Kedai Es Krim
Aliysia tidak yakin Vian tidak mempermasalahkan, karena kini keduanya kembali membahas kelanjutan masalah yang dari awal menjadi pokok masalah. Seakan benar-benar ingin semuanya beres hari ini juga, jelas, karena Vian tidak akan tenang karena sebentar lagi berangkat ke luar negeri.
"Sebenarnya, kamu menjawab atau tidak masalah beres sampai situ, tidak perlu sampai panjang seperti ini. Kenapa sampai dua minggu aku diabaikan, dicueki, dijutekin. Aneh sekali," lanjut Vian ketika hanya terdiam yang diterima.
"Aku, aku tidak tahu, Vian" jawab Aliysia dengan kepala menunduk.
"Kamu aneh, Liysa. Kamu yang berbuat kenapa tidak tahu?"
"Karena aku tidak tahu, Vian. Aku hanya merasa kalau saat ini aku dan kamu dekat, itu artinya.... Itu artinya…."
Aliysia tidak meneruskan perkataannya sendiri, ketika ia merasa berat untuk mengatakan rasa yang sampai saat ini masih membuatnya bingung.
Vian yang tidak mendengar kalimat lanjutan menunggu dengan sabar, tapi sayang sampai beberapa waktu Aliysia sama sekali tidak melanjutkan kalimat yang ditunggunya. Hingga membuat keduanya terlibat diam berulang kali, hanya karena sebuah pembahasan sepele, sebenarnya.
Namun, tidak mungkin jika harus terus-terusan diam di saat waktu terbangnya hampir sampai, Vian memutuskan untuk menegur, memangggil meski nada yang terdengar seakan aneh baginya sendiri.
"Liysa."
"Iya?"
"Kamu tidak mungkin cemburu 'kan?" lanjut Vian tanpa basa-basi.
Seketika netra Aliysia membulat sempurna, ketika si paman mengatakan kalimat singkat, tapi mampu membuat jantungnya berdegub kencang. Ia hanya mampu terdiam mendengar dalam diam, ketika Vian lagi-lagi mengatakan kalimat yang sungguh di luar perkiraannya sendiri.
Tidak mungkin apa yang dikatakannya benar, tidak munkin 'kan aku ....
Aliysia terperangah, ketika Vian menatapnya seakan menelisik dan ia buru-buru menampik dengan gelengan kepala serta wajah seakan tidak habis pikir.
"Apa yang kamu katakan, jangan bercanda Vian."
"Jadi bukan karena kamu cemburu ya?" tanya Vian, masih memojokkan Aliysia yang kini kembali terdiam, membuatnya semakin curiga jika si bocah memang menyimpan rasa itu, ketika ada rasa kesal terhadap temannya dengan ia sebagai korban.
Yang bertanya dan salah teman kuliah, tapi yang dibuat bingung dirinya, tidak adil sekali.
"Aku ...."
Mendapati respon Aliysia yang seperti ini, Vian semakin tidak berharap jika tebakannya memang benar adanya.
Biasanya, wanita akan menyembunyikan perasaan dan menutupinya dengan sikap aneh seperti ini. Oh ayolah, bukan satu atau dua kali Vian memiliki hubungan dengan banyak wanita.
Meskipun ia tidak pernah menebak karena para mantan selalu jujur dengan perasaan mereka terhadapnya. Namun, ia juga diam-diam mempelajari setiap gesture berbeda yang ditunjukkan para wanita.
Bagaimana cara mereka bersikap ketika sedang mencoba main tebak-tebakkan dengannya, hanya karena sebuah keinginan dan sesuatu hal yang malu disampaikan.
Entah kenapa, seakan wanita adalah mahluk hidup yang memperumit segalanya, selalu bilang terserah dan ketika tidak sesuai keinginan akan menjadi boomerang untuk para pria.
Begitu juga ketika pria diam, akan lebih aneh lagi dan berujung dengan kaumnya yang didiami.
Ya, contohnya saja Aliysia, wanita atau bocah yang saat ini sedang dilanda virus bingung dan menjelaskan dengan banyak cabang masalah, batin Vian dengan kepala menggeleng tidak habis pikir.
"A-aku mana mungkin cemburu. I-itu tidak mungkin."
Masih menyangkal dengan apa yang dikatakan Vian, Aliysia hampir tergagap dan kini berusaha menormalkan ekspresi wajah.
"Kamu tidak suka dengan mereka yang penasaran denganku, kamu marah dengan wanita yang mengejekku, kamu marah karena aku tidak menjelaskan siapa wanita itu. Kalau namanya bukan cemburu, lalu apa lagi coba? Padahal, kamu hanya perlu menjelaskan siapa aku dan mengabaikan siapa wanita itu, maka semuanya akan beres jika kamu tidak cemburu padaku. Iya, kan?"
