Café Moonbuck kota M
"Hah! Yang benar saja sih Liysa!"
Dengan tidak elit dan tidak anggun sama sekali, seorang gadis muda memekik horor ketika mendengar cerita dari seorang gadis lain yang duduk di hadapannya. Ia berteriak layaknya orang kecopetan, hingga pengunjung cafe sore itu melihat ke arah mereka sambil berbisik.
"Hayah! Sha…. Kamu ini bisa nggak sih biasa saja, nggak perlu pakai berteriak segala macam seperti ini, bikin malu aja tahu tidak?"
Sahutan berupa desisan dengan kepala bersurai diikat kuda menoleh ke arah kiri-kanan, sambil meminta maaf itu yang terdengar setelahnya di meja berisi dua orang gadis muda.
Liysa, tepatnya Aliysia dan umurnya menginjak dua puluh tahun. Ia merupakan mahasiswi jurusan seni musik dan managemen bisnis atas perintah sang papa yang ingin ia menjadi penerus perusahaan bersama dua kakak kembarnya. Namun sayang, ia lebih mencintai seni dimana ia memiliki suara tinggi yang diakui pula oleh pelatih yang mendukungnya.
Ia kini kembali menatap sahabatnya dengan bola mata bulat mendelik kesal, meski sayangnya cengiran justru membalas ekspresi kesal darinya karena pekikan memalukan itu.
Untungnya ia selalu berhasil kabur dari kejaran dua orang pria berbadan besar di sepanjang jalan kota M dan kalau sudah begitu, ia pasti akan bersembunyi semalaman di dalam kamar kos. Lalu siang ini, ia meminta sahabatnya yaitu Shasa untuk menemaninya dan menceritakan masalah hidupnya, yang menurut dirinya sangat berat sedunia .
Jika masih ingat dengan kejadian kejar-kejaran di awal pembuka, maka benar jika ia lah biang keladinya yang bertabrakan dengan seorang pria dan kabur begitu saja setelah membuat kemeja pria tersebut terciprat.
"Jadi Om masih belum menyerah dalam memintamu untuk melupakan cita-cita, begitukah?" tanya Sasha tidak percaya sambil menggelengkan kepala dramatis.
Sasha, seorang wanita muda berumur dua puluh tahun satu fakultas dengan Aliysia, menganggap papa sahabatnya sangatlah kejam karena tidak mendukung cita-cita dan keinginan sang anak yang ingin sukses dengan caranya sendiri.
"Hum..., memang begitu," sahut Aliysia lemas.
Jika tidak sedang dalam mode lelah dan kesal, mungkin Aliysia akan manjitak kepala Sasha yang masih menggelengkan kepala dengan dramatis meledeknya.
Huh... Dasar ratu lebay, belum tahu aja kalau ada masalah lebih besar dari ini, lanjutnya dalam hati.
Persahabatan mereka ini di mulai dari masih kecil, jadi pantaslah Sasha yang mendengar cerita itu menggeleng tidak percaya karena setahunya dulu ibu Aliysia juga seorang penyanyi sopran seperti sahabatnya.
Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya.
Dan kebetulan Aliysia sendiri tidak memiliki banyak teman, hanya Sasha lah sahabatnya yang paling dekat. Keduanya kenal dari kecil dan selalu sekolah di tempat yang sama, bahkan kuliah pun sama walaupun beda Jurusan .
Ya, Aliysia lebih memilih jurusan seni musik dan managemen bisnis, karena cita-citanya sedari kecil adalah menjadi seorang penyanyi sopran.
Sedangkan sahabatnya—Sasha mengambil jurusan dibidang desainer yang bercita-cita membuatkan baju ketika Aliysia tampil di panggung besar.
"Terus, rencana kamu bagaimana Liysa?" tanya Sasha penasaran.
"Duh..., entahlah Sha, yang pasti aku gak mau ngorbanin bakat dan lagi ya aku tuh hanya tinggal menyisakan beberapa bulan maka bisa berangkat ke Eropa untuk opera besar," sahut Aliysia pasrah.
"Terus, sudah berapa lama kamu kabur dari rumah?"
Benar, ia pun saat ini sedang dalam kondisi kabur karena ingin membelot dari perintah sang papa yang ingin ia meninggalkan keinginan menjadi seorang penyanyi sopran.
Entah kenapa sang papa sangat membenci profesi itu, padahal ia mendapat pujian dari banyak orang karena suaranya yang katanya indah dan tinggi.
"Sudah lumayan lama, tapi Papa sama sekali tidak mengibarkan bendera menyerah (Dan malah semakin menambah pilihan menyebalkan)" jawab Aliysia dan melanjutkannya dalam hati.
