Universitas Seni Kota M
Aliysia yang mendengar pertanyaan si teman hanya bisa mendengkus, apalagi saat melihat ekspresi berbinar yang tidak ditutupi.
"Pulang."
"Hah! Kok cepat sekali sudah pulang, Liysa?"
Pertanyaan bernada kecewa itu sungguh membuat Aliysia semakin iritasi. Ia sampai tidak sadar bersyukur karena mengiyakan keinginan Vian yang ingin menunggu di mobil.
Coba kalau ia masih nekat memaksa si paman masuk kembali ke aula, sudah dipastikan bagaimana suasana ricuh karena kelakuan cabe di dalam sana.
"Ck! Memang sudah pulang, sudah ah! Aku mau masuk," jawab Aliysia ketus, kemudian meninggalkan si teman sendirian, menuju aula dengan hati kesal, ketika ada yang bertanya terang-terangan tentang suami- emh…. Maksudnya suami kontraknya.
Bisa tidak sih, jangan membuatnya bertambah kesal seperti ini, dimana ketika ia masuk pertanyaan tentang Vian semakin ramai saja melayang kepadanya.
Beruntung coach yang membimbing segera membubarkan kerumunan, menyisakan si bocah yang masih kesal karena pertanyaan tentang si paman.
Humb! Mereka menyebalkan, batinnya kesal.
Beberapa saat kemudian
Latihan akhirnya selesia, tampak Aliysia yang kini sedang berjalan dengan terburu menuju parkiran berada.
Ia tidak ingin teman-teman mengikutinya hingga parkiran, karena saat di aula tadi banyak yang bertanya tentang Vian, membuatnya kesal karena ia tidak tahu harus menjawab mereka dengan apa ketika menanyakan siapa itu Vian sebenarnya.
Siapa Vian? Masa iya, Aliysia harus menjawab suami kontrak. Aneh sekali kalau dipikir-pikir, padahal teman-temannya tahu jika ia adalah mahasiswi jomblo dari awal masuk kampus.
"Menyebalkan sekali," umpatnya kesal.
Dari tempatnya berjalan, ia bisa melihat mobil Vian terparkir, membuatnya semakin menambah laju langkah. Hingga akhirnya ia sampai dan membuka pintu, masuk setelah sempat mengetuk singkat jendela mobil sebagai tanda.
Tok!
Blam!
Ketukan dan pintu mobil terbuka-tutup membuat Vian menoleh, mengernyit ketika mendapati ekspresi aneh yang ditampilkan si bocah.
Ada apa lagi ini, batinnya tidak mengerti.
Berbeda dengan Vian yang bingung, Aliyisa sendiri menyamankan duduk dan berusaha untuk kembali biasa, tanpa sadar jika ekpsresinya sudah lebih dulu diperhatikan si empu mobil dengan sedemikian rupa.
Namun, Vian yang tidak ingin ambil pusing mengabaikan ekpsresi tersebut dan bertanya seperti biasa. "Sudah selesai?" tanyanya, membuat Aliysia segera menoleh ke arah si paman seraya memasang seat belt.
"Umh…, terima kasih sudah menunggu," sahut Aliysia sambil mengangguk dan lagi-lagi tidak sadar dengan ekspresi yang dikeluarkannya, sehingga kini senyum paling manis terulas begitu saja.
Vian hanya bisa mengangguk, kemudian mengalihkan wajah ke arah depan dengan gerakan senatural mungkin. Bukannya apa, ia tidak ingin terpesona dengan senyuman si bocah, apalagi sampai tergoda dengan kemanisan yang ditawarkan.
Aneh, padahal saat masuk ia yakin melihat wajah kesal dengan aura yang tidak bagus pula, tapi kenapa saat ini sudah berubah saja?
Jangan bilang Aliysia punya kepribadian ganda? Oh! Kamu gila Vian, batinnya mulai eror.
Dan karena ia tidak ingin sampai berlarut dalam pikiran ngaco, ia pun membalas apa yang dikatakan Aliysia dengan nada biasa. "Sama-sama. Makan dulu ya," ajaknya sebagai pengalihan, seraya menghidupkan mesin mobil, berusaha untuk mengabaikan hati yang tiba-tiba berdesir.
"Iya."
Setelahnya, mobil yang Vian kendarai pun melaju meninggalkan pelataran parkir kampus, menuju salah satu restarant di pusat kota.
