Kota M
Selesai makan malam, keduanya memutuskan pulang karena waktu pun kian larut. Di sepanjang perjalanan menuju apartemen, tidak ada yang membuka suara dan membiarkan suasana di dalam sepi.
Aliysia sendiri menyibukkan diri dengan melihat jalanan di luar sana, sama sekali tidak melirik barang sedetik ke arah Vian yang diam-diam melirik, memastikan kalau Aliyisa tidak ketiduran di mobil.
Sebenarnya, Vian ingin sekali bertanya atau memulai percakapan, tapi lidahnya terasa kelu dan alhasil membiarkan. Bahkan, sampai akhirnya apatemen tempatnya tinggal sudah ada di depan mata.
Vian membawa mobilnya memasuki basement, memarkirkannya seperti biasa dengan Aliysia yang terlihat membuka sabuk pengaman tanpa menoleh.
Brakh!
Suara debaman pintu bersamaan menggema di sana, Vian melangkah tanpa kata terucap mengikuti apa yang dilakukan Aliysia sepanjang malam.
Diam.
Kalau Aliysia memang ingin diam saja, ia bisa apa?
Akhirnya, sampai juga keduanya di hunian sepi yang semakin sepi, dimana Aliysia segera memasuki kamar setelah mengucapkan 'selamat malam' tanpa menoleh, meninggalkan Vian yang hanya bisa mengusak rambut belakang, gagal paham.
Hingga yang menemani selanjutnya hanyalah debaman, dengan hembusan napas lelah yang meluncur begitu saja darinya.
"Ada apa dengannya, ck! Sebaiknya aku masuk dan mandi, lalu istirahat."
Sejurus ia penasaran, sejurus itu juga ia berusaha kembali mengabaikan meski nyatanya kini hatinya sedang dibuat gundah gulana.
Aliysia, sosok yang dikenalnya ceria tiba-tiba diam seperti ini.
Vian pun masuk ke dalam, ikut menimbulkan debaman menggema yang menyisakan kesunyian dengan detik jam di dinding kini mendominasi.
Ke esokan harinya
Pagi datang dengan cepat, di kamarnya, tampak Aliysia yang sedang bersiap untuk kembali melakukan rutinitas kampus.
Ia mengikat rambutnya setengah dan membiarkan sisanya terurai di punggung. Kemudian beranjak dari tempatnya duduk sambil menyambar tas yang sudah disiapkan sebelumnya.
Ia keluar dari kamar dan menemukan ruang tamu masih sepi, di mana si paman? Tumben sekali belum keluar dan bersiap berangkat ke kantor.
Huh! Bukan urusanku, batinnya sambil mengangkat bahu tak acuh.
Tujuan utama setelah membuka pintu adalah dapur, tepatnya ingin mengambil susu kotak kemasan yang biasa diminumnya sebelum pergi kuliah.
Ketika ia sedang membungkuk, mengambil kotak susu tujuannya di dalam kulkas, terdengar pertanyaan dari belakang dan membuatnya seketika menoleh.
"Sudah mau berangkat?"
"Iya."
Jawaban singkat dari yang disapa membuat Vian menggeleng dalam hati, meski tidak mempermasalahkan dan memperpanjang.
Ya, karena ia tahu jelas karena apa.
Dan lagi, saat ini pun ia pun ia sudah melangkah menuju tempat penyimpanan kopi.
Aliysia sendiri melirik sambil menutup kulkas, menikmati susu cokelat kesukaannya seraya duduk di kursi, memperhatikan dalam diam ke arah punggung Vian.
Sangking memperhatikan punggung si paman, Aliysia sampai tidak sadar kini yang diperhatikan sudah meletakkan cangkir kopi dan ikut duduk di hadapannya.
"Sampai kapan kamu akan latihan dan pulang malam seperti ini, Liysa?" tanya Vian membuka obrolan.
"Sampai pentas."
"Hn, pagi ini mau kuantar?"
"Tidak usah," jawab Aliysia sambil menyudahi minum susu, bahkan kini beranjak dari duduk dan membuang kotak kemasan di tempat sampah. "Aku berangkat," lanjutnya kemudian meninggalkan dapur.
Menyisakan Vian yang hanya bisa menghela napas di tempatnya duduk, memperhatikan sampai akihrnya Aliysia tidak terlihat dan debaman pintu sebagai tanda jika si bocah sudah pergi meninggalkan hunian.
"Masih belum selesai, tapi sebenarnya dia marah karena apa?"
Tidak akan ada yang menjawabnya sampai kapanpun, alhasil, Vian kembali menikmati kopi yang dibuatnya sendiri.
