Kamar sewa Aliysia
Aliysia memandang sebal saat Vian justru balas dengan wajah sok polos. Ia baru saja ingin kembali memekik kesal, tapi suara kekehan membuatnya menganga, gagal paham dengan pria yang terlihat cuek, tapi aslinya menyebalkan model Vian.
"Becanda, jangan ngamuk begitu. Ck! Dasar bocah," ujar Vian tanpa dosa, kemudian mengangkat kardus yang dimaksud dengan mudah dan melihatnya dengan tatapan bertanya. "Ini saja? Yakin tidak ada yang lainnya?"
"Tidak ada, itu saja Vian. Biar yang lainnya aku yang bawa keluar."
"Okay, kalau begitu aku tunggu kamu di mobil," jawab Vian, seraya meninggalkan Aliysia sendiri di kamar kost-an.
Ia menatap punggung Vian yang menjauh dengan dengkusan karena lagi-lagi dipanggil bocah, meski kini kembali mengemas sisa barang.
Alisyia memang tidak membawa banyak barang dari rumah, bahkan kabur dengan menyicil barang yang disembunyikan di rumah Sasha dan loker.
"Hanya menunggu beberapa bulan lagi aku bisa ke Eropa, semoga saja ini bukan keputusan yang salah," gumamnya sambil memasukkan pakaian di koper.
Sementara itu, Vian sampai di tempat ia memarkirkan mobil, kemudian membuka bagasi dan menutupnya dengan pelan, masih menunggu barang-barang Aliysia yang lainnya, jadi ia tidak ingin repot mengangkat pintu bagasi lagi.
"Fyuh.... Setelah ini ke swalayan, kemudian-
Ucapan Vian terpaksa ditelan kembali, ketika ia melihat dua orang pria berotot yang kemarin mengejar Aliyisa. Ia jadi refleks menyembunyikan diri, padahal ia tidak punya masalah dengan mereka.
Sejujurnya, ia ingin menemui keduanya untuk menjelaskan masalah Aliysia, tapi ia takut jika salah sangka atau lain sebagainya.
Ya, bagaimana kalau ketika ia menghampiri salah-salah dirinya yang terkena bogem, karena sama saja ia menyatakan diri telah menyelamatkan Aliysia?
Padahal jelas, jika kemarin ia mengatakan tidak melihat dan malah mengusir dengan kejam keduanya, seakan-akan ia terganggu serta tidak melihat Aliysia.
Ck! Dasar bodoh.
Vian hanya bisa berdecak, sebelum akhirnya membalik tubuh dan sedikit berlari kembali ke kamar Aliysia.
Sebaiknya aku cepat memberikan uang kepada Aliysia, jadi dia tidak perlu takut dan dihantui oleh keberadaan mereka, batinnya.
Sampai di depan pintu kamar sewa, Vian melihat Aliysia yang sedang memasukan beberapa potong pakaian ke dalam koper, kemudian menolehkan ke arahnya dengan kening berkerut.
"Ada apa lagi, Vian?" tanya Aliysia bingung.
"Di depan ada pria kemarin. Apa kamu akan didatangi mereka lagi ke sini?" tanya Vian dan Aliysia seketika terdiam dengan wajah pucat.
Benar 'kan, apa aku bilang. Aku harus segera menyelesaikan hutang ini dan dengan begitu kewajibanku berkurang, batinnya.
"Apa! Benarkah itu Vian?" tanya Aliysia memastikan, wajahnya bukan hanya kaget melainkan takut disaat bersamaan.
Jangan sampai Vian dilihat oleh mereka, kalau tidak akan berbuntut panjang.
"Iya, ada di depan gang," sahut Vian sambil mengangguk.
"Kalau begitu jangan keluar dulu. Biarkan mereka pergi dengan sendirinya, sebentar kok, aku sudah biasa," tukas Aliysia seraya melihat ke arah luar melalui jendela.
"Apa tidak sebaiknya kamu datangi mereka dan bilang jika kamu akan melunasi hutangmu segera?" tanya Vian, tapi sayangnya Aliysia segera menggeleng dengan wajah takut dan meminta agar mereka tetap berada di dalam kamar.
"Jangan! Biarkan aku yang mendatangi mereka saat sudah memiliki uangnya. Aku tidak mau mereka ikut menarikmu ke dalam permasalahan ini," tolaknya tegas.
