Apartemen Soho
Vian terdiam antara kesal dan mengasihani nasib, tapi ketika ia mengingat jika ibu Aliysia sudah tidak ada di dunia, seketika ia menjadi berpikir.
Apa ini yang membuat Aliysia tidak bisa memasak?
Ia melihat wajah Aliysia yang sedikit murung, membuatnya tidak enak karena merasa berlebihan hanya karena makan yang bisa dibeli di luar dan ia menghela napas lagi untuk kesekian kalinya.
Seharusnya ia tidak begini.
"Huft…, baiklah lupakan. Bagaimana kalau begini saja, kamu kerjakan apa yang dibisa, mungkin membereskan ruang tamu, sapu, pel atau apapun pekerjaan yang kamu bisa. Aku mandi dulu, kemudian mengantar kamu ke kost-an untuk mengambil barang-barangmu, baru ke swalayan belanja bersama. Setuju?" tandas Vian menjelaskan dengan panjang lebar dan hati-hati kepada Aliysia yang akhirnya tersenyum lagi.
Senyum seperti itu yang lebih pantas terlukis di wajahmu, dari pada wajah sedih, eh? Apa yang kupikirkan!
"Siap! Vian, kalau begitu aku akan menyapu dan mengepel sampai kinclong, sampai bersih mengkilat!" seru Aliysia sambil memasang pose hormat berlebih.
Vian yang melihatnya diam-diam mendengkus geli, tidak jadi mellow karena hampir membuat gadis orang muram. "Hn, sapu dan pel yang benar. Aku mandi," sahutnya dan kembali memasuki kamar, membatalkan acara olahraga untuk bersiap menjadi pengasuh istri yang baik hati.
Hari baru yang benar-benar baru, ck! batin Vian, menutup pintu meninggalkan Aliysia di ruang tamu.
Ya, Aliysia yang bergegas mencari peralatan tempur. Ia tidak mengambil pusing, meski harus melakukan pekerjaan yang dulu tidak pernah dikerjakannya.
Dengan semangat membara, ia memulai pekerjaan rumah sambil tertawa senang karena hari ini setidaknya ia terbebas dari kejaran dua om di luar sana.
Beberapa saat kemudian
Saat ini pasangan suami-istri kontrak sedang dalam perjalanan menuju kost-an Aliysia berada.
Vian melirik ke samping dimana ia mendapati Aliysia yang tampak diam, dengan wajah cemas seperti srdang menyembunyikan sesuatu. Namun sekali lagi, ia membiarkan saja dengan alasan tidak ingin mengganggu privasi.
Ia tidak mau disebut kepo atau ikut campur, apalagi semalam pun hal sepele tidak diperkenankan oleh si bocah untuk ditanya.
Ya…, meskipun Vian ingin mengetahui apa yang dipikirkan Aliysia, tapi ia mencoba untuk tidak mempermasalahkan. Lagian, saat ini keduanya hanya pasangan dengan status kontrak dan bisa putus di waktu yang tidak diduga.
Yang jelas, surat perjanjian tertulis jika sampai ia menemukan pasangan atau sampai Aliysia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di luar negeri, saat itulah hubungan keduanya akan benar-benar selesai.
"Di mananya, kost-an kamu?" tanya Vian, ketika menemui jalan dengan dua cabang. "Kanan atau kiri nih?" lanjutnya, menoleh sekilas ke samping dan menemukan Aliysia menunjuk kanan dengan jari lentik teracung.
"Kanan, Vian," jawab Aliysia dengan nada suara yang lagi-lagi terdengar aneh di telinganya.
Namun sayang sekali lagi, Vian hanya mengangkat bahu tak acuh dan lanjut memutar stir kemudi untuk belok ke arah kanan.
Jalanan kampung yang dilalui mobil yang dikendarainya ramai dengan anak-anak bermain, membuat perjalanan sedikit terhambat, meski tidak lama akhirnya sampai di sebuah rumah lantai dua dengan plang tulisan 'terima kost putri'.
"Jadi, kamu benar-benar seorang wanita ya?" tanya Vian iseng, tidak tahan saat melihat wajah Aliysia yang aneh.
Jujur, meskipun baru sehar- maksudnya dua hari mengenal sosok Aliysia. Vian seperti menerima, seperti ia sudah mengenal lama.