"Ya sudahlah," lanjutnya kembali mengabaikan.
Sementara itu, Aliysia yang kini sedang menunggu bus dibuat menghembuskan napas berulang kali, mempertanyakan tentang suasana hatinya jika di hadapan Vian.
Padahal, ia tahu tidak ada yang salah dengan pria tersebut, tapi entah kenapa ketika mengingat kejadian itu ia menjadi kesal sendiri.
Alhasil, ia melampiaskan dengan mendiami si paman.
Isk! Menyebalkan, batinnya kesal sendiri.
Tak lama kemudian, bus yang ditunggu datang dan ia menaikinya tanpa perlu merasakan takut dikejar oleh dua paman berbadan besar.
Meski di kampus masih melihat dan terkadang hampir ketahuan, untung saja tidak sampai mengikutinya ke apartemen. Hingga tak lama kemudian sampai juga ia di halte bus dekat kampus, ia turun bersamaan dengan pesan masuk dari Sasha yang mengatakan menunggu di kantin.
Maka dengan begitu, ia pun melangkah menuju kantin sesuai pesan dan melihat dari kejauhan sahabatnya yang duduk sendirian.
"Jadi Liysa, siapa pria tampan semalam?"
Huh!
Belum juga menempelkan bokong di kursi, Aliysia segera mendapat serangan mental dari pertanyaan blak-blakan sahabatnya yang memang tidak suka basa-basi kalau sudah penasaran akan suatu hal.
"Pria tampan siapa?"
"Jangan pura-pura tidak tahu, Liysa," sahut Sasha sambil mendengkus, memutar bola mata bosan saat melihat wajah sok polos dari si bar-bar Aliysia.
"Apa, memang aku tidak tahu," timpal Aliysia masih berpura-pura.
Ia duduk sambil mengambil buku menu, hendak memesan sarapan dan Sasha yang tahu sahabatnya sedang menghindar kembali dibuat mendengkus.
"Kamu tidak tahu ya kalau berita tentang semalam sudah tersebar, tentang kamu yang dijemput seorang pria tampan."
Sial! Seharusnya aku tahu tentang ini, umpat Aliysia dalam hati.
"Jadi, siapa pria itu?"
Kembali Sasha bertanya, sama sekali tidak menyerah untuk tahu siapa gerangan si pria yang sedang menjadi omongan di kampus.
Ugh…
Aliysia hanya bisa menelan saliva dan menatap gelisah Sasha yang balas dengan menuntut, seakan jika tidak dijelaskan maka sahabatnya tidak akan menyerah.
"Come on, Liysa. Apa kamu tidak percaya denganku?"
"Isk! Iya, ini aku mau cerita," sahut Aliysia kesal, menatap sebal saat Sasha justru tersenyum senang.
"Good!"
Good apa? Goodnulmu iya, umpat Aliysia.
Sebelum menjelaskan kepada Sasha, Aliysia melirik ke sekitar seakan memastikan tidak ada orang yang melihat atau memperhatikan, baru kemudian kembali menatap serius sahabatnya yang dari awal sudah memperlihatkan ketidaksabaran.
"Begini, kamu masih ingat dengan ucapamu yang waktu itu?"
"Yang mana?" tanya Sasha bingung.
"Yang kamu bilang sebaiknya aku cari pria kaya kesepian yang bisa menampungku."
"Eh!?"
"Tidak seperti itu juga, maksudku begini. Aku dan pria yang semalam menjemputku saat ini sedang terlibat dalam hubungan rumit," jelas Aliysia, meski sebenarnya justru semakin membuat Sasha bingung.
"Hubungan rumit bagaimana?"
"Ya seperti saling memberi keuntungan begitu, jadi aku tinggal dan bebas biaya hidup. Lalu dia, tidak malu di depan umum saat hari pernikahannya-
"What!?"
Aliysia mendelik sambil melihat sekitar ketika Sasha memekik menyela ucapannya, sedangkan di sekitar terdengar bisik-bisik dan menatap ke meja keduanya duduk.
"Ck! Bagaimana sih, kamu mau mendengar ceritaku tidak sih?"
Sasha tidak bisa untuk menatap kaget, tidak takut pula ketika delikan Alisyia semakin tajam saja menghunusnya.
Ia membawa kepalanya maju mendekati Aliysia, kemudia berbisik lirih. "Kamu, kamu tinggal dengan pria asing?"
"Bukan hanya itu."
"Lalu?"
"Sebenarnya aku…."
Bersambung