Apartemen Soho
Langit di luar sana sudah mulai menggelap, ketika Aliysia pulang dari gedung seni ke apartemen setelah sempat kumpul makan-makan untuk merayakan keberhasilan pentas kami.
Untunglah masih ada waktu, bertepatan setelah ia kembali dari mengantar Vian ke bandara dan ia memang kembali ke gedung sesuai janji kepada sang pelatih.
Kali ini Aliysia tidak menampilkan wajah kesal lagi kepada mereka, ketika Vian berdiri di hadapan coach yang menatap aneh. Ia tahu tatapan apa itu, karena semua teman-temannya pun menatap si paman seperti itu. Jadi, ia tidak heran lagi saat nona Indy menatapnya seperti itu.
Mereka tentu saja segera bertanya-tanya tentang sikap nona Indy, kala mengizinkan Aliysia untuk pergi sebentar keluar saat itu dengan alasan mengantar ke bandara.
Jujur, ada perasaan takut di hati ketika melihat Vian dan nona Indy berhadapan seperti itu. Belum lagi, si paman memasang wajah ramah kepada nona Indy yang tersenyum berbeda saat itu. Juga teman-temannya, yang bergumam tentang betapa cocoknya coach dan Vian waktu itu.
Apa iya Aliysia harus mengatakan, jika ia adalah istri si paman agar mereka tidak mencocokan orang sembarangan lagi?
Sayang sekali itu tidak mungkin, jika sampai mereka tahu kalau ia menikah diam-diam, apalagi kontrak, maka seseorang akan segera menyeretnya paksa saat ini juga.
Sungguh, Aliysia baru saja bebas dari dua paman tambun, jadi mana mungkin ia berbuat ceroboh dengan mengatakan tentang Vian sembarangan, kecuali Sasha yang dipercaya olehnya.
Ceklek!
Blam
Pintu kamar dibukanya segera, kemudian gerutuan kembali menggema di sana, ketika ingat dengan kejadian di kampus.
"Tidak-tidak, biarkan saja seperti ini. Aku juga tidak ada hubungan apa-apa dengannya selain kerjasama, selebihnya biarkan saja. Ketika aku dipilih menjadi penerima beasiswa, aku akan segera meninggalkan negara ini. Mereka pasti tahu, tapi setidaknya mereka tidak akan cepat mengetahuinya."
Aliysia menggerutu dengan kepala menggeleng, menampik pikiran ngaco yang selalu terbesit jika sudah memikirkan teman-temannya yang menatap Vian berbeda.
Kemudian ia pun memutuskan untuk membersihkan diri, sebelum menyiapkan kembali barang-barang keperluannya selama di Jerman nanti.
Ya, Vian sudah mengatur tiket penerbangan untuk Aliysia yang akan menyusul, tentunya setelah selesai dengan segela urusan di kampus.
Di dalam kamar mandi, Aliysia diam dan merenungi kejadian siang ini di kedai es bersama Vian.
Ia jadi bertanya kepada diri sendiri, benarkah jika apa yang dialaminya selama dua minggu ini karena cemburu? Bukannya karena hanya sekadar marah begitu saja, ketika ada seseorang yang tidak sopan dan sudahnya Vian tidak menegur.
Ah! Aliysia sendiri pusing. Selalu merasa kesal dan senang ketika bersama si paman, bahkan jantung pun berdegub saat melihat Vian tersenyum ke arahnya.
"Tidak tahu, lebih baik aku bergegas mandi. Bukannya aku bilang ingin membereskan barang-barang untuk ke Jerman nanti? Ck! Vian menyebalkan," gerutu Alisyia kesal, kemudian melakukan ritual mandi secepat kilat.
Sekitar beberapa puluh kemudian, Alisysia pun menyelesaikan ritual mandi dan bergegas menghampiri koper, mengambil dan menyeretnya ke ranjang hendak memasukan beberapa barang yang belum sempat dimasukan.
Memeriksanya kembali dengan teliti, kemudian menutupnya lagi setelah merasa semuanya sudah lengkap. Aliysia menghela napas, dengan mata melirik ke arah gawai yang tergeletak di atas nakas.
