenapa kedua tangannya justru terangkat dan membalas rangkulan dengan menepuk kepalanya?
Bukan hanya itu, ternyata jantungnya pun ikut berdebar dengan rasa asing yang membuatnya melotot sendiri.
Kenapa seperti ini?
Deg~Deg~Deg
Jantungku, berdebar?
Vian tersentak tersadar dari lamunan, ketika akhirnya Aliysia melepas rangkulan dan segera menatapku dengan senyum lebar khas, yang akhir-akhir ini selalu dilihatnya.
"Sudah beres 'kan, Vian? Kalau begitu aku masuk kamar dulu, besok ada pelatihan lagi, selamat malam, Paman Vian," ujar Aliysia semangat dan meninggalkan Vian tanpa menunggu jawaban.
Blam!
Ya, meninggalkan Vian yang ingin protes, tapi kembali ditelan dan justru kini termenung dengan kening mengernyit, serta hati yang tiba-tiba merasa kosong.
Sungguh, ia sering berpelukan dengan seorang wanita dan melakukan skinship lainnya. Namun ini tidak sama, rasa yang diberikan Aliysia berbeda dari yang lainnya.
Dulu, ia sering berkata ingin menemui wanita yang bisa membuatnya berdebar, lalu saat ini ia merasakannya.
"Jangan bilang ..."
Ke esokan harinya
Di kamarnya, tampak Aliysia yang sudah rapi dengan rambut panjang yang diikat menjadi ekor kuda.
Ia ada latihan sampai malam lagi, tapi sama sekali tidak mengeluh dan justru sangat bersemangat menuju hari perhelatan.
Ya, apalagi setelahnya ada perjalanan ke Jerman bersama Vian, membuatnya semakin senang dan semangat saja.
Ia keluar dari kamar, membawa tas punggung dan menemukan si empu hunian yang duduk di sofa, dimana ia pun menemukan secangkir kopi dengan uap mengepul di atas meja.
"Selamat pagi, Vian!" sapa Aliysia ceria.
Vian hanya melirik dan mengangguk, sibuk pula dengan gawai di tangan yang membuat Aliysia mengangkat bahu, tidak mempermasalahkan.
Ia memilih ke dapur dan mengambil susu cokelat kotak siap minum, kemudian menyeruputnya sambil kembali jalan menghampiri Vian, duduk berhadapan.
Suara seruputan dari pipet membuat Vian yang sedang menyeruput kopi, melirik dengan gelengan kepala saat Aliysia menikmati susu cokelat dengan wajah semringah.
Padahal hanya susu kotak, tapi sebegitunya suka dan menikmati sampai-sampai berbinar seperti itu.
Bocah, dengkus Vian dalam hati.
Ia juga meletakkan cangkir di meja dengan suara beradu lembut, tapi cukup membuat Aliysia melirik dan memperhatikan.
"Uangmu yang kemarin masih ada?" tanya Vian tanpa nada berarti, sambil melirik arloji yang kini menunjukkan pukul delapan.
Masih ada beberapa puluh menit lagi untuk sampai kantor, jadi bisa santai menikmati kopi, hal yang jarang didapatnya.
"Masih, tenang saja."
"Hn." Vian mengangguk, kemudian mendorong kartu berwarna gold ke hadapan Aliysia yang justru menatap bingung. "Selanjutnya kamu bisa mengambil uang dari sini dan tidak perlu meminta izin kepadaku. Kamu berhak mendapatkannya," lanjutnya menjelaskan.
"Tidak perlu Vian, aku-
"Hn, tidak menerima penolakan."
Aliysia mau tidak mau mengangguk, kemudian mengambil kartu tersebut dan menyimpannya didalam dompet.
Dompet yang tidak diperlihatkan kepada Vian, dimana barisan kartu tersusun rapi, tapi yang diberikan si pria dipisah dari lainnya agar tidak tertukar.
"Pinnya sudah kuubah menjadi tanggal pernikahan, agar kamu juga ingat," lanjut Vian menjelaskan.
"Aku mengerti."
"Kalau begitu aku duluan, kamu ingin kuantar?" tawar Vian, tapi sayang Aliysia menggeleng kecil.
"Tidak perlu, aku naik kendaraan umum saja."
Penolakan tersebut hanya ditanggapi Vian dengan kepala mengangguk, meski sedikit aneh karena hatinya tidak menyukai dan ini pasti karena debaran yang semalam membuatnya kepikiran.
Ayolah, jangan berpikir macam-macam, Vian. Kalian hanya pasangan kontrak dan akan berakhir sebentar lagi, batinnya mengingatkan.
"Hn, ya sudah, aku pergi."
Beranjak dari duduk sambil membawa cangkirnya serta, Vian meninggalkan ruang tamu dan menyisakan Aliysia yang menatap kepergian si pria dengan bibir tergigit.
Kenapa tidak diterima saja? Setidaknya aku tidak perlu antre ketika naik bus, batinnya merutuki diri.
Namun, tahu jika ini yang terbaik, Aliysia pun memutuskan untuk berangkat lebih dulu dan berpamitan dengan Vian dengan teriakan ketika pamit.
"Vian! Aku duluan, takut ketinggalan Bus!"
"Ya, silakan!"
Hanya singkat tanpa dihampiri, Aliysia benar-benar meninggalkan hunian dan menutup pintu, menyisakan Vian yang tampak menyembulkan kepala dari dapur, memperhatikan saat pintu tertutup dengan debaman tersisa.
"Sebaiknya aku juga berangkat ke kantor," putusnya.
Hingga akhirnya hunian tersebut benar-benar ditinggalkan dua penghuni, menyisakan kesunyian yang sudah biasa ada di setiap ruangan.
***
VJ Invenity Tbk
Tidak butuh lama untuk Vian mengendarai mobil sampai kini berjalan di lobby. Ia sesekali mengangguk, menyapa dengan gumaman meski sama sekali tidak berhenti melangkah.
"Selamat pagi, Tuan Vian!"
"Hmm, pagi."
Vian menyembunyikan kernyitan, saat merasa ada yang berbeda dengan tatapan para pegawai yang melihatnya.
Ia refleks dibuat meliirik dan memperhatikan penampilan diri sendiri, sesaat setelah sampai di dalam lift dengan pintu yang tertutup, ingin memastikan jika tidak ada yang salah dengan apa yang dikenakannya hari ini.
"Tidak ada yang aneh denganku," gumam Vian, setelah memeriksa lengan kiri-kanan, kemudian di pantulan pintu lift pun tidak ada yang aneh.
Ia merasa biasa saja, ketika masuk dan berjalan ke dalam lobby pun seperti biasa tanpa ada masalah berarti.
Namun, kenapa mereka menatapnya dengan berbeda?
"Atau karena aku menyapa balik mereka? Tapi, kenapa sampai seperti itu, apakah aku salah menyapa balik sapaan yang kuterima?" gumam Vian dengan kening semakin berkerut.
Ting!
Bersambung