"Bagaimana caramu mendapatkan uang?"
"He-he…. Aku minta kiriman dari Kak Ghava." Aliysia dengan santai cengengesan ketika mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi.
Ia memang meminta kiriman dari kakaknya yang kini entah ada dimana, tanpa memberitahu jika ia kabur dari rumah meski ditanya berulang kali tentang keadaan di rumah seperti apa.
"Ck! Dasar kamu ini, pokoknya hati-hati dan segera kabur kalau bertemu dua pria besar itu lagi, oke?" wanti Sasha menatap serius Aliysia yang hanya bisa mengangguk sambil mengerucutkan bibir.
"Oke-oke…."
Sedangkan di tempat lain, tepatnya di sebuah perusahaan kecil yang sedang merangkak naik ke atas tampak berdiri seorang Laki-laki bertubuh tinggi dan tegap membelakangi pintu, bahu lebarnya sangat menggoda untuk dijadikan sandaran, kebetulan saat ini sedang menerima telepon dari orang tuanya .
Klik!
"Hum…, Ya mah, baik Aku akan pulang. Tidak tahu kapan. Baik, baik akan aku usahakan. Iya ... Baiklah Mah jaga kesehatanmu, salam untuk Papa. Aku menyayangimu juga."
Tut!
Setelah selesai, si pria kemudian menekan nomor satu di papan pesawat telepon di meja kerja, tepatnya sedang menelpon sang asisten.
"End ke ruanganku sekarang," perintahnya dan kemudian mematikan panggilan telepon secara sepihak .
Ia menghela nafas lelah, saat mengingat pembicaraannya dengan sang mama di beberapa menit yang lalu.
"Haish.... Kenapa harus buru-buru sih, aku bahkan belum tahu hubunganku dengan Nindi seperti apa," gumamnya kesal sendiri.
Tak lama dari ia menghubungi sang asisten, terdengar ketukan dari luar dan ia hampir saja tersentak kaget, sepertinya ia tidak sadar sedikit melamun karena memikirkan permasalah pertanyaan yang tidak jauh-jauh dari hidupnya.
Kapan kawin?
Hais! Umurnya bahkan baru dua puluh enam tahun, sudah ditodong dengan pertanyaan ini selalu, menyebalkan.
Untung saja yang bertanya sang mama, wanita yang paling disayanginya tiada tara, jadi ia tidak kesal dan menggerutu dalam hati saja.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
Ceklek!
Pintu ruangan terbuka, disusul dengan seorang pria tampan yang masuk dan berjalan dengan tergesa. "Ya Bos, ada yang bisa dibantu?"
"Bagaimana dengan meeting kita Er, apakah ada jadwal yang maju? Aku ingin menghubungi seseorang dan mengganti pakaian setelah ini, kemejaku kotor," tanyanya datar, menatap sang asisten dengan ekspresi seperti biasa.
"Ada waktu jeda beberapa puluh menit di meeting berikutnya, kok bisa kotor sih?" tanya sang asisten khawatir.
"Tidak ada apa-apa kok, biasalah. Jadi bisa ya, kalau begitu aku pakai sebentar, kamu duluan saja ke tempat meeting selanjutnya, oke?"
Sang asisten mengangguk mengerti, lalu meninggalkan ruangan sang Bos untuk mengerjakan tugas sesuai instruksi.
"Baik, aku akan tunggu di tempat pertemuan. Ada lagi, Bos?"
"Tidak ada, Er. Kamu bisa segera pergi," sahut sang Bos kemudian mengangguk dan membiarkan sang asisten yang dipanggilnya 'Er' meninggalkan ruangan, menyisakan dirinya di dalam sendirian dengan debaman yang juga terdengar setelahnya.
"Baik!"
Blam!
"Terserah lah, sekarang yang penting jelaskan dulu apa yang terjadi, kemudian bertanya dan dengar mau apa dia sebenarnya," gumamnya sambil menghembuskan napas, kemudian membereskan meja sebelum akhirnya menghubungi sang kekasih untuk menjelaskan sesuatu.
Benar, kekasihnya yang sebenarnya mengajaknya bertemu di sebuah café dengan alasan yang katanya penting.
Ia sampai bingung penting apa dan daripada hubungannya yang sudah tidak beres semakin buruk, lebih baik ia mendatangi, hingga berujung kesialan yang diterima ketika hendak memasuki cafe.
Kenapa wanita sangat keras kepala kalau sudah meminta sesuatu, astaga….
Bersambung