Kota M
Tak jauh dari gedung pernikahan terdapat sebuah minimarket yang di dalamnya menyediakan meja, dengan kursi panjang sebagai tempat duduk bagi pembeli dan arahnya menghadap langsung ke jalan raya.
Ya, tepatnya tempat saat ini Vian berada, bersama seorang wanita muda yang tidak tahu malu mengatakan haus kepadanya.
Ia tidak tahu semalam mimpi apa sampai-sampai bisa mengalami hal seperti ini. Sudah sial karena ditinggal calon pengantin di beberapa jam menjelang janji suci, lalu saat ini duduk bersisihan dengan si wanita asing.
Kalau hanya duduk mungkin tidak akan aneh, tapi masalahnya ia membelikan satu kotak susu cokelat ukuran besar dan sedang diseruput pula dengan penuh nikmat oleh si wanita yang kelakuannya sudah seperti bocah.
Kepala Vian menggeleng sambil melirik sekitar, mencoba mengabaikan kelakuan abrsurdnya hari ini dengan menghembuskan napas, berusaha tetap waras.
Ngomong-ngomong, ia tidak tahu bagaimana keadaan di gedung sana, tapi ia berharap semua selesai dengan tamu yang diumumkan pula tentang pembatalan pernikahan.
Drt~Drt~Drt
Gawai di saku sama sekali tidak berhenti bergetar, semenjak ia pergi meninggalkan gedung pernikahan. Sepertinya dari orang tua atau sahabatnya yang ada di gedung sana, tapi biar lah sebaiknya ia bilang saja jika tidak tahu.
Ah! Dipikirkan lagi dan lagi justru tambah membuatku kesal. Berani sekali mereka kabur di depan mataku, batin Vian kesal luar biasa ketika lagi-lagi mengingat kesialan hari ini.
Tuk! Tuk!
Lengan yang disentuh seakan memanggil membuat Vian menoleh dan mendapati tatapan berkedip dari si wanita, entah ada apa.
Kenapa lagi ini bocah, batinnya.
Ingin mengabaikan dan mengangkat bahu tak acuh berusaha tidak peduli, tapi kepala si wanita yang menoleh kanan-kiri seakan memastikan sesuatu membuat Vian diam-diam mendengkus.
Aneh, tapi kasihan sekali dikejar seperti itu oleh pria kekar, pikirnya dengan kepala menggeleng.
"Hei! Paman!"
Apa! Paman katanya? Perasaan waktu bilang haus masih dipanggil Tuan.
Sing!
Telinga Vian seketika berdiri tegak ketika mendengar panggilan 'paman', tatapannya sudah tajam ketika si wanita aneh kini menarik-narik lengan kemeja yang dikenakan. Sontak ia menepak pelan jari kurang ajar itu dan segera menepuk-nepuk bagian yang dipegang oleh si wanita.
"Isk! Sombong sekali. Tanganku bersih Paman, sudah pakai hand sanitizer kok," lanjut si wanita—Aliysia dengan nada polos, tapi sayangnya tidak bagi Vian yang kembali menahan diri dari rasa kesal karena panggilan yang sungguh menyebalkan, karena lagi-lagi mendengar kata 'paman' sebagai panggilan.
Enak saja paman, masih muda dan tampan seperti ini dipanggil paman, menyebalkan, batin Vian gondok luar biasa.
"Siapa yang kau panggil Paman, heh! Bocah?" balasnya dengan sinis, menatap tajam si wanita aneh yang justru malah balas melotot galak ke arahnya.
"Hei! Siapa yang Paman panggil bocah, aku sudah dewasa, asal Paman tahu!" sembur Aliysia yang tidak terima dipanggil bocah, padahal ia sudah dewasa dan sebentar lagi akan lulus kuliah.
Paman kurang ajar, lanjutnya dalam hati.
"Ya biasa aja! Tidak pakai kuah juga kali kalau balas perkataan orang lain," cibir Vian dan kali ini cengiran tanpa dosa membalas ucapan sarkasnya, belum lagi dengan kepala yang kembali menoleh kanan-kiri, seraya meminta maaf padanya.
"Maaf, Paman. Kalau yang itu aku sengaja, he-he-he…."
Astaga! Aku baru ini bertemu wanita aneh, sudah ditolong bukannya terima kasih justru memanggilku dengan sebutan paman lagi, lengkap sekali kesialan ini, batin Vian speechless.
