Tak lama setelah bus yang ditumpanginya berjalan menjauh, aku berbalik badan dan berjalan pulang. Selama di perjalanan, aku hanya memandang barang yang dia berikan. Itu dibungkus dalam amplop kecil berwarna biru muda lengkap dengan stiker lucu yang menyegel amplop itu. Aku tak berani membukanya sekarang, terlalu takut merusak hadiah lucu yang dia berikan. Mungkin nanti setelah aku sampai apartemen aku akan membukanya.
Setelah sampai di apartemen, aku langsung memasukkan sandi yang sudah kuhafal di luar kepala. Saat aku melangkah masuk, aku melihat lampu ruang tengah masih menyala. Itu berarti Kak Jo sudah pulang. Kukira dia menginap di kafe lagi.
"Oh, kau sudah pulang, Arsa?" tanya Kak Jo yang sedang bersantai di sofa sambil menonton TV.
"Iya, udara di luar sangat dingin jadi aku buru-buru pulang," jawabku sambil menyandarkan tubuhku di sofa.
"Aku kira kau akan pulang larut."
"Tidak, lagipula aku hanya pergi ke pameran saja. Aku kira kau menginap di kafe lagi, Kak?"
"Urusanku sudah selesai jadi aku bisa bersantai sekarang. Aku juga mau pulang memperhatikan perkembangan adik kecilku ini," ucapnya sambil menepuk pundakku.
"Ah, aku ingat dulu saat kau pertama kali datang ke sini. Usia mu masih sangat belia, masih sangat polos. Sekarang kau sudah sebesar ini, sudah mau lulus kuliah pula. Ya Tuhan, waktu cepat sekali berlalu ya. Tidak terasa itu sudah beberapa tahun lalu. Rasanya aku seperti membesarkanmu."
Aku tertegun mendengar ucapannya. Ternyata sudah selama itu ya aku berada di sini. Aku selalu merepotkannya, dia selalu membantuku dan selalu mendukungku saat aku merasa kesulitan. Kak Jo selalu ada untukku. Dia sudah menjadi figur seorang kakak yang hebat bagiku.
"Kak Jo, terima kasih banyak ya sudah membantuku selama ini. Terima kasih sudah menjadi seorang figur kakak bagiku. Aku tidak tahu apa yang terjadi jika aku tidak bertemu denganmu. Mungkin aku bisa saja menjadi gelandangan di luar sana karena hidup dengan uang yang pas-pasan. Aku banyak berhutang budi padamu, Kak."
Saat kuarahkan pandanganku ke arahnya, dia hanya menunduk menyembunyikan wajahnya. Acara yang tampil di layar TV pun ia hiraukan.
"Kak, kamu menangis?" tanyaku sambil mengintip dari bawah.
"Enak saja, siapa yang menangis." Kak Jo langsung mendongak dengan mata merah dan sedikit berair menatap lurus ke arahku.
"Itu matamu merah, kalau tidak menangis lalu apa?" tanyaku polos karena tak biasanya Kak Jo menangis di depanku.
"Kak, terima kasih banyak ya. Karena mu aku bisa meraih cita-cita ku. Aku juga bisa hidup dengan nyaman di sini dan aku mendapatkan seorang saudara yang aku tidak miliki selama ini. Jika kau meminta sesuatu padaku, sebisa mungkin aku akan kabulkan, Kak, apapun itu."
"Astaga, bilang apa kau ini, Arsa. Kau sudah aku anggap adikku sendiri. Aku tidak pernah berpikiran yang aneh-aneh tentangmu. Aku juga tidak merasa direpotkan olehmu. Kehadiranmu itu sudah memberi kebahagiaan bagiku yang menginginkan seorang adik. Jadi, hilangkan pikiranmu tentang itu dan berbahagialah."
Senyumku mengembang. Aku merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan orang-orang baik selama ini.
"Terima kasih, Kak. Terima kasih banyak. Aku menyayangimu." Dia pun langsung melingkarkan tangannya pada pundakku dan menepuk kepalaku.
"Aiihh, anak ini sudah bisa berkata manis sekarang. Tahu begitu, aku akan minta lagi pada orang tua ku mengadopsimu saja."
"Ah iya, bagaimana kabar Papa dan Mama?"
Iya, kalian tidak salah baca, Papa dan Mama mereka itu orang tua Kak Jo. Mereka sudah aku anggap seperti orang tuaku sendiri selama ini. Mereka pun menganggapku seperti anak bungsu mereka itu karena Kak Jo yang selalu merengek meminta mengadopsiku karena dia ingin seorang adik laki-laki.
