Kedai Es Krim Kota M
Vian yang tersadar dari lamunan berusaha tetap biasa, membenarkan posisi duduk menjadi lebih santai dan barulah menjawab sambil mengambil sendok kemudian memulai suapan. "Hn! Ini mau dimakan, kok. Kamu habiskan es krimnya, jangan sampai tidak."
"Tentu dong, itu pasti." Aliysia memberikan jempol, mengulas cengiran setelah menelan es krim yang lumer di lidah.
Sedangkan Vian, ia kembali menikmati pemandangan di depannya dalam diam, sesekali ia juga menyuap es krim rasa capucino yang dipesan.
Sesungguhnya, Vian baru-baru ini mulai makan es krim dan itu semua karena wanita dengan nama Aliysia Tjia yang memaksanya. Sehingga ia jadi ikut makan, meski tidak sefanatik si bocah jika sudah bertemu es krim.
"Vian," panggil Aliysia, masih dengan suapan yang tidak puas dilakukan kalau belum habis dan Vian menyahuti dengan gumaman seperti biasa, meski dari awa ia tidak mengalihkan pandangan barang sejenak.
"Hmm?"
"Kenapa kamu masih di sini?"
Eh!
Vian dibuat terdiam, bahkan sampai menunda suapan ketika mendengar pertanyaan sederhana dari Aliysia.
Memang sederhana, tapi sayangnya tidak sesederhana itu kalau sudah Aliysia yang bertanya, apalagi si bocah tahu jika seharusnya ia ada perjalanan ke Jerman.
"Aku....."
Apa yang harus Vian katakan kepada Aliysia?
Apakah ia harus jujur, jika awalnya tujuan menemui karena ingin meluruskan kesalahpahaman selama dua minggu ini?
Namun, setelah melihat Aliysia yang kembali bersikap seperti biasa membuatnya urung.
Vian takut kalau ia kembali membahas masalah kemarin, apalagi bertanya apa masalah kepada si bocah, takut merusak suasana.
Lagian, apakah ia akan mendapat jawaban terang-terangan?
Apa lagi kalian tahu sendiri, jika wanita itu selalu berkata 'aku-baik-baik saja', padahal kenyataannya jauh dari kata baik.
"Aku... Maksudku, aku menemuimu hanya untuk memberitahu jika aku akan berangkat dan aku sudah menyiapkan makanan untuk kamu santap nanti."
Bodoh, lanjutnya dalam hati.
Pada akhirnya Vian kembali berbohong, merasa jika lagi-lagi sekat kata orang asing dan tidak memiliki ikatan sebagai alasan ia tidak jujur kepada Aliysia.
Padahal, ia tahu jika bukan hanya itu yang ingin ia katakan kepada si bocah.
Ck! Kemana keberanianku saat masih di apartemen? Kenapa justru mengatakan hal bodoh seperti ini? Payah!
Vian kembali mengumpat dalam hati, merutuki diri karena berbohong dengan hal klasik yang terdengar aneh di telinganya sendiri.
Menyiapkan makan? Yang benar saja!
Wajah Aliysia yang awalnya semangat kembali murung, membuat Vian terdiam akan ekspresi aneh yang di perlihatkan saat ini.
Ada apa dengannya? Bukankah seharusnya dia senang, karena aku masih memikirkannya, batinnya bingung.
"Oh, Aku kira karena...."
Aliysia seketika sadar, tidak melanjutkan perkataannya, melainkan memakan es krim dan kembali memasang wajah tidak antusias. Ia hampir saja kelepasan dengan apa yang ingin dikatakannya, beruntung ia bisa mengerem di penggalan kata yang pas.
"Karena apa?" tanya Vian, menatap penasaran karena Aliysia jelas seperti menyembunyikan sesuatu darinya, memang selalu menyembunyikan, bahkan sampai saat ini ia tidak tahu si bocah berasa dari mana.
Namun sayang, Aliysia memilih untuk menggeleng dan kembali menyuap setelah ia membalas singkat. "Tidak, lupakan saja."
Meski kecewa karena Aliysia tidak melanjutkan ucapan menggantung, tapi Vian berusaha untuk adil dengan tidak memaksa karena ia sendiri masih berbohong dengan apa yang terjadi.
