Gedung pernikahan
Seminggu berlalu sejak perkenalan Vian dengan Theresa, kedua belah pihak sepakat melaksanakan pernikahan di gedung dengan tamu terdekat saja yang menjadi undangan, tidak besar pula dan tidak mengundang media sesuai keinginan mempelai wanita.
Gedung yang akan menjadi tempat pernikahan sudah didekor dengan warna putih khas, serta beberapa pajangan bunga meski tidak ada foto dan semua tampak sederhana. Sebuah mimbar untuk mengucapkan janji suci juga sudah tersedia, hanya menunggu dua calon pengantin yang akan mengucapkannya bergantian.
Para tamu berdatangan dan menempati kursi yang disediakan, menunggu pemberkatan yang akan dilangsungkan. Sedangkan di ruangan lain, tepatnya ruang rias pengantin tampak Vian yang berdiri di hadapan cermin setinggi tubuh orang dewasa, merefleksikan dirinya dalam balutan jas resmi untuk upacara penikahan yang beberapa jam lagi akan dilakukan.
Ya, ia akan menikah dengan Theresa, wanita yang seminggu lalu dikenalkan oleh sang mama. Wanita yang sangat diharapkan Vian sebagai wanita terakhir dalam hidupnya.
Bibir yang kaku dicoba membentuk segaris senyum, merasa senang saat tiba juga waktunya ia melepas status single setelah satu minggu saling berkenalan.
Selama seminggu itu pula keduanya menghabiskan waktu bersama, mulai dari fitting gaun dan jas, jalan-jalan mengenal satu sama lain serta mengurus hal lainnya.
Meskipun terkadang Vian merasa aneh dengan gelagat Theresa yang selalu muram saat menilik layar gawai saat bersama dengannya, ia mencoba biasa saja dan tidak berpikiran yang aneh-aneh.
Ia merasa masih harus mengenal lebih banyak sosok Theresa, mungkin nanti saat telah menjadi suami-istri karena waktu mereka pastinya lebih banyak. Iya kan?
Vian masih sendiri di ruang pengantin yang berbeda dengan calon istrinya. Ia tidak tahu akan bagaimana sosok itu, meskipun saat tidak memakai gaun pun sudah cukup cantik baginya dan seketika ia menghembuskan napas, mencoba tenang.
"Semoga lancar, Tuhan," gumamnya lirih, berharap Tuhan mengabulkan doa sederhana bagi siapapun yang sedang menanti waktu pernikahan seperti ini.
Sebenarnya Vian pun belum merasakan cinta dan debaran saat bersama dengan Theresa. Namun, ia hanya ingin yang terbaik untuk mama dan papanya yang sudah mengharapkan pernikahan ini terjadi.
Maka itu, ia berusaha dan akan belajar menerima, saat ia sudah hidup bersama Theresa nanti. Bukankah cinta akan tumbuh seiringinya berjalan waktu dan ada karena terbiasa selalu bersama?
Sebab karena pernyataan itu, Vian pun harap itu juga berlaku untuk hidupnya yang selalu tidak bisa dibilang bagus jika sudah berurusan dengan yang namanya cinta.
Pelik sekali, padahal ia merasa cukup jika untuk wajah dan ia pun memiliki jenjang karir yang sedang dirintis.
"Ya sudahlah, lupakan yang pernah terjadi," gumam Vian mencoba lebih menerima.
Setelah merasa penampilan saat ini sempurna, Vian berjalan ke arah jendela untuk melihat pemandangan halaman belakang gedung tempatnya menikah. Namun, ketika ia mengitari ke sekitar halaman di luar sana, sesuatu yang aneh menjadi fokusnya saat ini.
Ia semakin menajamkan penglihatan, sedangkan keningnya sendiri sudah semakin berkerut kala mengenali siapa yang ada di ujung pintu sana.
"Tunggu! Itu, itu bukannya Theresa? Untuk apa dia mengendap-endap seperti itu."
Seketika perasaan Vian tidak enak, ia semakin memperhatikan saat tiba-tiba saja datang seorang pria dari balik pintu gedung yang tertutup.
Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi di sana, jelas, ia bahkan tidak mungkin mendengar apa yang dibicarakan keduanya di sana. Namun ia yakin, pasti ada yang tidak beres dan itu menyangkut dirinya juga.
