"Yuri, kau di mana?" teriak Alby yang merasa khawatir dengan keberadaan Yuri, begitu pun dengan Profesor Pilius yang membantu Alby mencari keberadaan sang murid. Sekolah belum mulai, namun kasus sudah berdatangan membuat Profesor Pilius frustrasi.
Mereka berdua berteriak sepanjang lorong asrama yang sangat luas, beberapa anak juga ikut membantu mencari Yuri. Namun, anak laki-laki itu tidak ditemukan juga dan Profesor Pilius yakin bahwa Yuri kabur dari asrama tersebut.
"Tidak ada gunanya mencari Yuri, sepertinya dia tidak berada di tempat ini. Dia sudah keluar dari asrama tanpa izin," kata Profesor Pilius menerka-nerka.
Alby menatap Profesor Pilius dengan raut wajah sedih, ia tidak mungkin bersekolah di asrama ini jika Yuri tidak ada. Lalu, bagaimana dengan kedua orang tua Yuri yang selalu saja menanyakan bocah itu pada Alby? Ini akan menjadi beban untuk Alby.
"Gunakan sihirmu, Profesor. Kau pasti bisa mencari Yuri dengan akurat," kata Alby memberi saran. Pria berjanggut putih itu melihat ke arah Alby kemudian menggeleng pelan.
"Aku tidak bisa melakukan hal itu dengan sihir. Orang yang hilang akan tetap menjadi orang hilang dan tidak dapat ditemukan oleh Profesor sepertiku. Hanya polisi-polisi dunia sihir yang bisa menggunakan sihir tingkat tinggi seperti itu," ujar Profesor Pilius yang sedih juga karena ia tidak bisa mencari Yuri dengan sihirnya.
"Kukira kau hebat, ternyata hanya penyihir dadakan," kata Alby dengan ketus. Anak yang memiliki wajah bodoh itu mengatakan hal tersebut dengan berani, Profesor Pilius merasa kesal juga dengan bocah laki-laki yang sudah membuatnya sulit ini.
"Hei, di dalam dunia sihir semua orang ada levelnya seperti di dunia manusia biasa. Sayaadalah kepala sekolah, bagaimana bisa menyamai polisi? Pendidikan dan jurusan sihir kami berbeda, tentu saja," kata Profesor Pilius mengarang cerita agar Alby tidak terus mendesaknya.
Alby hanya berdecih kemudian keluar dari gerbang asrama Hankey Pankey mencari keberadaan Yuri. Terlalu dini untuk mengatakan Yuri hilang, bisa saja bocah itu berada di luar gerbang Hankey Pankey.
Benar tebakan Alby, ia menemukan Yuri yang sedang duduk di dekat tempat sampah berdiam diri dengan wajah merengut.
"Yuri, sedang apa kau di sini? Semua orang mencarimu, ayo kembali ke dalam," kata Alby berusaha membuat Yuri beranjak dari tempat tersebut.
Yuri menggeleng cepat lalu melepaskan tangan Alby, ia sedang dalam keadaan tidak baik.
"Aku akan duduk di sini sampai keadaan hatiku membaik, aku sudah berjanji pada Lolita akan memulai pertengkaran lagi dengannya jika aku sudah belajar tentang sihir. Kami akan mengadu kekuatan sihir," kata Yuri dengan wajah frustrasi karena dia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti jika dia kalah melawan Lolita.
Mendengar perkataan sahabatnya, Alby merasa terkejut karena Yuri nekat melakukan perjanjian tersebut dengan Lolita. Semua orang di dunia sihir tahu bahwa sihir begitu berbahaya ketika dilakukan dalam pertengkaran.
"Bodoh! Kau tidak bisa berjanji begitu saja, nyawamu terancam jika bertengkar dengan permainan sihir. Orang tua kita pernah bilang bahwa kita tidak boleh belajar sihir hanya untuk pertengkaran, kau berjanji pada mereka bahwa tidak akan melakukan kejahatan dengan sihir oleh karena itu kau bisa berada di sekolah ini. Lalu, jika kau melanggar janjimu dan kau mendapat bahaya dengan sihir tersebut apa yang harus aku katakan pada orang tuamu?" tanya Alby dengan penuh kemarahan.