Suasana di dalam mobil tiba-tiba saja awkward, tanpa ada satu pun dari keduanya yang berbicara. Ini tumben sekali, biasanya Aliysia dengan semangat selalu bertanya, tapi sekarang si bocah hanya menatap ke luar jendela, sama sekali tidak menoleh ke arah Vian yang sialnya kembali dibuat bingung.
Aneh sekali, ke mana Liysa yang ceriwis? Tidak seperti biasanya, batinnya penasaran.
***
Restauran
Tidak butuh waktu lama bagi Vian untuk sampai di tempat tujuan, akhirnya sampailah keduanya di sebuah restaurant lumayan mewah. Keduanya turun bersamaan, kemudian berjalan menuju pintu masuk bersisihan meski tidak bergandangan tangan.
Sampai di depan pintu keduanya disambut oleh pelayan dengan ramah, yang juga mengantar sampai duduk di salah satu meja kosong di sudut restaurant sesuai permintaan Vian.
Keduanya juga memilih makanan masing-masing, dengan Aliysia yang memesan salad sayur dan steak salmon sebagai makan malam, membuat Vian yang mengetahui pesanan tersebut mengelengkan kepala karena kesukaan si bocah.
Aliysia selalu memakan salmon di setiap kesempatan. Bahkan, jika di rumah tidak memasak salmon, maka si bocah akan bertanya dengan wajah cembrut kepada Vian selaku koki rumah.
"Bagaimana dengan anda, Tuan. Sudah tahu apa yang ingin dipesan?"
Vian mengangguk, mengalihkan kembali tatapan kepada buku menu yang ada di tangan dan mencoba untuk tidak mempermasalahkan apapun yang diinginkan Aliysia. "Ah! Saya pesan salmon steak juga, dengan tambahan wasabi mash potato, untuk salad sayurnya tidak usah. Lalu, saya juga pesan 'Aga White Wine' sebagai penutup."
"Baik, dua steak salmon, satu salad dan satu wasabi mash potato. Lalu, 'Aga White Wine' dan juga strawbery smoothie. Ada lagi, Tuan?"
Ia tidak segera menjawab, melainkan menatap Aliysia sebagai kata ganti tanya yang dijawab gelengan, baru kemudian menatap si pramusaji. "Tidak ada, itu dulu."
"Baik. Silakan ditunggu!"
Pelayan itu pun meninggalkan meja, menyisakan Vian dan Aliysia yang hanya saling melihat. Sebelum akhirnya si bocah melengoskan wajah, memutus kontak mata dengan Vian yang hanya bisa mengernyut, bingung.
What the ... Apa-apaan ini, kenapa dia cuek begitu. Tidak mungkin kan karena aku menjemputnya?
Vian hanya bisa bertanya dalam hati, gagal paham dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Aliysia.
Cemberut, kemudian tersenyum manis dan saat ini melengos, kenapa mood Aliysia malam ini sungguh mengerikan baginya?
"Liysa," panggil Vian, ketika merasa jika suasana di antara keduanya seperti tidak biasanya.
Dan yang lebih tidak biasa adalah ia sendiri. Seharusnya 'kan, ia cukup membiarkan saja tidak perlu ikut campur dengan apa yang sedang dirasakan Aliysia. Namun aneh, kenapa tiba-tiba memanggilnya begitu saja tanpa tahu apa yang akan ditanyakan setelah ini.
Ck! bodohnya aku, batinnya mengumpat.
Aliysia kembali menoleh ke arah Vian, memasang wajah tidak biasa dan menatap si paman. "Apa?" tanyanya jutek, tidak tahu kenapa, tapi yang jelas ia hanya ingin jutek dengan Vian yang kini menatap bingung.
Ia tahu ia salah, tapi entahlah, ia sedang dalam suasana hati tidak bagus.
Err.... Ada yang bisa jelaskan kepadaku, sebenarnya ada apa dengan Aliysia saat ini? Karena, semenjak di mobil dia sudah seperti ini, tidak seperti biasanya. Jangan-jangana benar karena aku menjemputnya, batin Vian kembali menebak.
Kendati ia sudah bingung di dalam hati, ia masih berpikir untuk melanjutkan pertanyaan dengan hal apa.
Apakah menanyakan bagaimana latihan atau kenapa saat ini wajah jutek yang diperlihatkan kepadanya alih-alih ceria seperti biasanya?
Dan pada akhirnya, ia memilih opsi kedua untuk bertanya, tapi, baru saja hendak mengucapkan, seorang pramusaji sudah lebih dulu menginterupsi.
"Kamu kenapa-
"Pemisi!"
Bersambung