Entahlah, dari gesture ia seperti melihat keduanya sedang terlibat cekcok layaknya seperti pasangan kekasih bertengkar.
"Apakah itu mantan kekasihnya? Tapi aku tidak pernah mendengar cerita tentang hal ini," gumam Vian.
Ia baru saja ingin berpaling dan hendak menghampiri keduanya, biar bagaimanapun Theresa saat ini sudah akan menjadi istrinya, jadi sudah kewajibannya mengetahui apa yang terjadi dengan si wanita di luar sana.
Ya, niatnya memang Vian ingin berpaling, tapi suatu kejadian membuatnya mematung saat Theresa justru kini memeluk pria itu dan setelahnya berciuman dengan gelora yang tidak perlu dijelaskan.
"Ah! Sial sekali aku harus melihat hal ini, setidaknya dia berkata memiliki kekasih dan aku akan membatalkan pernikahan ini segera," gumamnya tidak habis pikir.
Memalingkan wajah adalah yang Vian lakukan, ketika di depan matanya sendiri ada adegan yang seharusnya ia dan si calon-ah! Maksudnya mantan calon istrinya yang melakukan. Namun, ia kembali melihat ke arah sepasang kekasih di sana dan untuk terakhir kali, karena tak lama kemudian keduanya meninggalkan halaman belakang, menghilang di balik dinding yang tinggi menjulang.
Theresa dan baju pengantinya saat ini pergi dengan laki-laki lain, itu disaksikan oleh Vian sendiri, si calon pengantin pria.
Ia hanya bisa diam dengan senyum miris tersungging, menunggu hingga seseorang memberitahu jika calon pengantinnya menghilang atau laporan lain sebagainya.
"Huft.... Tragis sekali, hari pernikahan bukankah sesuatu yang membahagiakan? Tapi kenapa bagiku justru hari sial," gumam Vian miris.
Dan benar saja, tidak lama kemudian terdengar ketukan pintu disusul dengan sang mama yang berdiri di sana, wajahnya tampak kacau dan Vian sekali lagi hanya bisa menyungging senyum miris.
"Vian! Hiks…, Theresa pergi meninggalkan gedung, bagaimana ini?" tanya Abeliana dengan wajah sedih menatap sang putra.
Ia menghampiri putranya yang malang dengan langkah tergopoh ketika anggukan diterima sebagai jawab dan kemudian merengkuhan erat.
Vian jelas membalas rengkuhan sang mama yang menangis di pelukanya sambil berusaha menenangkan. Ia tidak mungkin mengatakan jika ia kecewa atau mengatakan sudah melihat sendiri bagaimana saat Theresa kabur dengan pria lain.
Alhasil, ia hanya membisikan kata penenang sambil mengusap punggung bergetar sang mama, yang masih terisak dengan kata maaf diucapkan berulang.
"Maafin Mama Vian, seharusnya Mama mencari tahu dulu, sebelum memutuskan untuk menikahkan kalian, Mama baru tahu kalau ternyata Theresa memiliki kekasih dari orang tuanya ketika kami menemukan ruang pengantin kosong."
Ternyata benar ya mereka sepasang kekasih, tapi kenapa Theresa mau jalan dan mengurus apapun tentang pernikahan? Apakah dia hanya ingin mempermainkanku? Huft…. Ya sudahlah, batin Vian mencoba tabah.
Ia pun mengangguk kembali mendengar penjelasan sang mama, masih dengan mengusap punggung dan sesekali mengecupi surai tersanggul rapi si wanita kesayangan.
"Tidak apa-apa, Mah. Aku baik-baik saja, ini lebih baik ketimbang aku tahu di akhir atau parahnya saat sudah menikahinya," gumam Vian menekan perasaan sedih.
Tidak, ia sedih bukan karena ditinggal oleh Theresa, meski tak memungkiri sedikit hatinya merasakan sakit. Namun, yang paling dipikirkannya adalah bagaimana nanti mama menanggung malu dari tamu undangan, itulah yang ia pikirkan saat ini.
Ia tahu, meski tamu yang diundang tidak banyak, tapi semua saudara berkumpul dan ikut menanti acara ini, jadi sudah pasti mama serta papanya kepikiran dengan kejadian ini.
Shit! Apa yang harus kulakukan?
Bersambung