Skak mat
Wajah kaget dan mata tebelakak bisa Vian lihat dengan jelas, benar-benar mudah ditebak.
"Bukan begitu, Vian. Aku hanya tidak suka mereka heboh dengan siapa kamu sebenarnya. Aku juga tidak suka ketika ada wanita mencari keributan seperti itu, apalagi di tempat umum," jelas Aliysia cepat, berharap Vian akan percaya dengan apa yang dikatakannya.
Namun sayang, bagi si paman penjelasan tersebut sungguh terdengar klise, mutar-mutar dan tidak kreatif. Semakin membuatnya yakin, jika si istri bocah memang sedang cemburu saat ini.
"Lysia."
"Apa?"
Vian menjeda kalimat yang ingin dikatakan dan kini menatap serius, dengan Aliysia yang menoleh ke arah lain, kembali menghindar.
"Ketika kamu merasakan marah dengan seseorang, karena sesuatu yang tidak kamu ketahui alasannya apa. Bukankah itu sesuatu yang aneh, apalagi itu lawan jenis. Seharusnya kamu tanyakan lagi dengan diri sendiri, kenapa dan mengapa, Bukannya malah memperlama durasi marah," imbuh Vian dengan tangan bertaut di atas meja dan Aliysia akhirnya sedikit demi sedikit mau melihat ke arahnya.
"Maaf," gumam Alisyia, menatap Vian dengan raut wajah menyesal.
Aliysia masih terlalu awam untuk ini, Vian bahkan merasa sosok bocah di depannya seperti buku, setiap lembaran yang ia buka akan menjelaskan apa yang dirasakanya oleh si empu catatan.
Berarti ini memang salahnya, seharusnya ia tidak semakin membuka lembaran yang ada ketika habis dibaca. Bagaimana pun, Aliysia bukan dirinya, yang sudah banyak pengalaman menghadapi hal bernama perasaan cinta.
Aliysia hanya wanita muda polos yang terseret masalah karena kehendaknya. Jika saja saat itu ia tidak membawa dan memaksa untuk menikah kontrak dengan Aliysia, mungkin saat ini juga keduanya tidak akan terlibat masalah sepele seperti ini.
"Kenapa minta maaf? Bukankah aku sudah katakan jika aku tidak membutuhkan maaf, hanya penjelasanmu yang kuinginkan dan aku sudah mendapatkannya," tukas Vian menatap serius.
"Maka itu aku minta maaf, seharusnya aku tidak perlu memperumit masalah hanya karena mereka yang ada di sekitarku, apalagi sampai menjadikanmu pelampiasan kekasalanku," jelas Aliysia masih dengan ekspresi penyesalan.
"Bukan, bukan kamu yang salah. Aku yang seharusnya menjelaskan dia kepadamu di saat kalian bertemu malam itu. Bukannya justru diam saja dan menganggap kamu tidak membutuhkan penjelasanku. Maafkan aku, Aliysia," sahut Vian dengan senyum kecil.
Aliysia kembali menundukan wajah, tapi sebelum benar-benar menunduk sekilas Vian sempat melihat wajah merah. Entah karena apa, karena setelah mendapatkan penjelasan ini, ia tidak ingin kembali menarik kesimpulan seenaknya lagi.
Aku rasa Aliysia kesal karena memang dia memiliki sesuatu denganku. Namun, sepertinya dia belum menyadari itu dan sebaiknya sesuatu itu pun tidak harus tumbuh. Aku tidak ingin dia terlalu kepikiran dengan hal-hal seperti ini. Banyak yang harus didahuluinya, daripada perasaan marah atau cemburu kepadaku, apalagi soal cinta dan perasaan. Lebih baik dia meneruskan impiannya lebih dulu, batinnya berusaha menyadari posisi.
Tidak lama kemudian, Aliysia yang menundukkan wajah kembali menatap Vian dengan menatap lurus. "Kamu salah, aku juga salah, kita salah dan aku harap kita lupakan saja masalah kemarin. Kedepannya, aku akan lebih terbuka, aku juga akan mencoba biasa saja saat ada orang yang bertanya tentang kamu kepadaku," ujarnya menyudahi pembahasan.
"Hmm.... Kurasa itu lebih baik," sahut Vian dengan anggukan kepala. "Baiklah, aku harus ke bandara. Pesawatku akan take off beberapa jam lagi, aku tidak ingin telat dan berakhir dengan kacau di kerjasama nanti," lanjutnya menjelaskan.
"Kamu sudah mau terbang?"
Bersambung