Dua minggu berlalu ....
Apartemen Soho
Waktu berlalu dengan banyak kejadian di dalamnya, bukan hanya tentang bagaimana keduanya sama-sama hidup bersama di dalam satu atap, melainkan saat satu sama lain menjaga perasaan ketika satu mendiami yang lainnya.
Pasangan kontrak yang dilanda canggung, sama-sama tidak bisa melangkahi batasan menjadikan keduanya terbelenggu akan sikap yang harus ditunjukkan.
Namun, seperti yang sudah diketahui jika waktu yang berlalu akan berganti hari, maka waktu yang dikatakan Vian sebagai jadwal keberangkatan perjalanan bisnis berkedok bulan madu.
Ya, tepatnya hari ini adalah jadwal keberangkatan Vian ke Jerman, untuk mengurus kerjasama juga sekalian bulan madu buatan dengan Aliysia. Hari yang bertepatan dengan waktu pentas si bocah, untuk mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikan master di unuversitas ternama di luar negeri.
Entah mengapa, Vian merasa ada yang berubah dengan hubungannya dan Aliysia semenjak makan malam, saat ia menjemput si bocah malam itu. Ia tidak tahu kenapa, tapi ia bisa merasa saat Aliysia tidak secerewet biasanya.
Saat ini keduanya masih ada di apartemen, bersiap untuk berangkat ke masing-masing tempat tujuan. Vian dengan koper yang kembali dicek kelengkapannya, lalu Aliysia yang saat ini masih ada di dalam kamar. Ia rasa si bocah sedang menyiapkan kostum atau juga sibuk berdoa untuk kelancaran pentasnya, yang jelas ia turut meminta untuk kebaikan Aliysia.
Getaran pada saku celana, membuat Vian segera bergegas memeriksanya. Ternyata pesan dari Endra, yang mengingatkan untuk penerbangan yang akan mengantarnya ke negara Jerman.
Kira-kira perjalan akan memakan waktu enam belas jam, jadi ia akan memiliki banyak waktu istirahat di pesawat nanti.
"Aku masih ada waktu beberapa jam, sebaiknya aku lihat apa yang sedang dilakukan Liysa."
Maka dengan begitu, Vian memutuskan untuk keluar dari dalam kamar, tapi ternyata Aliysia juga keluar dari kamar sehingga keduanya pun berpapasan.
Dengan gerakan canggung yang sangat terlihat bagi keduanya, Vian dan Aliysia sama-sama bersikap biasa. Apalagi Vian sempat melihat Aliysia tersentak seperti kaget, meski setelahnya menolehkan wajah ke arah lain, seakan menghindari kontak mata.
"Kamu sudah siap?" tanya Vian mengalah, ketika sama-sama hanya terdiam di depan kamar tanpa ada yang berniat menegur sapa seperti kemarin-kemarin.
Benar, biasanya akan bertegur sapa seperti biasa, untuk selanjutnya meukan kegiatan masing-masing.
"Um, kamu juga sudah mau berangkat?" jawab Aliysia, kembali bertanya saat melihat penampilan rapi Vian.
Nada yang digunakannnya terdengar canggung dan entah kenapa Vian tidak menyukainya. Diam-diam juga ia berharap, bulan madu nanti tidak secanggung seperti ini, ya ... Meskipun ia tidak tahu, apakah pekerjaannya nanti akan menghabiskan waktu atau tidak.
Bisa saja justru Aliysia menghabiskan waktu sendirian selama di Jerman, ketika ia sendiri sibuk dengan pekerjaan.
Siapa yang tahu.
"Masih ada beberapa jam lagi. Mau aku antar ke tempat pentas?" balas Vian dengan menawarkan tumpangan, mencoba untuk memperbaiki komunikasi yang sebenarnya tidak perlu dilakukan olehnya.
Jelas, karena ia sendiri sampai saat ini tidak tahu alasan kecanggungan yang terjadi, tapi anehnya, kenapa aku merasa ada yang kurang, jika Aliysia tidak cerewet dan heboh seperti dulu.
Padaha, bukankah bagus tidak ada keributan seperti biasa, karena dua minggu ini ia merasa telinganya tidak tercemar suara ultrasonik si bocah.
Aku rasa otakku sudah mulai bergeser, batin Vian bingung sendiri.
