Gedung Seni Kota M
Aliysia yang masih melihat ke sekitar berusaha menenangkan diri, maklum saja, ia tidak pernah merasakan ini sebelumnya kepada seorang pria, bahkan berdiri berhadapan seperti ini melebihi beberapa detik pun tidak pernah.
Biasanya, ia sudah kabur jika ada pria yang memiliki maksud tertentu kepadanya, tapi Vian bukan bagian dari mereka.
Kini, ia menggulirkan bola mata dan menatap Vian sambil menggeleng kecil. "Tidak. Ini merah karena panas, iya, panas apalagi dari ruang ber-AC dan lalu pindah ke di halaman seperti ini, gerah, ya, aku cukup gerah," jelasnya seraya mengipas wajah dan leher, meyakinkan jika memang itulah yang dirasakan.
Vian sendiri menatap dengan sebelah alis terangkat, melirik matahari yang sedang terik, pantas saja. "Yakin hanya karena panas?" tanyanya memastikan.
Aliyisa segera kembali melihat Vian masih mengipasi wajah dan lagi-lagi, seakan menegaskan jika ia memang benar jujur, bukan sedang berbohong. "Yakin, Vian. Memangnya apa lagi selain panas yang membuat wajah memerah?" jelasnya dengan nada ketus, nada yang sudah lama tidak Vian dengar akhir-akhir ini, membuat si pria tersenyum dan mempercayai apa kata yang diucapkan si bocah.
Lagian memang benar mataharinya sangat panas dan sepertinya Aliysia salah tempat mengajak si paman bertemu.
"Baiklah, aku percaya. Kalau begitu kita pindah saja, bagaimana?" tawar Vian kemudian, menyerah dan tidak ingin membuat si bocah kembali kesal seperti dua minggu yang dilaluinya.
Sejujurnya, sampai saat ini ia tidak tahu kenapa Aliysia selalu memasang wajah kesal kepadanya. Namun sudahlah, Vian akan menanyakan ini saat sudah memiliki banyak waktu, bukannya di saat waktu penerbangan semakin dekat.
"Pindah kemana?" tanya Aliysia penasaran.
"Keluar, kemana saja terserah, yang penting tidak sepanas halaman dengan terik matahari seperti ini. Iya 'kan," jelas Vian sambil mengangkat bahu tak acuh. "Tapi, apakah kamu sudah selesai?" lanjutnya bertanya.
"Sudah. Tidak ada penampilan lagi dariku, hanya tinggal menunggu acara selesai dan kalau perwakilan dari Universitas di dalam tertarik denganku, mereka akan berbicara dengan coach Tania," jelas Aliysia sambil menggeleng kecil, membuat Vian yang mendengarnya menahan senyum.
Ia ingin tersenyum bukan hanya karena balasan si bocah yang panjang, melainkan karena nada yang dipakai kembali ceriwis seperti dulu.
"Baguslah! Aku yakin kalau mereka pasti akan memilihmu, suaramu yang terbaik," tukas Vian menyemangati, memuji dengan ketulusan sesuai yang didengarnya sendiri.
Karena ucapannya, kini Aliysia kembali menampilkan wajah berseri dan diam-diam Vian sangat menyukai itu.
Kamu sungguh indah dan mempesona.
Ingin Vian mengatakan itu, tapi ia belum berhak mengatakan hal seperti itu kepada Aliysia, karena saat ini dan sampai kapanpun ia bukan siapa-siapa, apalagi hubungan yang akan berakhir suatu hari nanti.
Iya 'kan?
"Terima kasih, kalau aku menjadi penyanyi profesional dan go internasional. Aku akan mengirim undangan spesial untukmu, Vian," tandas Aliysia menggebu-gebu, semangat yang menular dengan cepat kepada Vian, hingga ia sendiri tidak kuasa untuk menjaga tangannya yang kini sudah santai menempel di kepala si bocah.
"Aku tunggu sampai kamu menjadi penyanyi sukses, bahkan sampai manca negara, okay?" sahut Vian lembut, seraya mengusak rambut Aliysia sayang.
"Eh ...."
Aliysia terdiam melihat dengan bola mata melebar, diikuti sapuan merah yang kembali menodai dua pipi mulus. Sedangkan Vian dengan cuek kembali mengusak kepala, kemudian menepuk berulang sebelum akhirnya menjauhkan tangannya dari sana.
"Kalau begitu aku teraktir es krim, oke?"
Tanpa menunggu jawaban dari Aliysia, Vian dengan segera menarik dan mengajaknya keluar gedung. Sebelum benar-benar keluar dari gedung, ia melepas jas dan kemudian menyampirkannya di pundak si bocah.
