Universitas Seni Kota M
Suasana kantin yang ramai nyatanya tidak mengganggu obrolan dua wanita muda di meja, duduk saling berhadapan dengan tatapan berbeda dimana salah satunya menatap tidak percaya, kepada satunya yang justru meringis.
"Sebenarnya aku sudah menikah dengan pria yang semalam."
Kira-kira begitu yang didengarnya dari lisan sahabat bar-barnya, seingat Sasha.
Enteng sekali si bar-bar mengatakan hal demikian tanpa memikirkan perasaannya.
Bagaimana bisa Aliysia menikah tanpa memberitahunya, belum lagi om galak yang setahunya masih mencari sahabatnya sampai saat ini.
"Coba ulangi, apa maksudnya dengan ucapan itu," pinta Sasha, menatap horor saat Alisyia sendiri kini mencebilkan bibir, sebal, karena minta diulangi sesuatu yang ia sendiri masih menganggap semua ini hanya imajinasi gila semata.
"Apa, masa tidak dengar, aku malas mengulangi."
"Ck! Serius Liysa, kamu sedang mimpi ya?" sahut Sasha ketus, mendelik tajam saat mendapati wajah menyebalkan si bar-bar yang masih manyun di hadapannya.
"Isk! Kamu bertanya, aku jawab, aku juga yang disalahkan, susah ya kalau jadi wanita cantik macam Aliysia Tjia," seloroh Aliysia dengan kenarsisannya, cukup membuat bola mata Sasha merotasi.
"Cih! Percaya dirimu keterlaluan, Liysa," sahut Sasha kesal sendiri.
"Iri…."
"Jangan mengalihkan pembicaraan, sebaiknya cepat jelaskan tentang ucapanmu, jangan membuatku salah paham dan bagaimana dengan Om?"
Ugh…
Aliysia hanya bisa meringis di dalam hati, tahu jelas apa yang dimaksud oleh sahabatnya. Sebelum kembali menceritakan kejadian yang sesungguhnya, ia melihat ke sekitar lebih dulu dan barulah fokus kepada Sasha yang melihatnya serius.
"Aku sungguhan sudah menikah secara agama dan hukum, Sha," bisik Aliysia lirih, ketika Sasha memajukan wajah hingga hanya keduanya yang bisa saling mendengar.
"Lalu? Bagaimana mungkin kamu menikah tanpa ada orang tuamu hadir serta."
"Aku tahu, tapi pernikahan ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Sha."
"Tidak seperti pikiranku bagaimana?" Sasha menatap skeptis ketika Aliysia berusaha menjelaskan.
Pernikahan bagaimana memangnya, apalagi sudah sah secara hukum dan agama.
"Saat itu aku sungguhan tidak memiliki pilihan, ada mereka yang mengejarku, kemudian aku bertemu dengannya di belakang gedung pernikahan. Lalu ya begitu, awalnya kukira hanya sebatas saling bantu, tapi ternyata sampai seperti ini," jelas Aliysia sambil memegang tangan Sasha yang ada di meja.
Ia menggenggamnya erat, menatap lekat dan serius yang terpancar di kedua bola matanya ketika tatapan lurus membalasnya.
"Panjang ceritanya, tapi intinya aku dan dia hanya pernikahan status saja, ada kontrak di antara kami. Dan lagi, aku tidak tidur satu kamar dengannya," lanjutnya menjelaskan.
Sasha mencoba mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh sahabatnya, menelisik setiap ekspresi jujur yang terpampang.
Aliysia tidak pernah berbohong kepadanya dan saat ini sedang menceritakan masalah berat pasti butuh keberanian yang besar.
Dan ia salut dengan seorang Aliysia.
Ia merasakan bagaimana sahabatnya sangat menyayanginya, menjaga hubungan yang dibina sampai saat ini tanpa ada satu kendala. Jadi, salah jika ia menghakimi Aliysia hanya karena pernikahan kontrak yang disebut sahabatnya.
Seharusnya ia membantu, takut jika Aliysia kenapa-napa tinggal dengan si suami kontrak, biar bagaimanapun pria tetaplah seorang pria.
Lalu sahabatnya hanyalah wanita polos, yang tidak pernah dekat dengan pria kecuali tiga pria yang melindungi selama ini, tiga pria protektif tepatnya.
Cukup lama keduanya saling pandang dan Sasha akhirnya mengangguk, mengerti, membuat Aliysia yang melihat anggukan tersenyum senang.
"Baiklah, aku mengerti bagaimana posisimu, Liysia. Kalau ada apa-apa katakan padaku, jangan sungkan, karena aku pasti akan membantumu. Oke?" tandas Sasha lugas.