Sayang sekali, Vian menggeleng cepat menjawab tawaran tersebut, membuat Vian mencelos karena penolakan tanpa pikir panjang yang dilayangkan untuknya.
Segitunya Liysa, apa yang salah? Kasih tahu aku.
Tidak, Vian tidak mengatakan hal demikian, itu hanya di dalam hati dan kini tetap diam menanti jawaban yang sedang dijelaskan.
"Tidak, emh…. Maksudnya aku tidak ingin merepotkan kamu. Sebelumnya terima kasih atas tawarannya," jelas Aliysia, kembali mengalihkan pandangannya seraya membenarkan letak tas yang tersampir di bahu, kemudian kembali menatap si paman dengan ekspresi canggung. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Kamu hati-hati diperjalanan dan semoga selamat sampai tujuan," lanjutnya dengan tangan terangkat kaku, kemudian meninggalkan Vian sendirian di depan pintu kamar.
Aliysia sama sekali tidak menoleh, menatap lurus ke pintu tanpa mempedulikan langkahnya yang terasa kaku. Sebelum akhirnya semakin menjauh dan menyisakan kesunyian.
Sedangkan di depan pintu, Vian berdiri dengan hati mencelos nyeri, kembali dibuat bingung dengan perasaan yang tiba-tiba berubah. Ia lebih senang ketika melihat Aliysia tersenyum bebas kepadaku seperti dulu, bukan si bocah yang menghindarinya seperti ini.
Blam!
Suara pintu yang tertutup membuat Vian tersadar, jika saat ini ia kembali sendirian di apartemennya.
Dua minggu ini sungguh hanya bertemu saat akan menjelang tidur, Aliysia seperti sengaja makan di luar dan bersama teman-temannya. Padahal biasanya, si bocah akan merengek meminta jatah makan dengan salmon sebagai andalan yang harus dimasak oleh Vian sebagai koki.
Cukup lama ia berdiri kaku dengan banyak pikiran yang menggelayut, kemudian memutuskan untuk memeriksa dapur sebelum benar-benar meninggalkan apartemen.
Benar, baginya dapur adalah hal yang paling vital, mengingat jika ia masih meninggalkan seorang bocah yang bisa kapan saja kelaparan. Jadi, ia ingin memastikan jika masih ada sesuatu yang bisa dimakan Aliysia sekalipun ia tidak ada.
Tunggu!
Vian terdiam tiba-tiba, ketika merasa jika rasa khawatirnya terlalu berlebihan untuk ukuran seorang pria, yang hanya punya ikatan pernikahan kontrak dengan seorang wanita.
Sejak kapan ia memiiki rasa khawatir sebesar ini? Bahkan dengan para mantan dulu, ia tidak pernah merasa seperhatian ini, justru masa bodo dan tidak pernah sekalipun memasak untuk mereka. Apalagi merasakan khawatir, ketika ia akan meninggalkan si para mantan untuk melakukan perjalanan bisnis ini.
Semakin penasaran saja dengan hati yang rumit seperti benang kusut, padahal, ia sudah menjalin kasih dengan para wanita, tapi kenapa saat ini ia seperti pria yang baru saja merasakan perasaan asing?
Nyatanya memang iya, Vian baru pertama kali ini memiliki pikiran rumit untuk seorang wanita. Ia baru ini merasa canggung atau bingung dengan sikap wanita, ketika awalnya tidak ada sama sekali rasa canggung.
Jelas, ketika pertama bertemu ia bahkan dengan santai memperlakukan Aliysia tanpa ada keraguan dan kecanggungan.
"Aku harus memastikan, sebelum aku pergi ke Jerman. Aku tidak bisa pergi dengan meninggalkan perasaan aneh seperti ini, aku tidak ingin mengenali rasa yang kumiiki sendiri," putus Vian, sebelum balik arah dan kembali memasuki kamar untuk mengambil kunci mobil juga dompet.
Keluar dari apartemen, dengan terburu Vian berjalan menuju parkiran berada, hendak menuju tempat Aliysia pentas untuk mencaritahu perasaan apa sebenarnya yang sedang ia alami saat ini.
Semoga saja Aliysia sudah sampai dan belum memulai pertunjukkan, jadi ia bisa menemui tanpa takut mengganggu jadwal tampil menyanyi nanti.
Brumm!
Bersambung
19.