Gedung Pernikahan
Aliysia menatap sekitar dengan ekspresi bingung yang kentara, meski ikut begitu saja ketika ia dibawa ke sebuah gedung melalui pintu belakang yang beberapa saat lalu menjadi tempatnya bertemu dengan si pria.
Sampai akhirnya ia tidak tahan dengan rasa bingung dirasa, ia menghentikan laju langkah dan membuat si pria yang merasakannya menoleh, menatap bertanya.
"Hei! Kamu bawa aku kemana?"
"Aku menyelamatkanmu, kau bilang sendiri untuk menyembunyikanmu dari dua pria di luar sana," jelas si pria—Vian dengan alasannya.
"Iya aku tahu itu, tapi ini tempat apa? Apa yang mau kita lakukan di sini? Bahkan aku belum tahu siapa kamu," cerocos Aliysia, baru protes setelah dibawa jauh oleh si paman mesum-baik yang sudah memberikannya dua kotak susu.
Meski demikian, ia tidak boleh percaya begitu saja hanya karena dibelikan susu, bisa saja itu hanya modus.
"Baiklah, kita lakukan perkenalan singkat lalu selanjutnya aku- maksudnya kita sama-sama saling membantu. Aku membantumu bersembunyi dari mereka dan kau membantuku dalam masalahku, bagaimana?" jelas Vian panjang lebar.
"T-tunggu maksudnya apa ini?"
Aliysia sudah menatap horor, takut apa yang akan dikatakan si pria sesuatu yang sangat bahaya. Sedangkan Vian, ia menghembuskan napas kasar dan melihat sekitar lebih dulu, memastikan jika tidak ada yang melihat di sini.
"Namaku Viandra, kau bisa memanggilku Vian. Dan kau siapa?"
"Aliysia Tjia. Panggil saja Lysia," jawab Aliysia ragu.
"Nah! Kita sudah saling mengenal, yang penting ikut aku dulu dan sisanya kujelaskan nanti."
"H-hei! Jangan tarik aku!"
Vian tidak peduli, justru kembali menarik si bocah yang sudah diketahui namanya siapa. Kemudian berdiri di depan pintu kamar rias dan membukanya dengan sekali hentakan.
Brakh!
"Astaga! Vian sayang, dari mana kamu? Siapa dia? Kenap-
"Mah, dandani dia dan pakaikan gaun pengantin, tidak mau tahu dari manapun. Pokoknya, pernikahan harus tetap terlaksana hari juga."
"Apa!"
Perkataan Vian bukan hanya membuat sang mama dan orang di dalam memekik dengan mulut menganga, tapi juga Aliysia yang kini menginjak kaki si paman mesum dengan kekuatan tidak main-main.
Ya, sampai-sampai Vian meringis, menoleh dengan pelototan protes yang dilayangkan.
"Apa maksudnya ini, Vian?" desis Aliysia.
Sang mama sudah berdiri dari duduknya, sedang papanya duduk dengan wajah bengong mendengar perkataan putra semata wayang.
"Ssst…. Sudah ikuti saja, kamu mau aku seret dan memberikanmu kepada dua pria itu, heum?" ancam Vian sama berbisiknya.
Sontak Aliysia menggeleng, menolak apa yang dihindarinya selama beberapa bulan ini. Masa iya harus tertangkap saat sudah berhasil kabur, tidak mau ya.
"Tidak mau!"
"Ya sudah, mengangguk saja ketika aku berbicara, paham?" sahut Vian memaksa.
Aliysia segera mengangguk, membiarkan saat si paman kembali menatap depan dan berbicara dengan para orang tua di sana, meninggalkannya berdiri di ambang pintu dengan senyum kaku diulas ketika sesekali tatapan kedua orang tua Vian menghunusnya.
Ya Tuhan, sebenarnya apa yang akan kulakukan di sini?
Vian sendiri sibuk meyakinkan kedua orang tuanya dan kebetulan pengumuman pembatalan pun belum dilakukan karena alasan belum siap.
Bukannya apa, sang mama berkata setiap keluar ke ruang acara para saudara dan tamu segera memberondongi dengan ucapan selamat serta wajah berseri. Alhasil, rasa tidak enak dan takut mengecewakan membuat sang mama bingung sendiri.
"Mama tenang saja, Lysia wanita baik dan pasti bisa menjadi istri yang sempurna untuk Vian," bujuk Vian menyakinkan
Mama dan papa Vian kembali menoleh ke arah Aliysia yang kembali mengulas senyum canggung, berdiri kaku dengan debaran aneh, apalagi saat menatap wajah si wanita yang dipanggil pria yang membawanya dengan sebutan mama.
