Mini Market Kota M
Masih di mini market tempat Vian menghabiskan waktu absurd selama meninggalkan gedung pernikahan. Di sampingnya masih ada wanita muda aneh yang kembali senang setelah ia membelikan satu kotak susu cokelat, benar-benar absurd.
Ia tidak tahu apa lagi yang akan terjadi setelah ini, tapi ya sudahlah anggap saja ia menolong wanita aneh yang hampir mati kehausan sehabis dikejar dua pria tak berperi kemanusian.
Ya, bisa-bisanya mengejar wanita yang lemah seperti wanita kecil di sampinya.
Pfft…, kecil dari mana, tumbuh sehat begitu kok, bartin Vian geli sendiri.
Kini ia kembali mendapatkan ketenangan, bahkan sampai saat ini sama sekali tidak ada yang bicara karena wanita itu anteng meminum susu. Meski tidak lama sih, karena ketenangannya kembali terusik saat si wanita bertanya.
Dan kali ini untungnya tidak lagi memakai panggilan paman, sehingga Vian tidak perlu mengeluarkan taring kembali atau minimal menatap tajam.
"Kamu, emh…. Kamu namanya siapa? Dari tadi kita berbicara, tapi sama-sama belum berkenalan."
Benar juga, keduanya bahkan sudah duduk bersama cukup lama, bahkan sampai mendapat panggilan paman dari Aliysia yang dipanggilnya bocah pula. Namun, Vian sama sekali belum mengetahui siapa nama si wanita, begitpun sebaliknya.
"Untuk apa?" tanya Vian curiga dengan balasan bola mata yang memutar bosan, kurang ajar sekali anak muda zaman sekarang. "Bocah sialan!" umpatnya dalam hati.
"Ya ampun, kamu ini curigaan sekali ya. Aku 'kan hanya bertanya nama, kenapa ketakutan seperti aku bertanya password rekening saja sih. Dasar, tidak tahu ya kalau ada pepatah 'tak kenal maka tak sayang'. Huh! Makanya sekarang kenalan, meskipun tidak sayang-sayangan juga nantinya," cerocos Alisyia sambil melengoskan wajah, kembali menyedot susu yang dibelikan oleh Vian hingga tandas, meskipun memaksa.
"Ck! Bukannya begitu, aku hanya tidak suka berkenalan dengan bocah. Asal kau tahu, bocah!" balas Vian mengelak.
Ia merasa aneh dengan diri sendiri, kenapa rasanya sama sekali tidak keberatan untuk membalas setiap perkataan si wanita bocah. Bahkan, ia juga merasa jika nyaman dengan keadaan absurd ini.
"Cih! Kamu ini tidak tahu yah. Sekarang itu para bocah sudah bisa menghasilkan bocah loh. Dan jangan menganggapku bocah, umurku sudah sembilan belas tahun- eh! Hampir dua puluh, tahu tidak. Aku juga mahasiswi akhir yang sudah sidang dan hanya tinggal menunggu waktu wisuda! Huh! Sembarangan saja," jelas Aliysia frontal nan panjang kali lebar, setelah berdecih dengan terang-terangan tanpa takut ke arah si pria yang sudah tidak dipanggilnya paman lagi.
Kasihan juga dipanggil paman, padahal masih muda dan tampan, uhuk!
"Hoo~.... Umur segitu sih masih bocah."
Namun sayang, penjelasan itu bukan apa-apa bagi Vian yang tetap meledek dan bukan Aliysia namanya kalau kalah dalam hal mengejek, karena saat ini ia justru menatap si pria dengan wajah sama meledek.
"Hoo~.... Berarti memang kamu adalah seorang paman, jika umur sembilan belas saja masih dianggap bocah. Paman~ oh Paman~."
checkmate match
Giles.... Baru ini aku menemukan wanita yang tidak terpesona dan manut dengan ketampanan yang selalu wanita elu-elukan. Sejujurnya, wanita di depanku adalah wanita pertama yang berani berdebat denganku. Selama ini aku selalu dikejar dan bukan mengejar. Jadi, jangan salahkan aku jika aku sarkas dengan ucapanku kepada wanita.
Vian bersiul dan bertepuk tangan dalam hati melihat keberanian si wanita, yang kini sedang menjulurkan lidah ke arahnya.
"Ck! Bocah-
"Oh my God. Tidak lagi…."
