Chereads / Suddenly Married With Stranger / Chapter 7 - Masalah Hidup Di Tempat Berbeda

Chapter 7 - Masalah Hidup Di Tempat Berbeda

VJ Invenity Kota M

Puk!

Tepukan dari samping membuat Vian yang sedang melamunkan masalah dan alasan memiliki kekasih hampir berjenggit kaget. Ia menoleh ke samping dan mendelik kesal, tapi sayang Endra yang melihatnya justru hanya mengulas cengiran tanpa dosa.

"Ck! Kamu membuatku kaget, Er."

"Apa? Kamunya saja yang melamun, iya 'kan?" tuduh Endra tepat sasaran.

"Siapa yang melamun?"

"Ya kamu."

"Ck! Tidak, mana ada," sahut Viand an bersamaan dengan itu lift yang keduanya tumpangi sampai di basement tempat masing-masing kendaraan terparkir.

Ting!

"Tidak mau mengaku, huh!"

"Hn."

Gumaman menyebalkan Vian membuat Endra kembali mendengkus, tapi merasa jika tidak ada habisnya memaksa sahabatnya bercerita, ia pun melupakan dan berpamitan ketika sampai di samping mobil miliknya. "Ya sudah deh! Hati-hati kamu! See you tommorow," putusnya.

"Yo," sahut Vian singkat dan keduanya pun memasuki mobil masing-masing.

Brum!

Deruan mesin menggema di sana, meninggalkan keheningan ketika mobil terakhir yang keluar benar-benar menjauh.

Vian sendiri mengendarai dengan kecepatan sedang, mengingat jalanan licin sehabis hujan sore ini. Ia tidak mau ada hal yang tidak diinginkan terjadi diperjalanan menuju apartemen yang ditinggalinya bersama keka- ah! Maksudnya mantan kekasih.

Ia sepertinya harus segera melatih lidah untuk membiasakan diri memanggil Nindita sebagai mantan kekasih.

"Nindita yah... Sebenarnya aku cukup nyaman dengannya, di luar dari kelakuan nakalnya jika sedang merasakan 'ingin' ketika dia merayuku. Meskipun aku tidak mencintainya, tapi aku cukup menyukainya sebagai wanita yang menjauhkanku dari gosip 'pria belok'. Berita yang diedarkan oleh pihak tidak bertanggung jawab, hanya karena aku selalu dekat dan bersama Endra dibanyak kesempatan."

Tidak jauh dari mobil melaju, sudah terlihat gedung tinggi yang menjadi tempat tinggal Vian. Ia tidak tahu apakah Nindita sudah pergi dari huniannya atau belum, tapi terserah juga sebenarnya.

Karena kalau pun wanita itu belum meninggalkan apartemennya, Vian juga tidak bermaksud untuk mengusirnya.

Ia tidak mau kembali dicap laki-laki sialan, seperti apa yang dikatakan wanita tersebut kepadanya di cafe. Setidaknya ia akan memberi waktu, untuk sang mantan mencari hunian sendiri.

Apalagi ia tahu jika mencari tempat tinggal di tengah kota seperti ini sangat sulit, bukan hanya soal harga melainkan keamanannya pula.

Gerbang terbuka otomatis setelah Vian mengaksesnya dengan kartu identitas penghuni apartemen. Keamanan apartemen ini termasuk yang jempolan, tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke dalam dan ia cukup nyaman karenannya.

Ckit!

Akhirnya sampai juga di basement tempat biasa memarkirkan mobil, ia pun mematikan mesin dan memasang rem tangan. Kemudian mengambil jas dan tas kerja yang ada di kursi sebelah untuk sampirkan di lengan di sebelah kanan, sedangkan tangan yang satunya menutup pintu mobil dengan debaman keras.

Blam!

Suara 'bip' menandakan kunci terpasang dengan alarm, ia melangkah menuju lift, memasuki dan menekan tombol lantai huniannya berada lalu menunggu dengan sebelah tangan masuk ke dalam saku celana.

Pose keren, kata orang-orang. Namun sayang sekali, itu bukan karena Vian sedang pose keren melainkan karena ia sedang mengambil gawai yang bergetar dengan nama sang mantan terpampang sebagai si pengirim pesan.

"Ada apa lagi dia mengirim pesan," gumamnya, meski tetap saja membaca tiap baris pesan yang dikirim untuknya.

{Aku sudah pindah. Kau tidak perlu repot mengusirku.}

"Oh! Bagus, jadi aku tidak perlu sungkan untuk masuk ke dalam apartemenku sendiri. Ck! Kupikir ada apa," pikirnya senang.

Untuk menghormati si mantan agar tidak meninggalkan kesan sombong, Vian pun membalas dengan singkat pesan dari Nindita seraya melangkah keluar ketika pintu lift kembali terbuka.