Ia menggeleng dan berusaha untuk tidak menanggapi lagi. Terserah deh, apapun yang ingin dilakukan si wanita aneh di sampingnya, yang jelas ia tidak ingin terlibat lebih jauh dengan bocah yang mengaku sudah dewasa.
Dewasa dari mana? Heum…. Dewasa ya, benar juga sih dia dewasa, tumbuhnya kelihatan, lanjut Vian masih dalam hati ketika ia melirik ke arah-
"Hei! Apa yang Paman lihat?"
Seketika Vian melengoskan wajah, saat ia tercyduk oleh si bocah saat sedang memperhatikan bagian dada dengan buah yang menggantung di sana. Lekas ia berdehem menghilangkan rasa canggung, karena ketahuan memperhatikan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, apalagi dengan kurang ajar seperti ini.
Sumpah demi keong ajaib. Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya dan entah bagaimana wanita di sebelahku ini berhasil membuatku penasaran dengan pengakuan sudah dewasa, tapi jelas kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan.
Masih dalam hati, Vian berpura-pura menoleh ke arah lainnya seakan ia tidak melakukan apa-apa.
"Ehem.... Tidak ada, lagian siapa yang memperhatikan apa," jawabnya pura-pura tidak peduli, bahunya bahkan terangkat sambil melirik dan menemukan bibir si wanita mencebilkan, masih menatap dengan curiga.
"Jangan bilang kalau Paman melihat ke arah-
"Ngaco! Siapa yang menatap ke arah dadamu, huh?"
"Nah! Ngaku sendiri 'kan akhirnya!?"
Sontak Aliysia menunjuk kurang ajar ke arah si peman mesum, melotot galak pula saat menangkap basah pengakuan tersebut.
Dan suara cempreng itu sukses membuat beberapa pengunjung mini market melihat ke arah keduanya dengan tatapan penasaran. Membuat Vian segera membekap bibir si wanita menggunakan telapak tangan dan pukulan brutal diberikan dari si empu bibir dengan erangan protes ikut terdengar.
"Hmmp...."
"Ssst.... Bisa diam tidak? Kau ini mengaku bukan bocah. Tapi kenapa berisik sekali sih," desis Vian di depan wajah si wanita, dengan bola mata kembali melotot dan pukulan yang dilayangkan pun semakin brutal.
"Hmmpp."
Buk! Bukh!
"Baiklah-baiklah aku lepasin bekapan ini, tapi kau jangan berisik, janji?" lanjutnya dan kepala mengangguk menjawab dengan pukulan juga dihentikan.
Ketika bekapan dilepas, Aliysia segera meraup banyak udara dengan mulut terbuka dan dada kembang-kempis, tapi Vian yang melihat justru tersenyum tanpa disadari, merasa lucu dengan apa yang dilakukannya saat ini.
"Puahh! Paman, kenapa paham jahat sekali sih, benar-benar deh," sewotnya sambil menatap tajam, tapi sayangnya si paman hanya kembali mengangkat bahu tak acuh dan mendengkus saat ia kembali menggerutu. "Ck! Tampan sih memang, tapi sayang sekali sangat jahat."
Aneh, kenapa rasanya lucu sekali, batin Vian tidak mengerti.
Tidak lama kemudian, ia kembali merasakan tarikan di tempat sama. Pelakunya tentu saja si wanita dewasa-bocah di sebelahnya, yang kini menampilkan wajah unyu dengan senyum merayu yang terlihat menggemaskan di penglihatannya. Bahkan ia tidak sadar, telah menggigit pipi dalam untuk menahan diri agar tidak mencubit kedua pipi itu.
"Paman," panggil Aliysia dan Vian hanya bergumam, kembali melengos tidak ingin terpesona dengan wanita bocah di sebelahnya saat ini.
"Hmm."
"Paman, beliin susu lagi dong, masih haus nih."
Apa!?
Vian tidak bisa untuk melotot mendengar ucapan itu, tapi sebuah cengiran membuatnya menganga apalagi ketika kembali dirayu dengan sebutan lain di belakang kata 'paman'.
"Paman tampan baik deh, tambah satu kotak ya."
Bocah kurang ajar!
Sungguh, ia tidak tahu kalau kesialan ternyata bisa merambat dan berubah menjadi peristiwa nahas berkelanjutan pula.
Ya Tuhan, seperti semalam bukan mimpi buruk saja yang kualami, tapi mimpi melebihi segala mimpi, batinnya ketika masih melihat cengiran.
Bersambung