"Tapi mereka hanya perlu menyebut berapa nomor rekeningnya dan aku akan mengirim segera. Kamu tidak usah khawatir," tandas Vian dan sayang apa yang dikatakannya lagi-lagi dibalas dengan gelengan kepala, menolak.
"Tidak bisa, emh.... Maksudku, mereka tidak menerima transferan atau cek selain cash, Vian," jelas Aliysia cepat.
Vian yang mendengar penjelasan Aliysia sempat terdiam, sebenarnya tidak percaya karena zaman sudah berubah canggih dan banyak cara pembayaran yang lebih mudah. Namun, tahu jika memaksa pun akan sangat percuma, ia akhirnya mengangguk dan mengiyakan apa yang dikatakan si istri kontrak.
"Seperti itu. Baiklah, terserah kamu saja dan aku akan memberikan uangnya kepadamu, oke?" sahut Vian.
"Iya, terima kasih."
Aliysia menghela napas dalam hati, lega karena Vian tidak mempertanyakan hal lainnya dan percaya akan apa yang dikatakannya. Akhirnya, keduanya pun menunggu hingga situasi di luar aman.
Suasana di sana tampak canggung, dimana Aliysia sesekali melihat keadaan di luar melalui hordeng yang disibak sedikit, mengintip dari sela dengan ekspersi wajah yang ketakutan, tanpa ada rekayasa dan Vian yang melihatnya ikut merasakan.
Entah kenapa, ia jadi ingin melindungi, meski rasa itu segera ditepis dengan kepala menggeleng pelan.
Secepatnya aku harus mencairkan uang untuk Aliysia. Huft.... Demi kuliah dia rela begini, benar-benar bocah yang tangguh, batinnya.
Sejujurnya, baru ini Vian merasa kasihan, maksudnya benar-benar dari hati, ketika melihat kehidupan susah seseorang yang sebenarnya bukanlah orang yang dikenal lama.
Tidak lama kemudian, ia mendapati Aliysia yang menghembuskan napas lega, kemudian tersenyum dan menganggukkan kepala pelan, entah ada apa.
"Sudah, Vian. Sebaiknya kita cepat pergi dari sini. Selagi aku berpamitan dengan Ibu kost, kamu bisa 'kan bawa koper ini ke mobil?" pinta Aliysia dengan nada memohon, tidak ada jahil sama sekali di kilat wajah pucat yang dilihat Vian, membuatnya tanpa sadar mengangguk.
Ya, seperti ada sihir, karena sebenarnya Vian bukan seseorang yang suka diperintah dan kini justru mengikuti apa yang dikatakan oleh si wanita. "Hn," gumamnya kemudian mengambil alih koper yang ada di tangan Aliysia.
"Terima kasih."
"Hn." Kembali Vian bergumam pelan, kemudian menyeret koper untuk disimpan di bagasi. Sedangkan Aliysia sendiri ke arah belakang, ia menebak jika itu rumah si pemiliki kost atau entahlah, ia tidak tahu dan sebaiknya tidak perlu bertanya juga.
Vian menunggu dan bersandar di badan mobil, meski tak lama kemudian kembali berdiri tegak ketika melihat Aliysia keluar dari gerbang kost.
"Sudah?" tanyanya.
Aliysia mengangguk kecil dan menoleh ke segala arah seakan memastikan sesuatu, beru kemudian kembali menatap Vian yang menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Um, aku sudah selesai," jelasnya.
"Yakin? Tidak ada yang tertinggal?" tanya Vian memastikan.
"Tidak ada, sudah semua."
Jawaban lugas dari Aliysia membuat Vian mengangguk dan tidak ambil pusing. "Bagus! Masuklah," perintahya seraya membukakan pintu mobil untuk Aliysia.
Perilaku yang lagi-lagi terasa aneh untuknya, sungguh ini adalah kali pertama ia membukakan pintu untuk seorang wanita. Bahkan, mantannya pun tidak pernah diperlakukan seperti ini, tapi kenapa Aliysia tidak?
Sungguh, Vuan tidak mengerti.
"Terima kasih."
"Hn."
Blam!
Bergumam sambil menutup pintu setelah memastikan Aliysia duduk nyaman, Vian barulah berjalan ke arah pintu lain dan kembali mengendarai mobil menuju tempat selanjutnya sesuai rencana.
Ke swalayan atau ke mall, membeli barang keperluan dan mungkin makan siang, karena saat ini waktu sudah menunjukkan angka sebelas.
Brumm!
Bersambung.