Chereads / Laut Kamu dan Aku / Chapter 7 - Debaran(2)

Chapter 7 - Debaran(2)

Sudah pukul 5 lebih dan dia belum juga muncul. Entah apa yang terjadi, mungkin dia lupa atau memang tidak ingin datang. Aku tak tahu.

Aku kembali merapatkan mantel yang melekat di tubuhku karena udaranya semakin dingin, berharap dia segera datang. Namun, dia belum juga muncul. Lebih baik aku pulang saja, mungkin aku belum beruntung untuk bertemu dengannya. Sesaat setelah aku membalikkan tubuhku dan berjalan menjauh, aku mendengar seseorang memanggilku.

"Arsa..."

Aku langsung menengok mencari sumber suara itu. Aku melihat seorang gadis mendekat. Ah, mungkin itu dia.

"Arsa...ya Tuhan, maafkan aku. Aku harus mengurus sesuatu tadi. Apa kamu menunggu lama?" ucapnya sambil terengah-engah.

Dia terlihat seperti habis berlari marathon, dahinya penuh peluh dan pipinya kemerahan karena dia harus berlari menembus udara dingin. "Tidak, aku tidak menunggu lama. Kamu tidak apa-apa, mau aku belikan minum dulu?"

"Tidak, terima kasih banyak. Maaf membuatmu menunggu," ucapnya.

"Hey, nafasmu tersengal seperti itu. Kemari duduklah sebentar, aku akan belikan kamu cokelat panas. Tunggu di sini ya...ah iya ini, masih bersih kok, aku baru mencucinya," ucapku sambil menyodorkan sapu tangan yang untungnya aku baru mencucinya kemarin.

"Terima kasih," ucapnya, dan dia langsung mengambil sapu tangan yang ada di tanganku.

"Tunggu sebentar di sini, okay? Aku tidak akan lama." Aku langsung pergi ke penjual minuman terdekat dan memesan cokelat hangat untuk kami berdua. Tak lama kemudian, pesanannya jadi dan aku langsung bergegas menghampirinya.

"Ini terimalah, cokelat hangat cocok untuk menghangatkan tubuhmu," ucapku sambil menyodorkan segelas cokelat panas kepadanya.

"Terima kasih banyak, Arsa. Maaf merepotkanmu," ucapnya dengan rasa penyesalan.

"Tak apa, aku tidak merasa direpotkan kok." Aku langsung duduk di sebelahnya, dan kami langsung menyesap cokelat hangat itu tanpa ada obrolan apa pun. Sepuluh menit kemudian, dia memulai obrolan.

"Arsa, kita berangkat sekarang?"

"Kamu sudah baikan? Jika belum, kita bisa menunggu sebentar sampai kamu merasa lebih baik," jelasku.

"Aku sudah merasa lebih baik sekarang, maaf membuatmu repot atas hal ini."

"Hey, aku tidak merasa direpotkan. Santai saja, okay? Jika kamu sudah merasa lebih baik, ayo berangkat sekarang."

Aku langsung beranjak dari tempat dudukku dan mengulurkan tanganku padanya, sedangkan dia hanya menatap tanganku sambil tersenyum canggung. Melihat itu, aku langsung menarik tanganku dan menggaruk tengkukku, berpura-pura ada yang gatal padahal tidak.

Kami berjalan bersisian tanpa ada obrolan apa pun. Aku terlalu malu mengingat hal tadi.

"Kamu sudah lama tinggal di sini?"

"Cukup lama, mungkin sudah sekitar 14 tahun. Aku pindah ke sini saat umurku 8 tahun. Bagaimana denganmu?"

"Aku datang kemari saat masuk kuliah, mungkin baru 4 atau 5 tahun."

"Oh ya, kamu berkuliah di mana?"

"Di Universitas X."

"Aku juga berkuliah di sana. Kamu berkuliah di jurusan apa?"

"Aku di bidang seni dan sebentar lagi akan wisuda. Bagaimana denganmu?"

"Aku mengambil bidang kesehatan. Tunggu, bukannya usia kita hampir sama? Bagaimana mungkin kamu sudah hampir wisuda sedangkan aku masih di semester akhir?"

"Aku mengambil akselerasi."

"Wah, kamu keren sekali. Kamu pasti sangat pintar."

"Ah tidak, aku biasa saja. Oh, kita sudah sampai." Aku langsung mengajaknya masuk begitu tiba di sana. Rasanya malu sekali dipuji oleh seseorang yang kau sukai.

"Eum...ayo," ucapnya sambil menarik tanganku. Entah itu disengaja atau tidak, aku sangat bahagia saat ini. Terima kasih Tuhan telah mengabulkan permintaanku.

Aku berjalan di belakang tidak jauh darinya, sementara dia sedang mengamati sebuah lukisan di depannya dengan tatapan serius. Dia terlihat sangat menggemaskan dengan raut wajah yang sangat serius mengamati lukisan di hadapannya dengan aura ingin menghajar siapa pun yang mendekatinya sehingga membuat orang lain enggan berdiri di sampingnya.

Entah mengapa melihatnya membuat hatiku menghangat, seperti sesuatu dari diriku yang hilang kini kembali.

"Arsa, kemari," panggilnya.

Aku pun berjalan mendekatinya. Dia langsung menarik tanganku mendekati lukisan yang dari tadi dia pandangi. "Apa maksud dari lukisan ini?"

Aku memandangi lukisan itu sebentar, mengingat-ingat sepertinya aku pernah membaca tentang lukisan itu.

"Ini lukisan Interior with a Woman Standing karya Vilhelm Hammershøi. Aku tidak terlalu paham mengenai maknanya, namun aku pernah membacanya. Hammershøi menciptakan lukisan ini sebagai sebuah metafora untuk kesepian seseorang. Kesendiriannya ditegaskan oleh bingkai yang kosong tanpa gambar dan tergantung di tembok di belakangnya. 'Karena tak ada psikologi, tak ada cerita, kau bisa menempelkan pikiranmu sendiri ke lukisan itu.' Itu saja yang aku ketahui tentang lukisan ini," jelasku.

Saat ku alihkan pandanganku padanya, dia menatapku dengan muka bingung. Aku geli melihat wajahnya itu.

"Hallo, bumi kepada Disha," ucapku sambil melambaikan tanganku di hadapan wajahnya.

"Aku tidak mengerti," ucapnya.

"Tak usah dipikirkan, ini terlalu rumit untuk otak kecilmu itu," godaku. Tak salah kan menggodanya sedikit.

"Hey, aku tidak sebodoh itu ya," ucapnya merajuk.

"Iya, iya maafkan aku."

Dia pun berjalan lagi melihat instalasi seni yang dipajang di sana, sedangkan aku berhenti di booth buku yang menarik perhatianku. Andini Maheswara, nama itu mengingatkanku pada seseorang. Aku mengambil buku itu dan membalik halaman terakhirnya. Ternyata benar, itu dia. Foto dan namanya tercetak jelas di cover bukunya. Aku turut senang jika impiannya terkabul, walaupun aku merasa sakit di sini. Setidaknya dia bahagia di sana.