Apartemen Soho
Vian kembali fokus dengan syarat yang ditulis Aliysia, mengabaikan pula suara tawa yang masih menggema di dapur sana, sepertinya terlalu senang karena berhasil membuat si empu hunian mendelik kesal lagi.
Ia mengangguk mengerti saat membaca tulisan rapi, yang sekiranya tidak terlalu sulit untuk dijadikan sebuah syarat kontrak baginya. Bahkan tidak ada yang terlalu aneh, kecuali di beberapa bagian.
"Tidak ada tidur satu ranjang, ini sih memang sudah seharusnya. Tidak ada sentuh menyentuh, apa lagi yang ini. Bebas berkeliaran dan pulang jam berapa pun, hum ini tidak bisa dibiarkan memangnya ini hotel. Lalu apa ini, susu cokelat setiap hari dan salmon, apa ini maksudnya makanan kesukaannya? Astaga ini bocah satu."
Vian membaca dengan gumaman sambil menggelengkan kepala, takjub. Sesekali ia juga mencoret dan menambahkan apa yang sekiranya penting. Kemudian, ia juga menulis apa yang akan menjadi syarat dan kewajiban yang harus dipatuhi Aliysia selama kontrak pernikahan.
Hingga tidak lama kemudian, Aliysia tampak berjaan santai kembali dari dapur dan membawa minuman kaleng milik Vian yang sudah diminta izin sebelum membukanya.
Untunglah si Tuan rumah menyediakan soft drink di dalam kulkas, meskipun tidak sebanyak beer kaleng yang suka sekali ia konsumsi untuk menemani malam harinya yang semakin sunyi, apalagi semenjak putus dari Nindita.
"Sudah belum, lama deh?" tanya Aliysia seraya meneguk minuman dengan gaya santai, seakan-akan ia sudah lama tinggal di hunian Vian. Padahal jelas, sebelumnya si bocah menolak untuk ikut dengan suami kontraknya.
Tenang, kali ini si empu hunian sudah mulai bisa mengontrol emosi dan hanya mendengkus melihat gaya santai istri bocahnya.
"Hn, sudah," gumam Vian sambil memberikan kertas yang sudah diperbaiki untuk dibaca Aliysia yang menerimanya segera.
Aliysia membenarkan kertas yang posisinya terbalik, kemudian membacanya sekilas dan seperti biasa akan selalu protes dengan apapun yang menurutnya tidak sesuai.
Vian bahkan tahu, meski hanya melalui delikan dan diam-diam sepertinya ia sudah mulai mengerti kebiasaan istri yang dipanggilnya bocah. Aneh, padahal baru beberapa jam bersama.
"kenapa aku tidak bisa pulang larut? Aku 'kan bosan kalau hanya berdiam diri saat malam di kamar," tanya Aliysia saat syarat darinya dicoret dan diganti dengan lainnya. "Tidak seru sekali," lanjutnya mencibir.
"Ini apartemenku. Sudah sewajarnya kalau kau menuruti apa ketentuan dariku," jawab Vian dengan nada tenang, sama sekali tidak peduli meski bibir itu sudah mencebil dan bergerak seakan mengejeknya.
Bukan seakan, tapi memang mengejek.
"Tapi aku 'kan butuh hiburan, Vian~," protes Aliysia merengek, tidak terima.
"Tidak baik seorang wanita berkeliaran hingga malam."
Niat Vian sih mencoba menasihati, tapi sayang Aliysia yang keras kepala dan masih berjiwa muda keukuh tidak ingin jam malamnya dibatasi.
Ia kira hanya papapnya yang pelit dengan jam malam, tahunya pria yang menjadi suaminya juga. Padahal ya, ia baru saja merasakan hidup bebas setelah kabur dari rumah.
"Setidaknya jangan pukul delapan malam sebagai batasnya, tambahin sampai pukul sepuluh," tawar Aliysia masih belum menyerah.
Bahkan, ia juga sudah mengeluarkan jurus tatapan maut, menurutnya, karena selalu berhasil membujuk dua kakaknya dengan cara ini. Namun sayang, dunia tidak selamanya indah Aliysia ayang. Karena apa, karena ia mendapatkan gelengan dari Vian.
Ya, menggeleng tegas adalah yang Vian lakukan, menatap tajam pula tanda tidak ingin dibantah dan sepertinya si bocah mulai mengerti juga akan arti yang disampaikan suami pamannya, karena kini ia menghela napas kasar, sebelum mengangguk dengan bibir kembali mencebil.