"Apa dia belum sampai, uh.... Benar juga, dari sini ke Jerman tentu saja sangat jauh jaraknya. Aliysia bodoh."
Lekas ia menggelengkan kepala, ketika selesai pikiran aneh kembali mengusai otaknya. Kemudian memutuskan untuk menyudahi acara beres-beres malam ini, karena besok ia masih harus datang ke kampus, mengurus izin mengambil cuti dan baru bertolak ke bandara menyusul Vian.
Aliysia keluar dari kamar sambil mengusak rambut yang baru dikeramas, jalan menuju dapur dengan keadaan ruangan tamu sunyi tanpa ada eksistensi.
Biasanya, di ruang tamu akan ada Vian yang kerja atau aktivtitas masak dan makan bersama, tapi saat ini hanya ada kesunyian yang menemani setiap langkah.
Aliysia tiba-tiba merasa sepi, tapi ia mencoba biasa saja dan kini memilih mengambil minum di dispenser.
Ketika sedang meneguk air hangat, bola matanya tidak sengaja melirik ke arah kompor dan meja makan di mana tempat Vian berada jika sedang memasak atau makan bersamanya.
Tegukan seketika berhenti, bahkan sampai dijauhkan gelas yang semula menempel di bibir. Ia sejenak menatap ke sana dengan dada berdebar.
Ia tahu ini karena apa, tapi cepat-cepat ia mengabaikan apa yang membuat dadanya berdebar. Buru-buru ia menghabiskan air hangat, mencuci gelas segera dan meninggalkan dapur menuju kamar tidur.
Sampai di dalam, ia lekas naik ke ranjang dan menaikkan selimut sampai kepala.
"Aku harap dia akan memberiku kabar jika sudah sampai di sana," gumam Aliysia berharap, kemudian berbaring dengan nyaman dan menutup mata bersiap menjemput mimpi.
Keesokan harinya ....
Pagi dating dengan cepat, yang Aliysia lakukan ketika terbangun karena sinar matahari adalah memastikan ada notifikasi pesan atau apapaun, yang penting kabar dari seseorang dan ia bahkan sengaja menyimpan gawai di samping bantal.
Namun saying, seketika hembusan napas kecewa keluar begitu saja, ketika ia tidak mendapati notifikasi pesan apapun dari yang diharapkan.
Bahkan hanya sekedar pemeberitahuan tiba di Jerman pun tida ada. Padahal seharusnya, saat ini Vian sudah sampai paling tidak di hotel tempat mengingap. Lalu ini, tidak ada sama sekali dan itu membuatnya kecewa.
Kembali ia meletakan begitu saja gawai ke nakas, kemudian memutuskan untuk tidak memperdulikan dan segera mandi, karena ia harus ke kampus karena semalam tiba-tiba nona Indy mengatakan akan menginformasikan sesuatu dan ia penasaran akan hal itu.
Maka dengan begitu, ia pun memasuki ruangan lembab dengan aroma sabun khas yang menguar ketika ia membukanya, meski tak lama segera menutup dengan sisa debaman terdengar.
Blam!
Tidak butuh waktu lama untuk Aliysia selesai, ia mandi cepat asal bersih dan kini pun ia sudah rapi dengan rambut yang terurai.
Ia keluar dari kamar, menuju kulkas dan membukanya dengan ekspresi kaget ketika melilhat apa yang ada di dalam sana.
Sebuah kotak susu dengan kemasan ekonimis kini ada di hadapannya lebih banyak dari sebelumnya.
Ia tahu mana yang sudah dari awal ada di dalam dan baru ditambahkan. Seketika ia tersenyum dan mengambil susu kotak tersebut, membaca dalam hati sebuah catatan kecil untuknya menghabiskan susu dari Vian, seseorang yang membelikannya susu kemas.
'Kupersillakan untuk menghabiskan tanpa sisa, Aliysia.'
Jadi, bagaimana ia tidak tersenyum dan segera menyeruput susu hangat yang dibelikan Vian.
Setelah habis diminumnya setelah memanaskan di microwafe, barulah kemudian ia meninggalkan apartemen dan pergi ke kampus dengan angkutan umum seperti biasa.
Bersambung