Apartemen Soho Kota M
Kawasan apartemen mewah di salah satu kota sudah terlihat. Tampak sebuah mobil memasuki halaman luas itu dan berhenti serta parkir di basement bersama mobil penghuni apartemen lain.
Brakh!
Gema pintu yang ditutup menjadi satu-satunya yang terdengar, jelas, karena di sekitar si pengemudi mobil—seorang pria, tidak ada orang sama sekali dan karena tidak ingin berlama-lama di basement panas, si pria pun segera jalan menuju lift untuk menuju lantai huniannya berada.
Ting!
Tidak lama kemudian akhirnya si pria sampai di lantai tujuan, jalan sebentar menuju hunian tak jauh dari lift dan ketika sampai di depan pintu hunian miliknya, ia segera memasukkan kode sandi dan membuka pintu kemudian masuk ke dalam sana.
Terang adalah yang dilihatnya, ia menebak jika kekasihnya kini sudah pulang bekerja. Benar, ia memang tinggal bersama sang kekasih dan sudah satu tahun menjalani berbagi atap.
Ia berusaha tenang karena sesuatu telah terjadi siang ini, tepatnya rencana untuk mengunjungi café batal, karena terjadi hal yang tidak terduga dan menyebabkannya kembali ke kantor berbarengan dengan pertemuan yang hanya diberikan sedikit waktu untuknya mengganti kemeja saat itu.
Hal tidak terduga apa itu?
Jangan ditanya, ia jadi ingin mendengkus ketika mengingat insiden tabrakan di depan café yang didatanginya untuk menemui sang kekasih yang memaksa bertemu di antara jadwal sibuknya. Jika masih ingat dengan pria yang ditabrak saat itu oleh seorang gadis muda, maka jawabannya adalah dirinya lah orang sial tersebut.
Kesal sih, tapi ya sudahlah mungkin itu jalannya juga karena dengan begitu ia bisa datang menghadiri pertemuan, meski harus diomeli via sambungan telepon oleh kekasihnya. Namun sungguh, sebenarnya tidak sesial itu uga sih, karena urusan pekerjaan ternyata lancar jaya tanpa ada kendala dan ia cukup bersyukur karena itu.
Ngomgong-ngomong soal tabrakan, aku cukup penasaran sama dia. Wajahnya memang aku lupa bagaimana, tapi matanya yang membulat kaget cukup membuatku terdiam, meski tetap aja menyebalkan saat kemejaku kotor terkena cipratan air.
Pria itu hanya bisa menggerutu di antara rasa penasarannya terhadap si wanita muda yang bertabrakan dengannya.
Tidak, ia tidak penasaran karena ada kata cinta pandangan pertama di dalamnya. Iya dong jelas saja, karena ia saat ini sedang dalam masa berpacaran dengan seorang wanita dan ia bukan pria mata keranjang yang mengumbar perasaan di mana-mana.
Lupakan, sebaiknya aku masuk, lanjutnya masih dalam hati.
Ia mengganti sepatunya dengan sandal rumah yang tinggal sepasang, kemudian memasuki hunian sambil melonggarkan dasi dan lehernya sendiri kini direnggangkan kiri-kanan dengan suara 'krek' ikut terdengar.
"Lelah sekali, eh! Tapi aku heran kenapa dia bisa dikejar-kejar seperti itu ya?" gumamnya kembali penasaran.
Sejurus ia penasaran, sejurus itu pula kembali menggelengkan kepala. Ia memutuskan untuk tidak melanjutkan rasa penasaran mencokol di hati dan melupakan apa yang tidak penting bagi hidupnya.
"Lupakan saj-
"Apanya yang dilupakan?"
Shit!
Petanyaan tiba-tiba itu membuatnya mengumpat, untung saja dalam hati, sebelum akhirnya menggeleng kepala sambil menenangkan debaran karena rasa kaget akan keberadaan sang kekasih yang tidak disadarinya.
"Sejak kapan kamu berdiri di sana?" tanyanya mencoba biasa.
"Sejak tadi, kamunya saja yang sibuk sendiri dengan gumamamu itu, sedang membicarakan wanita lain ya?" sahut si wanita menuduh.
Pria yang baru saja pulang dalam keadaan lelah itu seketika mengerang kesal. Ia mencoba sabar menghadapi sikap seenaknya si wanita dengan hembusan napas kecil.
"Jangan ngaco, aku baru pulang kerja dan kamu sudah menuduhku yang tidak-tidak."
"Ya dan karena kerjaanmu itu pula aku diabaikan," cibir si wanita sarkas.