Saat ini Aliysia memang masih memakai gaun buatan Sasha, yang memperlihatkan bahu putih dan Vian tidak ingin, apa yang ada di tubuh si istri kontrak dilihat sembarangan oleh mata pria di luar sana.
"Pakai ini," bisik Vian lirih, sedangkan Aliysia kembali melihat tanpa kata, seraya memasukan lengannya di jas.
"Terima kasih."
"Hn."
***
Kedai Es Krim
Tempat yang menjadi pilihan untuk melanjutkan obrolan adalah sebuah kedai es krim. Letaknya tidak jauh dari gedung seni berada dan keduanya memilih duduk di dekat jendala. Sehingga, pemandangan jalanan di luar bisa dilihat bebas, dengan banyak kendaraan lalu lalang terlihat sangat sibuk.
"Mau rasa apa?"
Pertanyan dari Vian membuat Aliysia yang sedang melihat ke arah luar jendela segera menoleh. Keningnya berkerut ketika memikirkan tawaran si paman, kemudian tersenyum ketika ia menyebutkan rasa pesanannya.
"Strawberry dong!"
"Kamu suka sekali dengan strawberry, tidak ingin coba rasa lain?" dengkus Vian, menawarkan rasa yang lain yang segera dijawab dengan gelengan kepala.
"No! Strawberry itu paling enak, Vian. Sekali-kali kamu yang coba strawberry," sahut Aliysia balik menawarkan dengan rasa yang disukainya.
"Tidak, aku nanti jadi fanatik seperti kamu," sahut Vian menolak dengan main-main, menuai cibiran dari Aliysia yang kini tampak rileks, tidak seperti kemarin dan kemarinnya.
Leganya…..
"Cih! Kalau aku fanatik juga sama strawberry, daripada kamu sama biji kopi."
"Kopi temanku di pagi hari, Liysa, mereka menyegarkan asal kamu tahu," sahut Vian sambil mengangkat bahu. "Sudah, aku pesan es krimnya dulu," lanjutnya cepat, memutuskan untuk menyudahi acara adu argumen, pertengkaran kecil setelah dua minggu keduanya tidak saling mengganggu.
"Okay! Kutunggu, jangan lama-lama," sahut Aliysia kurang asem, sambil memasang wajah meledek ke arahnya.
Kepala Vian menggeleng pelan dengan tingkahnya, kemudian ia berjalan meninggalkan meja menuju konter pemesanan. Udara yang panas dan teriknya sinar matahari, membuat kedai es krim ini menjadi pilihan banyak orang, untuk menghilangkan sedikit efek dari paparan sinar matahari.
Vian ikut mengantre dengan antrean yang cukup panjang, menunggu giliran dengan sabar hingga akhirnya ia sampai di depan seorang petugas yang bertanya dengan ramah.
"Pesan rasa apa, Tuan?"
"Strawberry porsi besar 1, lalu rasa capucino 1 porsi biasa."
"Baik, ditunggu sebentar."
Kembali Vian mengangguk kecil sebagai jawaban, kemudian menunggu pesanan dengan sesekali melihat sekitar kedai yang semakin ramai. Mengangkat tangan kanan di mana ada arloji yang melingkar dan ia melihat jika jarum panjang saat ini menunjukan angka sepuluh.
What?
Itu artinya hanya tinggal beberapa jam lagi keberangkatanku ke Jerman, batinnya kaget.
"Aku harap waktunya cukup," gumam Vian kemudian mengangguk, ketika si petugas kedai menyodorkan nota pembayaran sebelum menerima pesanan es krim.
"Silakan Tuan totalnya."
"Baik," sahutnya, seraya memberikan uang cash pecahan besar, kemudian menerima kembalian berikut nampan dengan dua es krim beda rasa sesuai pesanan.
"Terima kasih, Tuan."
"Hm."
Sesampainya di meja, Vian segera meletakan nampan di hadapan Aliysia yang segera melihat dengan tatapan berbinar.
"Woahh! Thank you, Vian," seru Aliysia senang, tanpa menunggu lama segera mengambil mangkuk es miliknya.
"Hmm."
Vian menyangga dagu dengan sebelah tangan, ketika melihat Aliysia yang memakan es krim dengan ekspresi bahagia. Sampai tidak sadar melamun dan berjenggit, saat Aliysia menegur karena ia belum juga memulai makan es krim pesanannya.
"Vian, kenapa belum dimakan?"
Bersambung