Aliysia segera menunduk, bersembunyi di bawah meja dengan gumaman yang terdengar seperti ketakutan dan membuat Vian yang mendengar menelan kembali kalimatnya. Ia segera melihat luar melihat dengan dua pria yang ia lihat sebelumnya ada di luar sana, seperti sedang sibuk mencari dan berkomunikasi satu sama lain.
"Ada masalah apa sih kau dengan mereka?" bisik Vian penasaran, melihat bergantian antara luar dan si wanita yang kini bersembunyi di kakinya.
Ya, bahkan ia hampir saja berdiri, jika tidak segera ditahan saat mendapat tatapan seakan memohon yang diberikan si wanita dan itu membuatnya seketika merasakan perasaan tidak enak.
"Tuan yang wajahnya lumayan tampan. Tolong aku sekali lagi ya, sembunyikan aku dari pria-pria jahat di luar sana. Sungguh, aku hanyalah bocah lemah yang belum punya uang lebih untuk membayar hutang," terang Aliysia dengan nada memelas, bahkan ia juga tidak malu mengakui diri sebagai bocah.
Sepertinya benar-benar tidak punya pilihan, ketimbang dikejar dan tertangkap dua pria di luar sana.
Tidak mau! Sampai perang dunia kedua dimulai pun ia tidak akan menyerahkan diri dengan mudah.
Vian pun terdiam memikirkannnya, kembali melihat bergantian antara luar dan si wanita yang berada di kolong kakinya.
Posisinya ambigu sekali, tapi merasa kasihan jika benar adanya seperti itu, apalagi sampai si wanita dipukuli oleh pria-pria berotot itu, Vian pun diam-diam menelan saliva sambil memikirkan cara.
Ya, ia bahkan sampai bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang harus dilakukannya. Apakah ia harus meminjamkan uang agar si wanita terlepas dari jeratan hutang atau membantu keluar dari sini?
Sementara itu, Aliysia yang berjongkok kini kembali membawa kepalanya menyembul, ingin mengintip keadaan di luar, di mana ada dua om yang masih berdiri di sana. Bukan hanya berdiri, tapi juga seperti sedang berkomunikasi, entah dengan siapa.
"Oh tidak…, bagaimana ini, bisa mati aku."
Si wanita yang kembali panik, bahkan sampai jalan sambil berjongkok seakan berniat meninggalkan mini market tempat bersembunyi membuat Vian mengusak surai gemas.
Ia berpikir keras di antara waktu yang diburu, kemudian menangkap kerah dress yang dikenakan si wanita saat ide gila mampir di kepala, meski harus mendengar pekikan protes karena apa yang dilakukannya.
"Lepas ih! Aku harus kabur dari sini."
"Kita kabur," jawab Vian sama berbisiknya.
Aliysia sontak menoleh, menatap tidak percaya saat Vian juga bersembunyi dan meletakkan tangan di bibir.
"Apa maksudnya? Kabur dari mana? Pintunya di depan dan ada mereka di sana," bisik Aliysia sambil sesekali mengangkat kepala, kembali mengintip keadaan di luar dan saat masih mendapati keduanya di sana ia segera menunduk, bersembunyi.
"Ikut aku saja."
"Ya bilang dulu mau kemana?" tanya Aliysia dengan bisikan kecil, masih tidak percaya dengan si paman yang kini melotot.
"Jangan cerewet! Tunggu di sini, aku akan menjelaskan ini kepada petugas agar mereka memperbolehkan kita lewat pintu belakang, paham?" jelas Vian, kemudian tanpa menunggu jawaban segera berdiri dan berbicara dengan seorang petugas mini market.
Sedangkan Aliysia, ia hanya bisa berkedip pelan saat merasa pria yang menolongnya benar-benar serius khawatir kepadanya. Sampai akhirnya Vian kembali dan berjongkok, kemudian berbisik jika mereka akan pergi melalui pintu belakang setelah diperbolehkan petugas.
"Kita pergi," ajak Vian dan Aliysia mengangguk tanpa sadar.
"Oke!"
"Tetap tenang."
Dengan begitu keduanya pun berjalan menuju pintu belakang tanpa menimbulkan kecurigaan, kemudian berterima kasih pada si petugas yang mengangguk.
Dan Vian ternyata membawa Aliysia ke gedung pernikahan, melangkah tergesa menuju ruang keluarga sekaligus ruang pengantin wanita serta berharap masih ada penata rias di dalam sana.
"Hei! Kamu bawa aku kemana?"
Bersambung