Chereads / Laut Kamu dan Aku / Chapter 10 - Rumah

Chapter 10 - Rumah

Aku kembali melangkahkan kaki ke dalam kamarku, merebahkan tubuhku di atas kasur dan menatap kosong langit-langit kamar. Musim ini hari terasa lebih pendek, semakin dingin, dan daun-daun gugur dari pohon. Hatiku rasanya hampa sekarang, melihat ibuku bahagia dengan keluarga barunya. Begitu pula ayah ku, dia tidak pernah menghubungi ku setelah kematian nenek. Tidak adil rasanya aku seperti tidak di anggap oleh mereka atau mungkin aku memang sudah di lupakan. Di sini aku masih berjuang dengan hidupku dengan semua trauma yang aku bawa, sedangkan mereka hidup bahagia seolah aku tidak pernah ada di antara mereka.

Selama ini aku mencari ketenangan. Hidupku terombang-ambing aku tidak tau apa yang akan aku lakukan esok hari maupun kedepan. Aku benar-benar tidak tau, kadang aku berpikir jika aku mati esok apakah akan ada yang menangis atas kepergiaan ku apakah mereka akan datang. Kadang aku iri dengan mereka yang memiliki rumah untuk pulang. Rumah untuk beristirahat, berkeluh-kesah, dan berbagi cerita. Aku juga ingin punya rumah untuk pulang, tapi nyatanya rumah itu sudah hancur sejak aku kecil. Rumah itu hanya kebohongan semata, tidak ada rumah untuk ku pulang.

Aku masih setia menatap langit-langit dengan pikiran ku yang semakin tidak jelas. Ku rasakan getaran kecil yang berasal dari handphone yang aku taruh di samping kepala ku. Saat ku lihat nama yang tertera di layar aku langsung terbangun, itu mama, ibunda kak Jhonathan. Orang asing yang sangat menyayangiku bagaikan aku ini putranya, orang yang selalu menanyakan kabar ku setiap saat. Seseorang yang kini aku sangat hormati dan aku sayangi. Sadar dari lamunan ku, aku langsung mengeser ikon telefon itu ke samping. Nada sampung pun terdengar.

"Halo.."

"Halo Arsa, apa kabar nak ?." Suara itu mengalun dengan lembut.

"Arsa baik ma, bagaimana kabar mama dan papa sehat kan ?."

"Mama dan papa sehat nak. Arsa, kenapa akhir-akhir ini sulit di hubungi mama khawatir nak papa mu juga selalu menanyakan mu." Nadanya khawatir.

Tengorokan ku rasanya tercekat, aku tidak bisa mengelurkan suara ku untuk menjawab pertanyaannya. Ternyata ada yang menghawatirkan ku ya selama ini.

"Halo..Arsa, apakah suara mama terdengar, halo nak ?."

"Iya ma. Maaf." Jawabku dengan suara bergetar.

"Apakah ada masalah nak, kamu baik-baik saja kan ?."

"Arsa baik ma, tidak ada apa-apa." Bohong ku. Aku tidak baik-baik saja sekarang.

"Arsa jangan bohong dengan mama, mama tahu nak. Arsa bisa cerita dengan mama, mama di sini sayang." Jawabnya lembut.

Aku hanya diam mendengar jawabannya, apakah ini yang di namakan intuisi seorang ibu yang selalu tau apa yang sedang di hadapi anaknya. Ironis sekali. Mama bukan ibu kandung ku tapi beliau sangat menyangiku, sedangkan sosok yang selama ini aku anggap ibu orang yang melahirkan ku tidak pernah menghubungi ku atau sekedar bertanya kabar. Mungkin aku sudah benar-benar di lupakan atau dia mengangapku tidak ada. Setetes air mata jatuh di pipi ku, isakan mulai terdegar.

"Tak apa sayang mama di sini, menangis lah." Ucapnya penuh kelembutan. Air mataku mulai mengalir deras, aku tidak mampu menjawab perkataannya.

10 menit berlalu dan aku masih terisak, kata-kata penenang itu masih keluar dari mulutnya. Kata-kata itu juga sangat ampuh menenangkan ku, pemikiran buruk yang selama ini ada di kepala ku menguar entah kemana digantikan oleh rasa hangat yang menyelimuti. Perlahan aku mulai tenang.

"Maafkan Arsa ma, Arsa terlalu cengeng." Jawabkku dengan suara serak.

"Hei.. tak apa nak, Arsa tidak cengeng. Tidak apa menangis, menangislah jika itu bisa menenangkan mu. Mama akan selalu di sini mendengarkan mu, tidak apa jika tidak ingin membicarakannya sekarang tapi selalu ingat kami di sini selalu menyayangi mu."

Kata-kata itu selalu ingin aku dengar saat aku terpuruk. "Terima kasih ma, terima kasih banyak."

"Teruslah berjalan nak jangan menegok ke belakang, jangan jadikan masa lalu mu mengambat langkahmu, terbanglah yang tinggi. Kamu sudah menanggung beban yang berat selama ini, lepaskan perlahan ya. Teruslah berjalan dan jalani hidupmu dengan bahagia, tapi jangan lupa pulang ya nak. Kami selalu ada di belakang mu, papa, mama, Jhonatan akan selalu mendampingimu. Kami akan selalu menjadi rumah mu untuk pulang."

"Terima kasih ma, terima kasih banyak. Maafkan Arsa selalu membebani kalian, maafkan Arsa."

"Arsa tidak pernah membebani kami jadi jangan katakan itu lagi ya, mama tidak suka. Arsa selalu membawa kebahagiaan pada kami jadi hilangan pikiran seperti itu atau mama akan datang kesana dan memukul mu." Katanya di selingi tawa kecil yang keluar dari mulutnya.

Senyum tipis terbentuk di bibirku, "Iya ma."

"Ah sebentar papa mu ingin bicara...Hai jagoan apa kabar ?."

Suara berat itu sudah lama tidak aku dengar rindu rasanya, "Baik pa."

"Dengarkan mama mu itu ya jangan merasa sendirian kami selalu ada untuk mu. Oh ya omong-omong kapan acara wisuda mu ?."

"Minggu depan pa."

"Oh baiklah, jatwalnya sudah keluar bukan ? kirimkan segera ke papa ya, papa sudah tidak kuat menghadapi keributan mama mu tentang apa yang akan dia pakai di wisuda mu."

Aku terkekeh mendengar perkataanya, papa selalu memiliki cara untuk membuatku tersenyum.

"Kalian akan datang ?." tanyaku memastikan.

"Tentu saja kami akan datang, salah satu putra ku akan wisuda itu sebuah kebanggan bagi kami. Dan apa kah kau tau mama mu itu sudah memesan tiket pesawat satu bulan yang lalu setelah Jhonatan bilang kau sedang meyelesaikan tugas akhir mu."

Perasaan bahagia itu membuncah di dada ku. "Terima kasih banyak pa, maaf merepotkan kalian."

"Hey sudah cukup dengan kata-kata itu, cepat kirim jatwalnya ya. Mama mu kembali mengomel masalah wisudamu, papa tutup ya sebelum dia mengomeli mu juga."

Sayup-sayup suara mama kembali terdengar, dia mengomel betulan ternyata, "Papa tutup ya Arsa, sampai jumpa. Jangan lupa mengabari papa."

"Iya pa pasti, sampai jumpa."

Panggilan itu tertutup dan rasanya beban ku sedikit terangkat karena mereka. Senang rasanya ada tempat untuk ku pulang, tempat yang bisa ku sebut rumah.