Apartemen Soho
Suasana ruang tamu itu tiba-tiba sunyi setelah Vian tidak sadar membentak Aliysia. Bahkan, wanita itu tampak memperbaiki ekspresi, dari kaget dan takut mencoba biasa saja.
Ia menghitung dalam hati untuk tidak seperti wanita cengeng, karena sesungguhnya ini baru dialaminya satu kali dalam hidup.
Jelas, keluarga apalagi kakaknya tidak pernah sekalipun menggunakan nada tinggi, tapi Vian yang baru pertama kali bertemu sudah berani seperti ini. Namun ia tahu, jika ini pun salahnya karena menyela di saat akan dijelaskan.
Setelah tenang dan kembali biasa, ia pun memberanikan diri menatap Vian yang menatapnya lurus dari awal.
"Ehem! Baiklah, jelaskan apa maksudnya ini, Tuan Vian. Aku akan mendengarkan tanpa menyela," ucap Aliysia setelah keterdiaman.
Vian sendiri tak lantas membalas, ikut menata suasana hati agar tidak kehilangan diri lagi kalau sewaktu-waktu Aliysia membuatnya sebal. Ia menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan melalui bibir dan menatap biasa.
"Dengarkan aku baik-baik. Kamu lihat 'kan kertas ini masih kosong?"
Aliysia mengangguk ketika Vian menunjukkan kertas yang dibawanya beberapa waktu lalu, kemudian kembali melanjutkan pelan-pelan agar si bocah mengerti dengan maksudnya.
"Jadi, kau bisa menuliskan apa saja syarat darimu untuk pernikahan ini. Anggap saja ini seperti nikah kontrak dan aku akan menghormati setiap apa yang kau inginkan. Bukankah kau bilang, jika kau butuh uang untuk membayar hutang?" jelas Vian panjang lebar dan berusaha untuk sederhana agar bisa dimengerti oleh Aliysia.
Namun sayang, penjelasan yang menurut Vian sederhana justru membuat Aliysia terdiam dengan wajah aneh.
Dan Vian sendiri sebenarnya tidak peduli dengan apapun, selama syarat yang diajukan Aliysia masih di ambang batas wajar.
"Maksudnya, kita saat ini dalam status nikah tapi kontrak. Begitu kah?" tanya Aliysia setelah berpikir keras dan Vian dengan segera mengangguk, membenarkan apa yang diucapkannya.
"Ya dan asal kau tahu, aku pun tidak ingin menikah denganmu. Jika itu bukan demi Mama, paham?" jawab Vian lugas, tidak ingin si bocah salah paham dengan tujuan darinya meminta bantuan dan menawarkan kontrak menikah seperti ini.
Sedangkan Aliysia yang mendengar kalimat menyebalkan dari Vian mencebilkan bibir, mendelik dengan sumpah serapah yang bertebaran di dalam hati, kemudian membalas dengan perkataan sama lugasnya.
"Paman ini, tampan tapi bibirnya minta dislepet ya? Enak saja, yang seharusnya bilang tidak ingin menikahimu itu aku, bukan Paman. Mengesalkan sekali jadi Paman, sudah memaksa dan sekarang berkata menyebalkan, huh! Memangnya aku wanita apakah," dumelnya masih dengan mata mendelik.
"Kau panggil aku Paman lagi! Dasar bocah. Sudah jangan banyak bicara, tulis saja apa yang akan menjadi syaratmu. Yang pasti aku akan membayarkan hutangmu sebagai kompensasi di hari pertama ini," balas Vian.
Hampir saja ia termakan oleh emosi karena panggilan yang lagi-lagi diucapkan Aliysia. Namun, ia memutuskan untuk menyudahi percakapan tidak penting dan melanjutkan masalah pernikahan kontrak mereka.
Akan sangat memakan waktu jika ia tetap meladeni Aliysia akan panggilan menyebalkan itu.
"Jangan panggil aku bocah, Paman. Lihat saja, kamu akan menyesal jika wanita yang dipanggil bocah ini bisa membuatmu jatuh cinta dan takluk. Cih!"
"Siapa juga yang ingin jatuh cinta dengan bocah sepertimu."
"Ck! Jangan banyak komentar, baiklah aku menyetujui apa yang kamu katakan. Sini kertasnya, biar aku tulis apa saja syarat untuk nikah kontrak ini, huh!" sahut Aliysia mencibir sinis, kemudian menyambar kertas dan pena yang ada di meja.
