"Sa...Arsa..."
"Ah...iya." Tak terasa sudah beberapa menit aku hanya diam memandangi buku yang ada di genggamanku.
"Are you okay?." tanyanya dengan nada khawatir.
"Ya, aku baik-baik saja. Sampai mana kita tadi ?." Aku langsung meletakkan buku itu ke tempatnya semula.
"Mau melihat yang bagian timur tidak?." tanyanya antusias.
"Boleh, kenapa tidak," jawabku.
Senyumnya langsung mengembang begitu mendengar jawabanku, "Asik...ayo."
Dia pun langsung menarik tanganku berjalan menuju sayap kiri dari bangunan itu. Sampai di sana pun dia masih menggenggam tanganku. Tangannya mungil, hangat, dan begitu halus. Sangat pas berada di genggamanku.
Cukup lama kami berada di sana, hitung-hitung menghangatkan diri dari dinginnya udara di luar. Disha pun masih belum melepaskan genggaman tangannya dariku. Aku sih senang-senang saja tanganku digenggam olehnya. Kapan lagi tanganku digenggam oleh seorang gadis cantik?
"Disha, kamu lapar tidak?" tanyaku.
"Lumayan, kenapa? Kamu lapar ya?"
"Iya, ayo keluar. Aku tahu resto yang enak sekitar sini."
Kami pun langsung melangkahkan kaki keluar dari pameran, karena perutku sudah meronta-ronta ingin diisi. Tak jauh dari tempat pameran, kami sudah sampai di restoran kecil yang biasa aku kunjungi. Tempatnya tidak mewah tapi suasana di sana sangat hangat dan damai.
"Ada yang bisa saya bantu, tuan?" tanya seorang pramusaji.
"Tolong meja untuk dua orang."
"Silahkan lewat sini, tuan." Pramusaji itu langsung menuntun kami ke meja yang kosong di sana.
"Ini menunya, Anda bisa memanggil kami setelah menentukan menu yang Anda mau. Saya permisi dulu," ucapnya yang langsung meninggalkan meja kami untuk melayani pengunjung lainnya.
"Terima kasih."
Saat aku kembali memfokuskan pandanganku kepadanya, aku kembali terkagum dengan dirinya. Parasnya begitu anggun dengan senyum yang terpatri di wajahnya, ditambah sorot temaram lampu yang menyinari wajah cantiknya. Itu sangat menyilaukan bagiku. Aku pun langsung mengalihkan pandanganku darinya, karena aku tidak ingin tertangkap basah sedang memandangi wajahnya tanpa berkedip.
"Kamu ingin pesan apa?" tanyaku.
"Beef steak dan jasmine tea saja," jawabnya.
Aku pun langsung memanggil pramusaji untuk memesan, "Ada yang bisa saya bantu?"
"Dua beef steak dan untuk minumannya jasmine tea dan hot latte saja."
"Baik, ada tambahan lain, tuan?"
"Tidak ada."
"Silahkan tunggu sebentar, saya permisi."
"Terima kasih."
Selama menunggu pesanan disiapkan, kami hanya diam menatap ke arah jendela. Suasana kembali sepi hanya ada suara dari instrumen lagu yang diputar di dalam resto.
"Terima kasih."
Aku pun langsung mengalihkan pandanganku kepadanya dengan memasang wajah bingung.
"Terima kasih sudah mengajakku pergi hari ini. Aku sangat senang. Aku jarang bisa pergi keluar karena kesibukanku. Kalau bisa keluar pun aku biasanya sendiri, tapi saat pergi denganmu itu sangat menyenangkan," ungkapnya.
"Astaga, santai saja. Tidak perlu berterima kasih begitu. Aku juga senang kok bisa pergi bersamamu. Lain kali jika kamu ingin pergi atau sekadar jalan-jalan, aku dengan senang hati menemanimu. Kamu bisa menghubungiku kapan saja," jawabku.