Bukan karena ia menyukai, jelas sekali bukan. Ini murni karena ia merasa senang, ketika melihat wajah rese, menyebalkan dan jahil Aliysia kesal seperti saat ini.
Lihat saja, delikan matanya membuat Vian justru ingin tertawa alih-alih takut.
"Ck! Kamu ini yah, selalu membuatku ingin mengumpat kesal dengan seribu penghuni alam semesta. Kamu mau bukti lebih jelas, jika aku ini benar seorang wanita, heh!"
Nah! Benar 'kan apa kataku. Aliysia yang seperti ini lebih menyenangkan untuk dijahili, batin Vian dan seketika menggeleng.
Ia merutuki pikiran karena bisa-bisanya memikirkan senang karena menjahili sang istri.
God, apa yang baru saja aku pikirkan, lanjutnya masih dalam batin.
"Santai elah, Lysia. Baru begitu aja marah, apalagi aku yang kamu panggil 'Paman' dengan seenaknya setiap waktu. Kamu katarak ya? Lihat wajahku yang tampan, masih muda, tampan dan berkarisma begini di panggil 'Paman'. Minta di sumpal ya itu bibir," jawab Vian panjang lebar lengkap dengan kenarsisan yang tiba-tiba muncul, tidak sadar pula menyebut diri tampan sebanyak dua kali.
Tunggu! Berapa banyak kalimat yang sudah diucapkan Vian hanya untuk membalas kalimat kesal Aliysia?
"Cih! Kamu tampan kalau dilihat dari ujung puncak melalui sedotan. Sudah ah! Lebih baik aku turun dan mengepak barang-barangku, daripada bertengkar tidak jelas dengan kamu si Paman yang menyebalkan, huh!" nyinyir Aliysia sewot, kemudian turun dari mobil dengan Vian yang lekas ikut keluar.
Ceklek!
"Hei! Lysia, tunggu!' seru Vian ketika membuka pintu dan melihat Aliysia yang lebih dulu melenggang pergi meninggalkannya sendiri.
Cepat sekali si wanita-bocah berjalan.
Blam!
"Haih! Anak itu," gumam Vian segera mengejar setelah menutup pintu mobil.
Aliysia yang lebih dulu jalan hanya menoleh sekilas, sambil melihat ujung gang dan setelah memastikan aman kembali menuju pintu kamar sewanya berada. Hingga tak lama kemudian sampailah keduanya di depan pintu kamar, dengan Vian yang melirik saat delikan Aliysia membuatnya bingung.
"Apa? Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanyanya dengan datar, risih juga mendapat delikan.
Aliysia sontak menghela napas gemas, meski tetap menjawab setelah mendengkus. "Bantuin loh. Jangan hanya mengacau di dalam, apalagi menonton sambil makan popcorn," jawabnya.
Kini ganti Vian yang mendengkus dengan apa yang di katakan si istri bocah. "Iya. Tenang saja, takut sekali tidak dibantu," sahutnya dengan nada bosan, kemudian Aliysia pun membuka pintu sedikit lebar, masuk ke dalam dengan Vian yang mengekor di belakangnya.
Creak!
Kini kamar sewa Aliysia terlihat dan Vian mengedarkan pandangan dengan kepala megangguk kecil.
Tidak lebar dan sempit, tapi cukup rapi dengan ranjang single dan juga meja belajar merangkap meja dengan banyak kebutuhan perempuan di tersusun. Tidak ada sofa dan apapun itu sebagai perkakas rumah pada umumnya, membuat Vian menebak jika Aliysia bukanlah anak dari kalangan berada.
Jelas, mana ada anak orang kaya tinggal di tempat sederhana seperti ini, meskipun tidak semua sih.
Tapi, apa yang dipakainya cukup bermerek untuk kalangan sederhana, batin Vian menilai.
Ia tidak sadar sampai melamun dan Aliysia yang mendapati tatapan memperhatikan itu menegur, untung saja tidak membuat Vian kaget.
"Vian!"
"Hmm?" sahut Vian melihat segera ke arah Aliysia yang memanggilnya
"Aku hanya membawa pakaian dan buku-bukuku. Sebagian memang sudah aku packing, kamu bisa membawanya," jelasnya menepuk-nepuk kardus dengan isi entah apa dan Vian tidak mau bertanya.
"Lalu?"
"Kok lalu!"
"Ya terus?"
"Vian!"
Bersambung