Sahutan dari Aliysia menjadi hal yang terakhir terdengar, hingga kini yang terjadi adalah suasana kembali canggung dalam keheningan.
Vian kira tidak akan seperti ini lagi, ia kira akan mencair dan penuh dengan obrolan karena Aliysia yang kembali seperti dulu. Namun ternyata ia salah, bahkan si bocah kini memakan es krim tidak semangat seperti di awal.
Apa yang harus Vian lakukan untuk kembali mencairkan suasana? Ya, secair es krim yang ada di mangkuknya.
Hingga es krim keduanya tidak tersisa, Aliysia yang perasaannya kembali memburuk masih saja terdiam. Meski tidak lama, karena kini membuka suara dengan kalimat yang cukup mengagetkan Vian.
"Sudah waktunya aku kembali."
Tersadar dari lamunan dan menatap dengan mata berkedip bingung, Vian refleks bertanya dengan nada kaget yang kentara. "Kenapa Cepat sekali?"
"Memang seperti itu. Lagian, es krim juga sudah habis," jelas Aliysia dengan wajah canggung.
"Kalau begitu ditambah-
"Tidak! Emh, maksudnya, aku takut Coach Tania mencariku," sela Aliysia kembali menjelaskan, mengulas senyum canggung dan tatapan tidak enak ketika ia menyela seenaknya.
"Tapi kamu bilang kalian sudah selesai. Bukankah seperti itu?" sahut Vian cepat, menatap curiga ke arah si bocah yang bergerak salah tingkah.
Ketahuan 'kan, kalau pasti ini bukan karena es krim atau karena pelatih yang mencari, tapi karena sesuatu dan itu mungkin saja karena ucapannya beberapa waktu lalu.
"Ah! Aku hany-
"Aliysia Tjia."
Dengan cepat Vian menyela ucapan dengan memanggil nama lengkap, membuat Aliysia terdiam dan menatap dengan bertanya, seperti tahu jika saat ini si paman sedang serius.
"Kenapa?"
"Aliysia, ada yang harus kita bicarakan. Sepertinya, kita terlibat salah paham di sini," lanjut Vian masih menatap serius.
Kali ini Aliysia terdiam dan juga menatap berbeda. Tatapannya beragam ekspresi dan Vian hanya bisa menangkap satu yaitu kecewa.
Ya, Aliysia menyimpan kecewa dengan satu hal yang juga disimpannya karena alasan ia hanya orang asing.
Keduanya memang salah paham dan sialnya sekat kata 'orang asing' menjadi alasan kuat kenapa sama-sama tidak saling menegur berlebih.
Tapi karena apa? batin Vian bingung.
Ia bingung, apa lagi ketika ia tidak tahu kenapa sampai Aliysia kecewa kepadanya.
"Apa Vian? Apa yang mau kamu bicarakan, katakan saja dan aku akan mendengar," tanya Aliysia berusaha tenang.
Sebelum menjawab, Vian memilih untuk menenangkan diri. Ia menghela napas dan menyakinkan diri jika ia memang harus bertanya, tanpa peduli dengan sekat 'tidak memiliki ikatan', orang asing atau apapun itu.
Yang jelas, ia harus menanyakan ini kepada Aliysia, agar tidak ada salah paham lagi.
"Liysa…. Sebenarnya, apa yang membuatmu berubah dua minggu ini?" tanya Vian menatap lekat, tepat di bola mata Aliysia yang sempat melebar.
Aliysia memang sempat tersentak kaget, tapi dengan buru-buru ia mengubah kembali ekspresi wajah menjadi biasa. "Aku? Dua minggu ini aku kenapa, Vian? Tidak ada, aku merasa biasa saja," jawabnya dengan tenang, tapi sayang Vian tentu saja tidak mempercayai itu.
"Aku rasa kamu tidak biasa saja seperti apa katamu. Iya 'kan, Liysia?"
Kembali Aliysia dibuat kaget, meski sekuat tenaga kembali menormalkan ekspresi wajah, kemudian menghela napas dan akhirnya menatap, kali ini menatap Vian lebih serius.
"Huft.... Aku tidak tahu, aku tidak tahu apa yang terjadi, Vian," jawabnya dengan nada aneh, tidak tahu saja sudah membuat Vian mengernyit, bingung akan helaan napas juga jawaban yang diterima.
"Tidak tahu bagaimana?"
Bersambung