Manhattan, 2019
Hujan kembali turun. Hari ini café tidak begitu ramai seperti kemarin; hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang berbincang sambil mengerjakan tugas mereka dan sepasang kekasih yang sedang merayakan sesuatu. Entah itu ulang tahun pasangannya atau anniversary mereka, aku tidak terlalu peduli dengan itu. Belakangan ini hujan sering turun, padahal sebelumnya hari begitu cerah. Hari ini aku bertugas di kasir, menggantikan temanku yang absen.
Aku memperhatikan hujan turun di balik jendela dan orang-orang yang berlalu lalang di depan café. Meski hujan cukup deras, orang-orang tetap melakukan aktivitasnya di bawah hujan. Kalau aku, lebih memilih berada di balik selimut yang hangat atau tetap di dalam rumah, meringkuk dengan selimut tebal sambil menikmati cokelat hangat daripada berada di luar di bawah tetesan air hujan.
Tringg...
Pintu café terbuka. Aku langsung menegakkan kepala dan memasang senyum ramah.
"Selamat datang, ingin pesan apa?" tanyaku ramah.
"Aku ingin latte dan red velvet satu slice."
"Latte dan red velvet satu slice, baik. Silakan tunggu sebentar."
Dia pun langsung berjalan dan menempati kursi pojok dekat jendela, pilihan yang tepat karena itu langsung berhadapan dengan jalan dan gedung-gedung pertokoan yang cantik.
"Kak Jo, latte satu dan red velvet satu slice, cepat ya."
"Okay," katanya.
Dia, Kak Jo, adalah roommate serta orang yang saat ini kuanggap sebagai saudaraku. Namanya Jonathan. Dia sering dipanggil Nathan, tapi aku lebih suka memanggilnya Kak Jo. Dia sering membantuku selama di sini; dia pula yang mengajakku untuk bekerja part-time di sini. Dia sudah seperti kakak bagiku. Usia kami hanya terpaut satu tahun, tapi sikap dan kepribadiannya benar-benar membuatku kagum.
Kami berkuliah di jurusan yang berbeda, tapi dia sering membantuku jika aku kesulitan materi kuliahku. Kak Jo itu anak tunggal; sebenarnya dia ingin seorang adik, tapi orang tuanya tidak mengabulkan keinginannya. Setelah bertemu denganku, dia langsung melabeliku sebagai adiknya, dan aku tidak keberatan dengan itu.
Dia sudah tahu apa yang aku alami selama ini dan bertekad membawaku bertemu dengan orang tuanya agar aku tidak merasa kesepian. Aku sangat bersyukur dapat bertemu orang seperti Kak Jo, walaupun dia orang asing, dia sangat baik padaku dan aku sangat menghormatinya.
"Ini, antarkan sana," titahnya sambil menyodorkan nampan pesanan wanita tadi.
"Hah, kenapa aku?"
"Yang lain sedang sibuk, cepat sana antarkan."
Jika dia bukan salah satu pemilik café ini, sudah lama aku ingin memukulnya. Kak Jo membangun café ini bersama temannya, tapi dia lebih memilih ikut bekerja daripada duduk diam di kantornya.
Aku langsung mengantarkan pesanannya; tidak baik membuat pelanggan menunggu.
"Permisi, ini pesanan Anda."
"Ah, iya. Terima kasih," katanya, lalu kembali sibuk dengan ponselnya.
Wajahnya tidak asing. Apa aku pernah bertemu dengannya? Entahlah, terlalu banyak orang yang aku temui di sini.
Aku melihat Kak Jo memperhatikan wanita tadi, muncul niatku untuk menggodanya.
"Kamu menyukainya ya, Kak?". Ucapku sambil menaik-turunkan alis.
"Aku tidak menyukainya ya, mau kupukul kau?" Katanya sambil mengangkat tangan.
Aku langsung mundur sambil tertawa. Menjahili Kak Jo adalah salah satu hobiku sekarang.
"Wajahnya tidak asing, seperti aku pernah melihatnya."
"Oh, aku juga berpikiran yang sama, seperti kita pernah melihatnya, kan?"
"Iya, tapi aku tidak terlalu ingat."
Kak Jo langsung merangkulku, dan kami mencoba mengingat-ingat sambil memasang muka sangar, sampai tidak melihat salah satu karyawan di sini memandang kami aneh.
"Bukannya dia sering ke sini dan selalu memesan latte dan red velvet cake?"
"Ah, iya, benar," ucap kami berbarengan. Kami terkejut dan langsung menoleh ke samping.
"Apa?" tanyanya.
"Astaga, Jason, bisakah kau berhenti membuatku terkejut," keluh Kak Jo.
Jason hanya mengangkat bahunya dan berlalu begitu saja.
"Ya Tuhan, anak itu membuatku pusing saja. Ya sudah, aku mau ke belakang, kau diam di situ ya."
Aku hanya mengangguk dan melanjutkan pekerjaanku. Pantas saja rasanya tidak asing saat melihatnya.