Suara bising terdengar di kamar asrama nomor tiga belas membuat Profesor Pilius dan beberapa anak yang lain melangkah cepat menuju kamar tersebut. Namun, alangkah terkejutnya mereka ketika melihat Yuri dan Lolita sedang bertengkar hebat.
"Yuri! Lolita! Hentikan perbuatan kalian!" Suara mengintrupsi Lolita dan Yuri untuk berhenti membuat kedua anak yang sedang bertengkar itu langsung terdiam, mereka melirik Profesor Pilius yang terlihat sangat kesal.
"Dia yang memulai duluan, Profesor. Jika kau ingin marah, marahlah pada Yuri, aku tidak bersalah," kata Lolita dengan santai sambil menunjuk Yuri membuat bocah laki-laki itu kembali emosi.
"Mana mungkin aku yang salah? Kau yang masuk ke kamar ini dan mengatakan bahwa ini kamar asramamu, aku yang lebih dahulu masuk!" ucap Yuri dengan nada tinggi.
Kamar nomor tiga belas memang sangat bagus dari segi pemandangan di luar kamar itu, karena hal tersebut Lolita menginginkan kamar nomor tiga belas untuk menjadi kamar asramanya padahal Yuri yang lebih dahulu menempatinya.
Profesor Pilius yang mendengar perdebatan kecil itu merasa sedikit muak dengan kedua anak yang sepertinya akan membuat hari-hari Profesor Pilius menjadi lebih kacau.
"Lolita, keluarlah. Siapa cepat dia yang dapat kamar tersebut, pilihlah kamar lain yang pemandangannya tidak kalah menarik dari kamar nomor tiga belas ini," kata Profesor Pilius membuat Yuri tertawa dengan penuh kemenangan.
Profesor Pilius akhirnya berpihak pada Yuri dan sejak itu Yuri merasa bahwa ia adalah anak istimewa begitu pun dengan kedua puluh anak yang mengatakan bahwa Yuri adalah anak emas Profesor Pilius. Alby merasa sedikit iri walaupun Yuri adalah sahabatnya, namun setidaknya Alby ingin menjadi seperti Yuri yang dianggap anak emas oleh Profesor Pilius.
"T—Tapi, aku menginginkan kamar ini sebagai kamarku, Profesor. Aku akan belajar dengan sangat giat jika kamar ini menjadi kamarku, aku sudah lama menginginkan kamar bagus seperti kamar nomor tiga belas, namun aku hanyalah anak dari kalangan bawah dan tidak bisa merasakan kamar sebagus ini," kata Lolita dengan raut wajah kecewa setelah mendengar Profesor Pilius menyuruhnya keluar.
Yuri melirik Lolita dengan perasaan bersalah, ia ingin sekali minta maaf. Namun, rasa gengsi menyelimuti hati Yuri.
Profesor Pilius menatap Yuri seolah menunggu reaksi bocah laki-laki itu.
"B—Benarkah? Jika kau benar menginginkan kamar ini, aku akan memberikannya padamu. Maaf karena harus berdebat seperti ini," kata Yuri dengan wajah bersalah. Lolita melihat Yuri dengan tatapan berbinar.
"Kau akan memberikannya padaku? Aku boleh di sini?" tanya Lolita dengan wajah senang. Yuri mengangguk cepat, rasa kasihan membuat Yuri melemah mendengar cerita Lolita yang menyedihkan.
Semua anak-anak di asrama itu bernapas lega ketika Yuri dan Lolita akhirnya menemukan jalan keluar dari permasalahan tersebut. Yuri sebagai bocah laki-laki sungguh terlihat jantan di mata semua orang karena ia memberikan kamarnya untuk Lolita yang merupakan anak perempuan satu-satunya di asrama Hankey Pankey Academy.
Setelah semua selesai, Profesor Pilius mempersilakan anak-anak didiknya memilih kamar asrama di lantai dua. Di lantai dua akan menjadi kamar asrama dan di sisi lain ada beberapa kelas. Profesor Pilius sebenarnya ingin memisahkan antara gedung asrama dan gedung para staf asrama. Namun, karena keterbatasan tanah yang ada, Profesor Pilius membagi lantai dua menjadi dua bagian. Di bagian timur ada kelas dan di bagian Barat lantai dua adalah kamar asrama yang akan menjadi tempat tinggal anak-anak selama belajar di akademi sihir yang ia dirikan.