Sedangkan Mama saat itu sudah tidak bisa mengandung lagi. Setelah mendengar apa yang terjadi padaku, mereka pun pernah meminta persetujuan dariku untuk menjadikanku anak mereka. Namun, aku menolak karena tak ingin merepotkan mereka. Cukup dengan ini saja aku sudah merasa bahagia.
"Mereka menanyakan kabarmu, tau. Kenapa juga kau tidak menelepon mereka, ha? Kau tau sendiri seperti apa Mama jika sudah khawatir kalau salah satu putranya tidak mengabarinya." Kak Jo pun langsung memiting leherku.
"Iya...iya...maaf aku lupa. Besok aku akan meneleponnya...akhh, lepaskan...akhh, aku tidak bisa bernapas...leherku sakit." Aku menepuk lengannya berulang kali. Sumpah, pitingannya benar-benar sakit sampai-sampai aku kesulitan bernapas.
Dia pun melepaskan pitingannya padaku. "Sudah, sana mandi. Kau bau. Jika kau lapar, itu ada makanan di atas meja. Aku baru membelinya."
"Akan aku makan besok, Kak. Aku sudah makan tadi," ucapku sambil berlalu menuju kamarku.
"Masukkan kulkas saja kalau begitu. Kau bisa menghangatkannya besok."
Setelah selesai mandi, aku kembali ke ruang tengah dengan pakaian santai. "Kau menonton apa sih, Kak?" tanyaku.
"Film zombie yang baru rilis. Katanya sih seru, semua orang membicarakan ini dari kemarin. Kan aku penasaran," jawabnya yang sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari layar dan satu tangannya yang sibuk menyuapkan keripik kentang ke mulutnya.
"Kau yakin menonton ini? Yakin tidak takut? Nanti tahu-tahu tengah malam kau membangunkanku untuk mengantarkanmu ke kamar mandi."
"Ishh, kapan aku begitu."
"Dih, pura-pura tidak ingat. Tidak aku antar ke kamar mandi nanti baru tau rasa."
"Hehehe, jangan begitu dong, adik manisku. Ini, ini makan. Temani aku menonton ini ya." Dia pun menyodorkan keripik kentang yang dari tadi ia makan.
Suasana menjadi hening meliputi hanya ada suara-suara dari film yang Kak Jo putar.
"Kak, tadi aku bertemu dengannya. Ya, tidak bertemu secara langsung sih. Aku hanya melihatnya dari kejauhan. Dia tampak bahagia, Kak, dengan keluarga barunya. Sepertinya dia juga sudah mewujudkan mimpinya."
"Hah, maksudmu...dia?" Kak Jo menggantungkan perkataannya.
"Iya...ibuku, Kak. Aku tidak sengaja melihatnya ada di sana. Aku juga menemukan bukunya dipajang di pameran itu. Dia tersenyum sangat bahagia. Itu senyuman yang sangat tulus, Kak. Tidak seperti saat bersamaku. Ibu hanya menampakkan senyum palsu padaku selama ini."
Kak Jo tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya mengusap pundakku berusaha menguatkanku.
"Tapi tidak apa, Kak. Aku turut bahagia karena dia berhasil mendapatkan apa yang dia selama ini impikan. Aku tidak lagi menghambat kebahagiaannya, Kak. Aku senang melihatnya." Aku hanya menatap Kak Jo dengan senyum yang dipaksakan dengan tubuh yang bergetar.
"Arsa, dengar. Aku tahu ini tidak adil. Aku juga tahu kau juga ingin kehidupanmu seperti dulu, seperti anak-anak lainnya. Namun, takdir berkata lain dan kita tidak bisa melakukan apapun. Mungkin itu memang jalan yang terbaik bagi mereka, bagi ayah, ibu, dan dirimu. Jika mereka sudah menemukan kebahagiaannya, aku juga harap kau menemukan kebahagiaanmu. Teruslah melangkah maju. Jangan menengok ke belakang. Jangan pernah merasa kau sendirian. Kami selalu ada di sini bersamamu. Ingat Arsa, kau juga berhak bahagia. Jadi, cari kebahagiaanmu."
"Iya, kau benar, Kak. Aku juga berhak bahagia."
Ya, aku berhak bahagia. Maka akan kucari kebahagiaanku sendiri mulai sekarang.