Huft…
Kembali helaan napas membuatnya sedikit sabar, kemudian memutuskan untuk mengabaikan sang kekasih dan masuk ke dalam kamar, meninggalkan si wanita yang memanggil namanya berulang meski yang menjawab adalah debaman pintu.
"Sudahlah, aku capek."
"Vian! Dengarkan ak-
Brakh!
"Vian, kamu jahat!"
Di dalam, pria yang dipanggil berulang dengan nama Vian itu hanya bisa menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang dengan kasar. Lengannya yang masih dilapisi kemeja menutupi kening, memejamkan mata sambil mencoba tetap berpikir waras dengan apa yang terjadi dalam hidupnya.
Bagaimana mau menikah seperti kata dan permintaan mama tersayang, kalau sang kekasih selalu saja memancing keributan tanpa tahu bagaimana lelahnya ia menjalani aktivitas kerja.
Vian adalah nama panggilan, sedangkan nama panjang pemberian orang tuanya adalah Viandra Jefrin Geonandes dan umurnya saat ini dua puluh enam tahun, anak dari pasangan Saveri Geonandes dan Abeliana Geonandes.
Ia seorang pengusaha bidang kontruksi yang baru saja mulai merangkak naik. Jangan kira ini adalah usaha turun temurun, karena nyatanya ia hanya seorang pria keras kepala yang ingin menggapai cita-cita.
Orang tuanya hanyalah kalangan biasa, pensiunan pegawai sipil yang kini dimintanya untuk menghabiskan waktu tua di rumah tanpa perlu bersusah payah. Ia sudah puas dididik dan dibiayai dari sekolah dasar sampai kuliah hingga menjadi seperti ini, jadi ia pikir sudah saatnya membalas jasa akan kerja keras kedua orang tuanya.
Ia membangun usaha bersama sahabatnya, tepatnya seseorang yang menjadi asisten setia dan selalu menyangganya ketika jatuh bangun di tengah persaingan bisnis yang ketat serta kejam.
Lalu wanita yang menjadi kekasihnya adalah seorang model yang dikencaninya setahun ini dan memutuskan untuk tinggal bersama karena sang kekasih berkata ingin membantu mengurus hidupnya.
Awalnya sih memang seperti itu, tapi entah kenapa lama kelamaan justru membuatnya harus menghela napas setiap saat.
"Sebaiknya lupakan, lebih baik aku mandi dan istirahat," putusnya.
Dan dengan begitu, ia pun bangkit dari rebahannya kemudian memasuki ruangan lembab tempat biasa ia membersihkan diri, hingga akhirnya yang terdengar adalah debaman disusul gemericik air yang berjatuhan.
***
Kost-an Kota M
Di kamar kost-an kecil yang berada tepat di tengah kota, terlihat seorang gadis muda yang kini sedang duduk sambil menatap langit malam dari balik jendela kamar.
Sudah berapa bulan ia tinggal di sini? Entahlah, yang pasti ini adalah tempat paling aman dari kejaran dua pria bertubuh besar yang sial sekali selalu menemukannya ketika ia jalan mencari makan.
Huft….
Gadis itu, Aliysia tepatnya, menghembuskan napas sambil melukis abstrak di permukaan jendela ketika uap dari napas hangatnya membentuk embun.
Bibirnya mencebil, kesal karena memikirkan sang papa yang masih belum menyerah dan masih pula melarangnya menjadi penyanyi.
Lagian, apa salahnya menjadi penyanyi sopran sih, selagi ia masih mengimbangi dengan pendidikan tinggi seperti keinginan sang papa yang memaksanya masuk ke universitas jurusan bisnis.
"Hais, menyebalkan….."
Ia hanya bisa menggerutu dengan itu semua, tapi di antara lamunannya yang membuat kesal, ia tiba-tiba saja teringat akan sosok laki-laki yang siang ini bertabrakan dengannya di depan café sebelum ia bertemu sahabatnya.
Ia jadi meraba-raba ingatan tentang bagaimana wajah pria itu, tapi sayang yang diingatnya hanya mata tajam kala bersitatap dengannya.
"Semoga saja tidak bertemu lagi. Oh! Walaupun bertemu, semoga saja dia lupa dengan wajahku, mana aku sudah membuatnya kesal dengan cipratan air hujan. Ya Tuhan…, nasib sial kenapa selalu membayangiku sih."
Ia mengusak surainya hingga berantakan, meski setelahnya kembali menghela napas kala rindu tiba-tiba merasuk di dalam dada akan sosok sang mama. Ia menghadap langit malam di atas sana, menatap redup bulan yang bersinar terang dengan bentuk bulat sempurna.
Mah, Lysia rindu sekali dengan Mama, kapan ya Kak Ghava kembali ke kota.
Bersambung