Vian lagi-lagi mencoba sabar dan hanya bergumam dengan apa yang dikatakan si bocah. Kemudian melihat dengan seksama, saat Aliysia fokus menulis di atas kertas dengan sesekali bergumam lalu kembali menulis.
Aku hanya berharap syarat yang diajukannya tidak aneh-aneh, batin Vian meminta.
Suasana kembali sunyi karena kini keduanya sama-sama sibuk dengan kegiatan berbeda. Ya, Aliysia yang sibuk memikirkan apa yang ditulisnya dan Vian sendiri melirik penasaran akan apa yang ditulis di sana.
Lama menunggu Aliysia selesai menulis syarat untuk nikah kontrak. Vian pun memilih untuk meninggalkan sejenak, berjalan ke arah dapur untuk menuntaskan rasa dahaga yang tiba-tiba menyerang.
Ia mengambil air mineral dengan botol yang masih tersegel, segera menenggakknya hingga tersisa separuh dari isi dan menghembuskan napas lega sesudahnya.
"Huft.... Ini hari yang melelahkan, aku rasa mengerjakan banyak dokumen lebih baik ketimbang bertemu dengan masalah hidup ini. Ck! Aku sudah menikah dan tak lama lagi mungkin menjadi duda muda," gumam Vian dengan helaan napas lelah.
Selesai dengan tenggorokan, ia membawa sisa minuman serta untuk kembali menghampiri Aliysia dan ia berharap si wanita sudah selesai menulis syarat yang akan diajukan kepadanya.
Kebutulan, ia melihat Aliysia yang sedang membaca kertas, membuatnya menebak jika semua persyaratan sudah ditulis.
"Sudah?" tanya Vian seraya berjalan menuju sofa dan duduk di tempat semula.
"Sudah, kamu bisa membaca dan tanyakan kepadaku kalau tidak jelas," jawan Aliysia sambil mengulurkan secarik kertas yang sudah tidak kosong lagi.
Ya, berisi banyak sekali tulisan rapi yang membuatnya ingin mendelik, meski kini mengabaikan dan bergumam sambil mengambil kertas yang disodorkan kepadanya.
"Hn." Dan Vian pun mulai membaca apa saja yang tertera, dimana ada angka yang mengurutkan permintaan.
"Kenapa aku tidak dibawakan minuman juga, Tuan rumah macam apa itu," cibir Aliysia tiba-tiba, mencebilkan bibir, sebal akan apa yang dilakukan pria tersebut.
Tidak tahu ya, sepanjang perjalanan dari gedung pernikahan ia sudah merasakan haus.
Kembali Vian mengalihkan wajah dari kertas, melihat wajah sebal Aliysia yang terlihat lucu baginya kemudian mendengkus, lalu menatap dengan senyum miring tercetak apik di bibir. "Ambil sendiri, punya kaki 'kan? Lagian memangnya kenapa harus dibawakan," tanyanya dengan nada menyebalkan dan gerutan membuatnya terkekeh dalam hati.
Ya, apalagi saat Aliysia tiba-tiba berdiri dan meninggalkan ruang tamu dengan kaki menghentak.
"Pria kok tidak romantis, bagaimana mau punya pacar, huh!"
Jleb!
Vian merasa sesuatu tak kasat mata menghujam jantung dan membuanya terdiam, sebelum mengumpat menyumpah serapah kenyinyiran si bocah sialan yang selalu bisa membuanya terdiam.
Sialan, emang kenapa kalau aku tidak romantis. Bisa-bisanya dia mengejek dengan nada santai seperti itu, batinnya kesal sendiri.
Vian baru saja ingin kembali membaca apa yang ditulis oleh Aliysia, tapi sebuah suara membuatnya menoleh dan menghembuskan napas, meski tetap melihat ke asal suara tepat di ujung pintu sana.
"Vian! Apa aku boleh mengambil minumanmu di kulkas?"
"Ya ampun Lysia, tinggal ambil saja tidak usah meminta izin!" sahut Vian sambil mengusap kening.
"Oh oke! Ha-ha-ha…."
Tawa senang dari Aliysia membuat Vian mendengkus, heran sendiri dengan kelakuan istri bocah yang suasana hatinya berubah cepat.
Perasaan, baru beberapa saat lalu ia melihat wajah kesal dan sekarang justru tertawa di dapur sana.
Ya Tuhan…. Baru sehari sudah berwarna seperti ini, batinnya sambil menghela napas.
Bersambung