"Ah iya, boleh aku minta nomormu agar aku bisa menghubungimu?" tanyaku. Dia pun hanya menjawabnya dengan anggukan sambil tersenyum. Aku pun langsung memberikan ponselku padanya.
"Ini," jawabnya sambil menyerahkan kembali ponselku. Aku pun langsung memencet tombol panggilan yang langsung tersambung pada ponselnya.
"Itu nomorku, kamu bisa menyimpannya kalau mau, hehe," kataku sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal.
"Pasti aku simpan kok. Oh iya, hampir saja aku lupa...mau berfoto?" ucapnya sambil mengeluarkan kamera instax dari tasnya. "Sebenarnya aku ingin menggunakannya saat di pameran tadi, tapi aku terlalu excited jadi lupa untuk mengambil foto. Jadi, aku akan menggunakannya sekarang."
Dia pun langsung berpindah tempat dan duduk di sampingku, mengangkat kamera ke arah kami. "Cheese...cekrek. Ayo sekali lagi...cekrek." Selama foto itu, aku hanya mengeluarkan gaya andalanku dengan pose mengangkat dua jari.
Saat foto itu jadi, dia langsung terkikik geli melihat foto kami. "Kamu lucu sekali, seperti anak kecil," ucapnya sambil memperhatikanku dalam foto itu.
"Silahkan pesanannya, selamat menikmati," ucap pramusaji sambil meletakkan pesanan kami di atas meja.
"Terima kasih." Disha pun langsung kembali ke kursinya. Selama makan, kami hanya diam menikmati hidangan masing-masing, kadang juga diselingi dengan obrolan ringan.
Setelah selesai, aku langsung beranjak dari kursiku. "Aku ke toilet sebentar ya." Aku pun langsung menuju toilet menyelesaikan urusanku di sana dan segera menuju kasir untuk membayar pesanan kami.
"Sudah selesai?" tanyanya.
"Sudah. Kamu sudah selesai makannya?"
"Ya, ayo pulang. Ini sudah larut, aku takut ketinggalan bus. Ah, sebentar. Aku akan membayar pesananku," ucapnya sambil mengeluarkan dompetnya.
"Tidak perlu, aku sudah membayarnya kok."
"Mana bisa begitu? Tidak, tidak. Aku akan membayar pesananku sendiri. Berapa totalnya akan aku ganti," sanggahnya.
"Tidak usah, sungguh tidak apa-apa. Aku yang traktir," ucapku.
"Astaga, aku malah merepotkanmu. Kamu sudah mengajakku berkeliling, sekarang malah membayar makananku. Aku jadi tidak enak."
"Tidak apa-apa kok, anggap saja itu hadiah, hehe. Ayo, aku antar pulang."
"Tidak usah, Arsa. Aku bisa sendiri. Lagipula, aku tinggal di asrama dekat sini. Cukup naik bus di halte depan saja kok," jawabnya.
"Ini sudah malam. Tidak baik seorang gadis berjalan sendirian. Ayo, aku akan mengantarmu sampai halte," ucapku.
"Baiklah."
Sepanjang jalan, kami lalui dengan obrolan ringan dan candaan-candaan ku yang receh. Dia pun menanggapi obrolan itu dengan antusias dan kadang tertawa terhadap candaan recehku itu.
"Oh, itu busku. Pas sekali. Ini untukmu, terima kasih untuk hari ini. Aku sangat bahagia," ucapnya sambil memberikan sesuatu untukku.
"Aku pulang dulu ya. Jangan lupa mengabariku kalau kamu sudah sampai rumah. Sampai jumpa lagi."
Saat sudah di tempat duduknya pun, dia masih melambaikan tangannya dan tersenyum lebar ke arahku yang langsung aku balas dengan senyuman yang tak kalah lebar hingga bus itu berjalan menjauh baru aku menurunkan tanganku.
"Ah, gemas sekali," batinku.