"Tentu, aku tidak mungkin menyembunyikan apa-apa darimu, Sha."
"Aku tahu."
"Jadi, kamu percaya 'kan sama aku?" tanya Aliysia menatap berharap, agar sahabatnya tidak lagi memicingkan mata dan curiga padanya.
"Aku percaya, pokoknya kamu hati-hati dan jangan dekat-dekat pria bagaimana pun keadaannya, kamu bisa saja status istri meski kontrak, tapi jangan ada hal aneh ya, tahu sendiri sebentar lagi kamu akan pentas dan bisa meraih impianmu," wanti Sasha serius.
Aliysia mengangguk segera, tersenyum lega karena akhirnya Sasha sudah seperti biasa. "Aku mengerti, dia tidak seperti itu, justru aku merasa dia mendukungku," jelasnya.
"Siapa yang tahu pria," sahut Sasha cepat, kembali memicing dan menelisik bagaimana ekspresi Aliysia yang terlihat sekali membela si pria. "Kamu sepertinya kenal sekali dengan dia, apa jangan-jangan kamu…."
"Aku apa? Jangan berpikir yang tidak-tidak, aku tidak suka Vian kok."
"Ow~ namanya Vian ya, lagian siapa yang mengira kamu suka dengan Vian itu, aku 'kan hanya mengatakan jangan-jangan, tapi kamu sudah lebih dulu menebak. Ho~ jadi benar ya."
Sasha mengulas senyum miring saat melihat pelototan Aliysia. Dimana ia juga bisa melihat pipi tersipu, seakan malu dengan apa yang dikatakannya.
Jika seperti ini, apakah akan bertahan pernikahan kontrak mereka?
"Sha! Jangan menggodaku!"
"Ho~ bagaimana dengan usulanku, bukankah bagus Liysa?"
"Sha…."
Aliysia yang memekik berbeda dengan Sasha yang tertawa heboh, sampai-sampai beberapa mahasiswi dan mahasiswa yang ada di sekitar mereka melihat ke meja, saling berbisik karena gelak tawa serta pekikan yang terdengar.
Meski kesal dengan tawa menyebalkan Sasha, nyatanya Aliysia justru lega karena bisa berbagi dengan sahabatnya dan ada seseorang juga yang bisa dibagi cerita darinya.
"Jadi namanya siapa tadi?"
"Vian."
"Iya, Vian. Apakah dia setampan itu, sampai-sampai para mahasiswi bergosip dan mengatakan jika parasnya bagai dewa yunani?" imbuh Sasha menatap penasaran.
"Kalau masalah paras semua orang beda selera, Sha."
"Lalu bagaimana menurutmu sendiri?" tanya Sasha cepat, bahkan sebelum Aliysia mengatupkan mulut setelah menjawab apa adanya.
"Menurutku?"
"Ya."
Aliysia dibuat terdiam akan pertanyaan sederhana dari sahabatnya. Sebenarnya, mudah baginya mengatakan Vian sebagai pria tampan, bahkan temannya yang semalam melihat si paman mengatakan dengan terang-terangan kalau pria tersebut tampan.
Namun, ia tidak bisa sesederhana itu mengatakan Vian tampan, karena ada yang berbeda dengan cara pandanganya kepada si pria, entah sejak kapan.
Jadi, kalau sudah ditanya apakah Vian atau tampan, pikirannya melayang ke berbagai waktu, mulai dari saat ia baru pertama kali bertemu.
Ia mengingat jelas, ketika Vian sangat dekat dengannya. Lalu, ketika ia menghabiskan waktu bersama pria tersebut dan mengetahui sisi lain, beda dengan mereka yang hanya tahu si paman yang tampan.
Keterdiaman Aliysia membuat Sasha yang melihatnya mengernyit, penasaran kenapa sampai si sahabat melamun dengan ekspresi berbeda di setiap detiknya.
Ia yakin pasti sedang ada yang dipikirkan oleh si bar-bar, kalau tidak mana mungkin diam sambil senyum-senyum seperti itu.
Dan, tahu Aliysia tidak akan sadar jika tidak dibawa ke alam nyata, Sasha pun dengan senang hati menegur, membuat sahabatnya terlonjak kaget, menatapnya dengan delikan.
"Sha! Untung saja aku tidak punya riwayat jantung."
"Habis kamunya bengong. Melamunin siapa? Vian ya?"
Uhuk!
Suara batuk Aliysia sayangnya disahuti dengan tawa menyebalkan Sasha, yang kini pun memukul-mukul meja sambil menggodanya.
"Cie~ Vian tampan…."
"Sha!"
Ha-ha-ha…..
Bersambung