"Tapi, Lolita selalu menganggapku remeh. Aku tidak bisa diam begitu saja, tidak akan terjadi apa-apa padaku asal kau membantuku. Dua lawan satu, dia pasti tidak akan menang," kata Yuri dengan senyuman licik.
Alby tidak tahu rencana sahabatnya itu, tapi Alby merasa itu bukanlah hal bagus.
"Berdirilah, kau tidak perlu mendengarkan bocah perempuan itu. Dia adalah anak perempuan satu-satunya di asrama ini, mungkin ia ingin diistimewakan dan mencari perhatian saja." Alby mengatakan itu dengan sungguh-sungguh karena ia tahu Lolita memilih asrama ini hanya karena ingin diistimewakan.
Yuri menghela napas pelan, ia tahu bahwa Lolita hanya ingin mencari perhatian saja. Namun, ia masih sangat kesal dengan tingkah Lolita yang menantang siapa pun tanpa rasa takut.
"Rasanya yang kau katakan benar, tapi dia terlalu mengesalkan dan membuatku muak dengan tingkahnya," kata Yuri seraya berdiri dan menatap Alby dengan wajah penuh kemarahan.
"Masuklah, hari sudah mulai gelap," kata Alby mengalihkan pembicaraan.
Mereka pun akhirnya kembali ke asrama dengan wajah masam terutama karena mereka harus melewati kamar nomor tiga belas. Yuri berada di kamar nomor empat belas sementara Alby di kamar nomor lima belas.
Yuri melirik kamar nomor tiga belas dengan wajah masam, seharusnya kamar itu menjadi miliknya bukan Lolita.
"Biarkan saja, teruslah berjalan," kata Alby memperingati. Sebenarnya Yuri akan ikhlas memberikan kamar tersebut pada Lolita, namun tingkah bocah perempuan itu keterlaluan. Memperdaya perasaan kasihan Yuri padanya padahal itu hanya akal-akalan Lolita demi mendapatkan kamar dengan pemandangan indah di luar jendela.
Setelah mereka sampai di depan kamar Yuri, Alby melambaikan tangannya pada Yuri. Mereka berpisah di sini karena di asrama Hankey Pankey satu orang memiliki kamar masing-masing, rencananya Profesor Pilius akan menambah kamar asrama jika sekolah tersebut berjalan lancar.
Sesampainya di kamar, Yuri melihat tempat tidur empuk seperti di rumahnya sendiri. Ia merasa bahwa akan betah di asrama ini, bahkan asrama Hankey Pankey hanya menagih uang makan pada orang tua mereka dan tidak menerima bayaran apa pun selain sumbangan makanan.
Namun, baru saja Yuri menutup matanya ia mendengar suara keras yang berasal dari kamar di sebelahnya yaitu kamar nomor tiga belas. Yuri berdiri dan merasa penasaran dengan apa yang terjadi.
"Dari kamar nomor tiga belas? Bocah itu melakukan apalagi sampai menimbulkan bunyi keras seperti itu?" tanya Yuri yang merasa heran mengapa Lolita bisa ia ajak ke asrama ini karena bocah perempuan itu hanya bisa rusuh di asrama tersebut.
Bahkan Yuri yakin bahwa Lolita selalu menyusahkan semua keluarganya sampai ia dikirim ke asrama agar keluarganya bisa lebih waras karena Lolita sudah tak ada lagi di rumah mereka.
Dengan langkah pelan, Yuri menyusuri lorong asrama yang sudah gelap. Sudah lumayan larut dan di asrama tidak memperbolehkan anak-anak tidur di atas pukul sembilan. Profesor PIlius akan mengamuk jika mereka tidak menaati peraturan tersebut.
Yuri merasa takut juga karena jika ia ketahuan oleh Profesor Pilius sudah pasti ia akan dihukum keluar di jam malam seperti ini apalagi keluar tanpa alasan.
Bocah laki-laki itu mengendap-endap sampai ke depan pintu kamar nomor tiga belas alias kamar di mana Lolita berada.