"Yuri, bisa ikut saya?" tanya Profesor Pilius mengatakan itu pada Yuri yang tampak masih menyesali keputusannya memberikan kamar nomor tiga belas untuk Lolita. Pemandangan itu tidak akan pernah didapatkan di kamar asrama mana pun, kamar tersebut terbilang istimewa karena ada modul untuk belajar sihir dan bahan-bahannya secara lengkap.
Yuri mengangguk kemudian mengikuti Profesor Pilius dari belakang. Yuri tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh Profesor Pilius padanya, sedangkan Alby tampak masih memilih kamar yang ia tempati dan merasa kebingungan. Alby tidak selincah Yuri dan tidak mudah beradaptasi makanya ia selalu mengandalkan Yuri.
Sesampainya Profesor Pilius di ruangan kepala sekolah, ia menatap Yuri yang tampak sedih. Profesor Pilius tahu betapa Yuri ingin sekali di kamar spesial nomor tiga belas.
"Kenapa kau memberi Lolita kamar nomor tiga belas? Aku merasa bahwa tidak seharusnya kau mempercayai seorang teman apalagi dari awal dia memang tidak menyukaimu," kata Profesor Pilius membuat Yuri mendongakkan kepalanya.
"Maksudmu apa? Bukankah seharusnya aku mengalah untuk Lolita? Aku percaya bahwa dia memang belum pernah merasakan kamar spesial seperti itu, aku memberinya kamar itu selama satu semester saja," kata Yuri yang masih berharap bahwa kamar itu akan menjadi miliknya.
Profesor Pilius tertawa mendengar perkataan Yuri yang sangat polos. Yuri adalah gambaran bocah yang belum terkontaminasi dengan yang namanya kekecewaan, Profesor Pilius yakin jika Yuri lebih dewasa ia akan segera merasakan kecewa karena persahabatan akan jauh lebih menyakitkan dibandingkan bermusuhan dengan orang.
"Menjadi penyihir tidaklah mudah, kau tidak bisa memercayai orang-orang di sekitarmu. Ini adalah dunia sihir, dunia tipu muslihat, jika kau memercayai orang begitu saja tanpa membuktikannya, aku merasa yakin bahwa kau tidak akan menjadi penyihir sesungguhnya," kata Profesor Pilius membuat Yuri terdiam melihat mata Profesor Pilius seolah ia ingin sekali paham apa yang dikatakan oleh Profesor Pilius.
"Apa maksudmu ini adalah berhubungan dengan Lolita? Apakah Lolita memperdaya aku?" tanya Yuri dengan wajah memerah menahan emosi. Ia memang tidak yakin jika Lolita mengatakan yang sebenarnya.
Profesor Pilius mengangguk membenarkan, selain menggunakan sihir sebagai alat bantu mempermudah aktivitas, Profesor Pilius juga bisa meramal isi hati orang walaupun ia tidak bisa membaca pikiran orang lain.
"Aku tidak tahu apa yang Lolita pikirkan, namun kau harus berhati-hati dengan gadis kecil itu karena dia sungguh tidak menyenangimu," kata Profesor Pilius yang bersungguh-sungguh.
"Benarkah? Apa kau tahu mengapa dia tidak menyukaiku? Aku tidak pernah salah padanya, namun ia selalu saja menatapku dengan wajah masam membuat aku merasa tidak nyaman." Yuri mengatakan itu dengan wajah kesal mengingat baru sehari saja Lolita sudah menjadi masalah baginya.
"Di dunia ini ada beberapa orang yang membenci tanpa sebab. Mungkin Lolita adalah salah satu orang yang membenci tanpa sebab," kata Profesor Pilius memberikan wejangan untuk Yuri agar bocah itu lebih bisa melihat dunia dari sudut pandang lain.
Yuri terdiam mendengar perkataan sang Profesor yang membuatnya tersadar selama ini ia selalu melihat dari sudut pandangnya sendiri.
"Walaupun aku tidak melakukan kesalahan?"
"Ya, sekali pun kau tidak melakukan kesalahan," kata Profesor Pilius dengan wajah bersungguh-sungguh.