Manhattan, 2019
"Namaku Adisha Nathania, kamu bisa memanggilku Disha. Salam kenal," ucapnya sambil mengulurkan tangan yang langsung kusambut dengan senang hati.
"Aku Arsana Mahendra, panggil saja Arsa. Senang bertemu denganmu."
"Oh, apakah kamu berasal dari Indonesia?" tanyaku.
"Iya, aku berasal dari Indonesia," jawabnya dengan senyum mengembang.
**FYI, di cerita ini percakapan mereka pakai bahasa Inggris karena latar ceritanya di Manhattan, New York. Kecuali percakapan Arsa, Kak Jo, dan Adisha yang pakai bahasa Indonesia.**
"Ah pantas saja wajahmu seperti orang Asia..he he he."
"Mampus kehabisan topik," batinku.
Disha hanya tertawa canggung menanggapi perkataanku. Tak lama kemudian handphonenya berdering, dia langsung buru-buru mengangkatnya. Setelah panggilan itu terputus, dia langsung memasukkan bukunya ke dalam tas dan bergegas pergi.
"Maaf, aku harus pergi, sampai jumpa." Disha pun langsung berlalu meninggalkanku yang masih berdiri di tempat itu dan belum sempat mengatakan sepatah kata pun. Kelihatannya memang aku terlalu dramatis, tapi ini kan baru langkah pertamaku mengajaknya berkenalan, tapi dia malah pergi begitu saja. Jika Kak Jo tahu, dia pasti akan terbahak-bahak melihatku.
Semoga tidak ada yang melihatku dan aku langsung pulang setelah itu.
~Next Day~
Aku bosan sekali hari ini. Jason tidak datang, Kak Jo ada urusan di luar kota, dan aku sendirian di kafe. Rasanya ingin kututup kafe ini dan pulang saja ke apartemen dan tidur saja, tapi aku masih ingin hidup dan aku butuh uang. Ah, sungguh menyedihkan sekali hidupku.
Aku hanya duduk di belakang meja kasir sambil memainkan ponselku. Itupun aku hanya membuka-tutup galeri saja, sampai aku mendengar suara bel yang berdering di atas pintu.
"Selamat siang, selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?" sapaku.
Saat itu aku masih menundukkan kepalaku berniat untuk menyimpan ponselku di dalam saku, hingga aku mendengar suara yang tidak asing bagiku.
"Hai," sapanya.
Saat ku dongakkan kepalaku, dia sudah berdiri tepat di depanku dan tersenyum manis kepadaku. Aku langsung terpaku melihatnya karena demi Tuhan, dia sangat cantik dengan balutan dress simple berwarna maroon yang tampak elegan di badannya dan rambut hitamnya yang digerai memberikan kesan feminin padanya. Lupakan acara mengagumi Disha, aku harus tampak profesional di depannya walaupun rasanya jantungku ingin melompat.
"Ada yang bisa aku bantu?" tanyaku dengan kikuk.
"Aku pesan latte satu dan lava cake."
"Baik, aku ulangi latte dan satu lava cake, totalnya $15. Cash atau debit?"
"Cash saja."
"Silakan tunggu sebentar, aku akan mengantarnya ke meja."
Saat dia pergi menuju mejanya, aku langsung buru-buru membuat pesanannya agar dia tidak menunggu lama. Aku segera mengantar pesanannya setelah itu selesai aku kerjakan. Mungkin mengobrol sebentar tidak masalah, toh pelanggannya belum banyak yang datang.
"Silakan pesananmu, maaf menunggu lama."
"Terima kasih," ucapnya.
"Boleh aku duduk di sini?" tanyaku canggung, semoga dia tidak menganggapku aneh.
"Tentu, silakan."
Keheningan kembali menyeruak. Aku hanya diam sambil memperhatikannya sementara dia sibuk dengan bukunya. Tak tahan dengan keheningan ini, aku mulai membuka obrolan.
"Kamu suka baca buku, ya?"
"Pertanyaan bodoh, sudah jelas dia suka membaca buku. Dia kan sering membawa buku kemari," batinku.
"Iya, aku suka membaca buku," jawabnya sambil meletakkan bukunya.
Melihat itu, aku berpikir apakah aku mengganggunya. Sial, aku memberi kesan buruk padanya.
"Aku mengganggumu, ya?" tanyaku ragu.
"Ah tidak-tidak, aku senang ada yang mengajakku berbicara. Jarang ada orang yang mau berbicara padaku."
"Begitu ya," jawabku sambil menggaruk belakang leherku yang sebenarnya tidak gatal.
"Oh ya, besok sepertinya ada pameran buku dan lukisan di sekitar sini, buku-bukunya cukup menarik."
"Benarkah?" tanyanya antusias.
"Iya, aku akan ke sana besok. Eumm...mau pergi bersama?"
"Boleh kalau kamu tidak keberatan."
"Aku tidak keberatan kok. Lebih menyenangkan pergi bersama daripada sendirian. Kita bertemu di sini pukul 4. Aku pergi dulu, sampai nanti."
"Ya, sampai nanti."
Senang sekali rasanya aku bisa mendekat kepadanya. Aku harap besok berjalan lancar dan aku tidak melakukan kebodohan.
---
Aku mengeluarkan semua baju terbaik yang aku punya dalam lemariku. Aku harus tampil menawan di hadapannya. Setelah sekian lama berkutat dengan baju-baju ini, pilihanku jatuh pada sweater cokelat dengan kemeja putih dipadukan dengan celana jeans. Ini cukup bagus bagiku.
"Mau ke mana kau rapi-rapi begitu?" tanya Kak Jo dengan kepala menyembul dari balik pintu.
"Aku mau jalan-jalan," jawabku singkat.
Aku masih sibuk menata penampilanku di depan cermin. Kusisir rambutku agar rapi, kusemprotkan parfum ke seluruh tubuhku. Aku tidak ingin tampil acak-acakan di hadapannya.
"Tidak biasanya kau rapi begitu?"
Aku menghiraukan ucapan Kak Jo dan sibuk menata penampilanku.
"Kau mau kencan ya?" tanyanya mengejek sambil menaik-turunkan alis.
"Tidak," sanggahku.
"Eihh, tidak perlu malu-malu begitu. Adikku sudah besar ternyata."
Segera kuambil mantelku dan segera keluar. Aku tidak tahan mendengar ocehannya, sementara Kak Jo tertawa melihatku.
Sudah sekitar dua jam aku menunggunya di sini. Aku kembali mengecek jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Apa dia lupa ya? Bodohnya aku tidak meminta nomornya. Mungkin aku akan menunggunya sebentar lagi, bisa jadi dia terjebak macet.
30 menit berlalu, dia belum muncul juga. Mungkin dia lupa. Aku menunggu seperti orang bodoh di sini, jadi aku memutuskan untuk pulang. Mungkin bisa lain kali aku pergi ke sana.