Ting!

Akhirnya sampai juga di apartemen yang menjadi bukti kerja kerasnya. Benar, apartemen sunyi yang sekarang semakin sunyi karena sudah tidak ada lagi suara merengek si mantan yang sesungguhnya terkadang membuat Vian kesal sendiri.

Ceklek!

Hal yang dilakukan pertama adalah menghidupkan lampu, sebagai penerangan karena hari pun sudah gelap dan ia butuh cahaya agar bisa memasuki ruangan lainnya tanpa perlu tersandung.

Ctek!

Akhirnya terang menggantikan gelap. Namun, baru saja ia melangkah dengan helaan napas melampiaskan rasa lelah, seketika itu juga hembusan napas ditarik kembali dan terdiam tiba-tiba dengan gigi gemeletuk menahan geraman.

"Nindita sialan…."

Vian menggeram menahan rasa marah ketika melihat pemandangan di depannya saat ini. Bagaimana ia tidak menggeram marah, jika saat ini ia melihat dengan mata kepala sendiri betapa berantakannya hunian dan hampir menyamai kapal pecah.

Ia yakin sekali, sebelum Nidita meninggalkan apartemen, wanita itu lebih dulu mengacak-ngacak isi apartemen sebagai balasan akan jawaban putus darinya yang terdengar kejam.

"Benar-benar sialan, bagaimana bisa aku menjadikannya kekasih selama satu tahun. Lihat apa yang terjadi, dia ada saja berantakan ini ditambah pergi dengan sengaja membuat apartemenku semakin berantakan. Sungguh nasib yang tragis."

Vian hanya bisa menggerutu dengan kaki yang terpaksa kembali melangkah memasuki ruang tamu, setelah memastikan jika pintu apartemen tertutup dan terkunci otomatis.

Okay, melihat ini semua Vian dengan suka cita mencabut kembali kata 'nyaman' tentang si mantan kekasih yang keenam. Ia bersyukur pula karena si wanita pindah cepat tanpa harus diusir dengan tidak hormat.

Sungguh, ia lelah dengan kegiatan hari ini dan seketika bingung memilih antara membersihkan apartemen atau rebahan asik lebih dulu.

Jujur saja, rasanya ingin sekali santai dan minum kopi sambil menceritakan kisah cinta yang lain sesuai janji. Namun apa daya, hidup itu harus ada pilihan, iya kan?

"Huft..., aku bisa cepat tua jika selalu menghela napas seperti ini," gumam Vian lelah dan akhirnya keputusan sudah dibuat, ia memilih tidur lebih dulu dan akan membereskan apartemen besok.

Ya Tuhan, dosa apa aku memiliki kisah cinta yang selalu tragis, batinnya nalangsa.

***

Kosan

Di tempat lainnya tampak sebuah motor yang baru saja berhenti di depan pintu masuk kosan kecil di tengah kota.

Dari boncengan turun seorang gadis muda yang menyerahkan helm sambil melihat sekitar was-was, membuat si pengendara mengernyit bingung karena kelakuan sahabat sepupunya yang aneh.

"Ada apa Lysia?"

"Oh! Tidak ada, he-he…. Terima kasih ya atas tumpanganya," sahut Lysia—Aliysia sambil mengulas cengiran.

"Oo…. Ya sudah kalau begitu aku pulang dulu ya."

"Oke!"

Motor pun meninggalkan depan teras kosan dan Aliysia sendiri segera berlari kala menemukan dua pria mencurigakan di ujung gang sana. Ia tahu siapa pria berbadan besar itu dan beruntung bisa masuk pekarangan kosan tanpa ketahuan.

Blam!

Pintu ditutup serta dikunci segera, ia mengintip dari jendela dan mencari keberadaan dua pria yang ternyata masih berdiri di gang sana.

Ia sampai mengusap dada dan bertanya-tanya kenapa keduanya masih gigih mengincarnya, ingin protes kepada yang mengirim sama saja cari mati karena itu artinya ia akan ketahuan dan ditawari untuk pulang.

"Ck! Papa menyebalkan, aku tidak akan pulang sekalipun Papa kirim pasukan sekompi, huh!" gumamnya kesal.

Ia hanya bisa mencak-mencak kesal sambil memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun sungguh, sebenarnya ia sadar diri dengan alasan kenapa sampai harus mengalami ini dalam hidupnya.

Ya Tuhan, punya dosa apa aku sampai-sampai harus bersembunyi seperti ini, batinnya dengan pundak melorot lesu.

Blam!

Dan pintu kamar mandi tertutup, menyisakan debaman dan gemirick air setelahnya.

Bersambung.