"Hais! Baikah aku setuju, pukul delapan batas waktu aku di luar rumah, huh! Menyebalkan."
Cih! Kau yang menyebalkan, dasar kekanakan, batin Vian menahan diri tidak mendengkus.
Kemudian Aliysia kembali membaca setiap tulisan, setelah selesai ia mengalihkan tatapan ke arah Vian sambil meletakkan kertas kontrak di atas meja.
"Syaratnya sudah aku baca semua, aku rasa ini cukup adil untuk kita berdua. Hingga saat kamu menemukan wanita yang benar-benar kamu cintai, aku akan menjadi istri kontrakmu. Bagaimana?" tukas Aliysia menatap Vian sungguh-sungguh.
Sungguh, Vian pikir jika Aliysia seperti ini tampak seperti wanita sesungguhnya. Namun sayang, si bocah selalu bersikap layaknya bocah dan itu membuatnya kesal sendiri.
"Tentu saja, kau jangan khawatirkan masalah itu. Tidak perlu sampai aku mendapatkan wanita yang kucintai, karena ketika aku menemukan cara bercerai maka kita akan bercerai, itu saja. Lagian, aku tidak suka dengan wanita bocah, apalagi sepertimu," jawab Vian memulai perdebatan.
Bukan saja kalimatnya yang memprovokasi, tapi juga seringai miring yang membuat Aliysia membuka mulut tidak percaya, menganga.
"Hei! Hati-hati dengan ucapanmu, wanita yang kamu anggap bocah ini adalah wanita yang bisa saja membuatmu jatuh cinta dan bertekuk lutut di suatu hari kebersamaan kita. Camkan itu, Paman."
Vian hanya bisa tersenyum mengejek ke arah Aliysia yang masih misuh-misuh sambil mendelik. Namun, saat ia ingat hal yang ingin ditanyakan, ia pun menyudahi acara cekcok tidak penting saat melihat istrinya kembali ingin buka suara.
"Baiklah lupakan dulu masalah cinta atau apapu itu. Ada yang lebih penting dari itu dan pertama adalah siapa nama keluargamu dan dari mana asalmu?" tanya Vian mengalihkan pembicaraan dan Aliysia seketika itu juga bergerak gelisah, menatap sang suami dengan wajah yang berubah drastis dari sebelumnya.
Benar, tidak ada lagi delikan dan tatapan kesal, yang ada hanyaah canggung.
Kenapa dengan ekspresinya, aneh sekali, batin Vian curiga.
"A-aku...."
"Aku apa?"
"Itu, aku-
"Ck! Jangan bilang kalau kamu tidak punya nama keluarga? Tapi itu tidak masalah, yang penting asal usulmu jelas. Ayo, sekarang katakan dengan detail siapa kamu padaku, semuanya," sela Vian dengan nada menuntut, tidak tahu saja sudah membuat Aliysia semakin menelan saliva susah payah.
Astaga! Kenapa dia cerewet seperti ini sih. Padahal di awal pertemuan tidak seperti ini, meskipun nyinyir dan menyebalkan memanggilku bocah, batinnya gelisah.
Vian yang melihat ekspresi aneh Aliysia semakin dibuat bingung, mengernyit dan akhirnya menegur kala merasa si wanita melamun.
"Oy! Kenapa melamun?"
"Isk! Jangan galak gitu dong, Paman. Aku dengar dan aku tidak melamun, ini juga mau dijelaskan kok, sabar dikit bisa 'kan?" kilah Aliysia cepat, saat Vian dengan galak menyentak lamunannya.
"Kelamaan kamu. Coba lihat pukul berapa saat ini. Besok aku memang tidak bekerja, tapi ini sudah larut, kalau kamu tidak melihat waktu di jam dinding sana."
Sesungguhnya, Vian baru ini merasa gemas dan sewot kepada wanita, ia tidak tahu kenapa bisa bersama Aliysia gumaman singkatnya menjadi kalimat panjang lebar seperti ini.
Sementara itu, Aliysia yang mendengar ucapan Vian segera melihat ke arah jam dinding yang menempel di dekat pintu sebuah ruangan. Benar saja, ia sudah menemukan jarum panjang di sembilan dan pendek dua belas.
Pukul. 23. 45.
Cepat sekali waktu berlalu, batinnya dan lagi-lagi melamun sampai Vian kembali menegur.
"Lysia."
Huh!?
Bersambung