Seketika membuat senyum kakunya menjadi rindu, kala ingat akan sosok mama yang sudah lama tidak ada dalam hidupnya.
Ia menatap dengan kedipan cepat saat tiba-tiba saja mama Vian sampai di hadapannya dan kini pun menggenggam tanganya erat.
"Namamu Lysia?"
"I-iya Tante." Aliysia seketika gugup saat mendapati tatapan penuh maksud sang tante, yang kini pun kembali melanjutkan pertanyaan.
"Kamu yakin mau menikah dengan Vian Sayang?"
"Eh!?"
"Iya Mah, Lysia pasti mau kok," sahut Vian, ketika Aliyisa justru melotot dan tiba-tiba tersenyum lebar saat sang mama marah padanya.
"Diam dulu, Vian! Mama lagi bicara dengan Lysia."
Mampus kamu, batinnya sambil menjulurkan lidah dan kembali kalem, saat tatapan si tante ke arahnya.
"Lysia Sayang, bagaimana jawabanmu?"
Err…
Aliysia segera menoleh ke sekitar dan ketika bersitatapn dengan Vian ia bisa membaca gerak bibir yang dilakukan pria tersebut.
'Terima ini atau dua pria itu menangkapmu segera.'
Kira-kira begitulah yang ditangkap, membuatnya diam-diam menelan saliva dan akhirnya mengangguk sambil mengulas senyum seikhlas mungkin kepada sang tante.
"I-iya Tante, seperti itulah."
"Nah! Sudah dengar sendiri 'kan Mah, sebaiknya cepat pakaikan Lysia gaun. Aku akan bersiap dan menunggu di tempat pemberkatan, nanti Papa yang mengantar Lysia, oke?" atur Vian seenaknya, tanpa menunggu jawaban dan melenggang menuju pintu kemudian berhenti untuk membisikkan si calon istri suatu ancaman.
"Jangan cerita macam-macam, paham?"
"Isk! Paman sialan," desis Aliysia kesal, tapi sayang Vian hanya mengangkat bahu dan melenggang pergi meninggalkan ruang rias pengantin.
Meski tahu apa yang dilakukannya salah, tapi Vian hanya ingin sang mama tidak malu dan gelisah lagi. Setelah ini ia tidak tahu akan seperti apa, tapi yang pasti ia akan memikirkan jalan keluarnya.
Lalu Aliysia yang ditinggal sendiri hanya bisa melotot horor, saat dua orang perias menghampiri dan menariknya untuk memakai gaun cadangan dan dibawa duduk untuk dirias sekilat mungkin.
Tidak! Dasar Paman mesum sialan!
Beberapa saat kemudian
Tempat janji suci sudah ramai dihadiri tamu. Kebetulan yang hadir adalah kerabat dan sahabat, maka itu sebabnya Saveri dan Abeliana merasa sangat berat mengumumkan pembatalan.
Namun untung saja kedua orang tuanya tidak perlu merasa malu, karenanya Vian sudah mengantisipasi masalah tersebut meski cara yang digunakannya salah.
Kini ia berdiri dengan Endra di sisinya, sudah siap dengan jas putih yang kembali dipakainya. Ia sedang menunggu kedatangan calon istri asal tarik, yang saat ini sedang dipakaikan gaun oleh perias di ruangan sana.
"Kamu membuatku khawatir, Vian."
Bisikan dari samping membuat Vian menoleh dan menepuk bahu sahabatnya pelan. "Aku tidak apa-apa, tenang saja."
"Iya deh, tapi apa calon istrimu sudah kembali, bukankah Tante bilang…."
Endra tidak melanjutkan lagi ucapannya, karena bersamaan dengan itu suara pemberitahuan pengantin datang dan pintu yang terbuka menjadi sorotan.
Bahkan, Vian pun kini melihat ke arah dimana papanya jalan bersama seorang wanita dengan kedipan pelan.
Tak lama kemudian, suara lagu pengiring pengantin terdengar memenuhi ruang pemberkatan, para tamu undangan berdiri dan menyambut kedatangan wanita bergaun putih yang kini jalan anggun di karpet menuju ke tempat Vian berada.
Hingga akhirnya Aliysia sampai di hadapan Vian dan keduanya kini sama-sama memandang dengan tatapan berbeda yang terpancar, meski selanjutnya membuang wajah seakan menyadari sesuatu.
Dia memang cantik / Tampan, batin keduanya tanpa disadari sama-sama memuji.
Bersambung