Kota M
Pukul dua siang, sesuai dengan jadwal yang dijelaskan oleh Endra yang bertanggung jawab tentang segala hal mengenai urusan sang Bos. Kini, keduanya pun berangkat menuju perusahaan Lingga untuk melakukan kelanjutan pertemuan kerjasama.
Perusahaan Lingga Design Interior sendiri adalah perusahaan yang bergerak di bidang desain interior, perusahaan terbaik nomor dua di bidangnya dan bersaing dengan perusahaan Skipper yang juga bergerak di bidang sama.
Namun, menurut kabar yang beredar kedua perusahaan ini tidak lagi bersaing, karena anak dari pewaris masing-masing akan menjalin tali pernikahan.
Biasalah, untuk memperkuat posisi di dunia bisnis, pernikahan antara keturunan bisa menjadi cara yang ampuh.
Dan sayangnya, Vian sama sekali tidak peduli selama itu tidak merugikannya.
Lagian, ia juga belum pernah melihat anak perempuan perusahaan Lingga Design, tepatnya karena keturunan terakhir pun sengaja disembunyikan dan tidak seperti anak perempuan perusahaan lainnya, yang justru dibebaskan agar bisa berkenalan dengan anak pengusaha lainnya.
Siapa yang peduli juga, dengkus Vian dalam hati, masa bodo dengan mereka karena sesungguhnya itu sama sekali tidak ada hubungan dengannya.
Bagi Vian, terserah bagaimana pun cara para pengusaha mempertahankan perusahaan masing-masing, karena ia sendiri sudah repot untuk tetap membuat perusahaan stabil dan maju.
Akhirnya sampai juga di halaman perusahaan yang luas, dengan banyak kendaraan lalu lalang bergantian berhenti di teras. Sedangkan ia sendiri memarkirkan mobil di lahan kosong, bersama Endra yang duduk di sebelahnya.
"Kita tidak terlambat 'kan, En?" tanya Vian seraya memasang rem tangan, menoleh ke samping dimana Endra tampak sibuk dengan sebuah tablet.
"Tidak, sesuai waktu pertemuan kok."
"Hn."
Dengan begitu, keduanya pun sama-sama turun dan akhirnya menjejaki lobby perusahaan dengan gedung tinggi dan nama perusahaan Lingga terukir jelas di dinding bagian informasi.
Keduanya disambut ramah oleh petugas yang berjaga saat melewati pintu, juga oleh petugas informasi yang segera menghubungi pemimpin dan memberitahu akan kedatangan perushaaan VJ.
Keduanya pun menunggu beberapa saat sambil memperhatikan bagaimana desain ruang tunggu. Sedangkan di ujung sana, tampak seorang pria dengan tubuh tinggi sedang berjalan menuju Vian dan Endra berada.
Ia berdiri di depan dua calon rekan kerjanya dengan senyum tipis, juga mengulurkan tangan yang disambut segera ketika menyapa.
"Selamat sore, selamat datang di Lingga Design. Dengan Tuan Viandra Geonandes, Tuan Endra?"
Vian mengangguki segera ketika menyambut uluran tangan, memasang senyum tipis membalas kalimat menegaskan dengan segera. "Benar, saya Vian dan ini Endra, asisten saya. Salam kenal, em Tuan..."
"Ah! Saya anak dari Tuan Chandra Lingga. Perkenalkan, saya Ghani Lingga. Mari ikut saya, Tuan Chandra sudah menunggu di ruangan," timpal Ghani menjelaskan, kemudian bersalaman juga dengan Endra dan barulah setelahnya meninggalkan lobby.
Dimana, Ghani tampak jalan lebih dulu dan Vian bersama Endra mengikuti untuk bertemu dengan Tuan Chandra, si pemiliki perusahaan Lingga.
Tidak ada obrolan berarti di dalam lift, Ghani hanya sesekali bertanya dan menimpali apa yang penting, hingga akhirnya sampai juga di ruangan yang pintunya dibukakan oleh Ghani.
"Silakan masuk, Tuan Vian."
"Terima kasih."
Di kursi sendiri telah duduk seorang pria paruh baya dengan aura tegas yang bisa dirasakan Vian.
Entah kenapa, ketika bersitatap dengan sang Tuan, ia merasa seperti sedang melihat seseorang yang mulai familiar di ingatan.
Namun, ia segera menggeleng dalam hati dan fokus ketika sang Tuan kini beranjak dari duduk, menghampirinya dengan senyum bisnis terulas.
"Selamat datang di Lingga Design, Tuan Geonandes."
"Selamat sore, Tuan Lingga. Senang bisa diberi kesempatan untuk kerjasama ini," sahut Vian sama-sama mengulas senyum bisnis.
"Tidak masalah, silakan duduk Tuan-Tuan."
"Baik, terima kasih!"
Vian dan Endra segera duduk dengan Ghani yang menunjukkan kursi, hingga kini keempatnya duduk saling berhadapan dimana Endra menyiapkan berkas yang akan mereka bahas.
Dan setelahnya, mereka pun melakukan meeting seperti biasa, berbincang banyak dengan Tuan Lingga yang banyak mengusulkan bagaimana bangunan mereka nanti.
Vian sampai tidak menyangka, Tuan Lingga yang diberitakan dan bertemu dengannya langsung berbeda karakter, di sini ia jutsru hanya mendapati pemimpin ramah, meskipun tersembunyi di balik wajah keras.
Bukan hanya ekpsresi keras yang ditampilkan Tuan Lingga yang menjadi berdebatan di otak Vian, melainkan Ghani yang ternyata juga banyak bertanya, beda saat mereka bertemu di lift.
Jadi, ungkapan jangan melihat orang dari sampul apakah bisa direfleksikan kepada sosok keduanya?
Benar juga, untuk berbincang masalah pekerjaan, aku rasa kedua pria ini adalah orang yang enak untuk diajak berdiskusi, batin Vian sambil mengangguk dalam hati.
Setelah selesai dengan pembahasan pertama dan mencapai kesepakatan bersama, keempatnya pun memutuskan untuk menyudahi pertemuan hari ini. Selanjutnya, mungkin mereka akan sering bertemu untuk pembahasan lainnya, hingga proses pembangunan selesai dan dalam kata lain ini adalah kewajiban perusahaan Vian yang harus diselesaikan tanpa sisa.
Kesepakatan tentang kontrak dan pembangunan sudah selesai dibahas, Vian kembali bersalaman dengan Tuan Chandra begitu pula Endra sebagai tanda kerjasama dimulai.
Kini, keduanya pun meninggalkan ruangan di antara oleh Ghani, sampai akhirnya keduanya menunggu di teras dan membiarkan Endra mengambil mobil.
Endra yang akan menyetir saat pulang, bergantian seperti itu tanpa ada yang memerintah atau menolak.
"Terima kasih atas kerjasamanya, Tuan Ghani. Senang bisa mendapat kepercayaan lagi untuk membangun gedung kesekian perusahaan anda kepada kami."
"Begitu pula dengan kami. Senang dengan kerjasama ini dan selanjutnya semoga kita bisa terus menjadi partner, Tuan Viandra."
"Tentu, kami menunggu saat itu tiba, berharap pula tidak mengecewakan untuk pembangunan gedung baru ini," sahut Vian berharap.
Ghani mengangguki segera, apalagi ketika Vian berpamitan saat mobil kini terparkir di hadapan mereka.
"Kalau begitu sampai jumpa di lain waku, Tuan Ghani."
Ghani tampak mempersilakan dan mengucapkan 'hati-hati' kepada Vian, kemudian meninggalkan teras menuju ke dalam saat mobil melaju meninggalkan halaman perusahaan.
Keduanya kembali ke perusahaan sampai sekirtar pukul enam sore, bertepatan dengan waktu pulang dan saat ini pun keduanya sudah kembali berdiri di masing-masing samping mobil, hendak pulang setelah sempat memilah pekerjaan yang akan dibawa ke rumah.
"Nanti kirim saja di e-mail kalau sudah selesai, En. Akan langsung kuperiksa lagi, jadi tidak menumpuk," ujar Vian ketika ia hampir membuka pintu, begitu pula dengan Endra yang kini menoleh ke arahnya
"Hum, oke, tapi kalau yang lain belum besok lagi ya," jawab Endra menjelaskan, dengan kepala mengangguk dan Vian pun ikut mengangguk.
"Okay, tidak masalah dan hati-hati."
"Kamu ini langsung pulang?" lanjut Endra sambil menatap dengan alis naik-turun, kemudian melanjutkan kalimat menggoda. "Sudah kangen dengan istri ya?"
"Siapa yang kangen? Yang ada karena aku harus tanggung jawab dengan Liysa, Ren. Bagaimana kalau dia lapar?" elak Vian menjelaskan dengan wajah sebal dan Endra terkekeh, mendengar apa yang dikatakan oleh sang Bos.
"Pfft ... Suami atau nannysitter, kau bro?"
"Sialan! Jangan memancing huru-hara," umpat Vian kesal, tapi sayang itu belum cukup membuat Endra mengalah dan justru semakin menjadi
"Jalani dengan sabar, Bro. Anggap saja belajar saat nanti punya anak, ha-ha!"
Blam!
"Endra sialan, awas kamu!"
Dan sayang, hanya deruan mesin mobil yang menjawab rasa kesal seorang Vian terhadap asisten kurang asem.
Bersambung.