Manhattan, 2019
Hari ini cukup kelabu dibanding kemarin. Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi dan benar saja, hujan langsung turun. Suara penggiling mesin kopi dan lagu yang diputar samar-samar menjadi latar belakang sore hari ini. Hari ini cukup ramai, mungkin karena hujan, jadi orang-orang memilih berteduh sambil menikmati secangkir kopi panas daripada berjalan di bawah hujan.
Namaku Arsana Mahendra, aku seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang menikmati libur tahun terakhirku. Aku bekerja sebagai barista di sebuah kafe kecil di pinggiran kota Manhattan.
Aku berkuliah di salah satu universitas ternama di sana. Teman-temanku menganggap aku beruntung bisa kuliah di sana, namun mereka tidak tahu banyak tentang apa yang aku alami untuk sampai ke titik ini. Ayah dan ibuku bercerai ketika aku berusia 8 tahun tanpa memberi penjelasan, berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa hingga aku berusia 14 tahun.
Awalnya, aku hanya tinggal bersama ibuku karena ayah hanya pulang beberapa kali sebulan. Saat aku bertanya mengapa, dia selalu bilang pekerjaannya sangat penting di luar kota dan hanya bisa pulang sebentar. Yang sebenarnya, ayah sudah tinggal bersama istri barunya.
Selama 6 tahun, mereka berpura-pura bahagia di depanku, sampai aku mengetahui kebenarannya. Aku pulang dari sekolah dan mereka sudah menunggu di meja makan untuk memberitahuku. Ibu memanggilku untuk berganti baju dan turun ke bawah untuk berbicara.
Aku buru-buru turun setelah mengganti baju dan membawa piala yang baru saja kudapatkan dari perlombaan. Aku ingin menunjukkan bahwa aku menang lagi. Saat hendak menuju ruang makan, aku mendengar ibu menangis. Aku pikir mereka sedang bertengkar, tapi semua berubah saat aku mendengar percakapan mereka.
"Dia harus tahu, kita harus memberitahu Arsa."
"Kamu sudah terlalu lama menyembunyikannya, dia perlu tahu yang sebenarnya."
"Aku tidak bisa."
"Jangan egois, pikirkan anak-anakku juga."
"Arsa juga anakmu."
"Dia masih terlalu kecil untuk mengerti semua ini."
"Katakan saja bahwa kita sudah berpisah selama 6 tahun, dia pasti akan mengerti."
"Aku tidak bisa."
"Kenapa kamu selalu keras kepala? Langkahku benar untuk meninggalkanmu. Kamu begitu egois."
"Apa yang kamu katakan? Aku yang egois? Kamu yang brengsek."
"Brengsek?"
"Kamu laki-laki paling brengsek yang pernah aku kenal. Suami mana yang masih berselingkuh setelah menikah? Pernahkah kamu memikirkan perasaanku, atau perasaan Arsa? Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri."
Saat itu, dunia rasanya berhenti berputar. Aku menjatuhkan piala yang kugenggam ketika mendengar kata-kata ibu. Ibu melihatku dan memelukku sambil menangis, sementara ayah hanya diam memandangku. Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya menangis karena terlalu banyak hal yang harus kucerap. Selama 6 tahun, mereka berpura-pura baik-baik saja di depanku.
Bagaimana bisa semua orang tahu bahwa orangtuaku bercerai sementara aku tidak? Aku merasa seperti anak bodoh yang tidak tahu apa-apa tentang keluargaku. Pasti ibu sangat menderita harus berpura-pura bahagia selama ini, menyimpan luka di hatinya.
Ayah bangkit dari kursinya dan mendekatiku yang duduk terdiam dalam pelukan ibu. Dia berlutut di depanku dan memegang pundakku.
"Arsa, sayang, lihat ayah." Ketika ku angkat wajahku, mata ayah berkaca-kaca.
"Nak, ayah dan ibumu sekarang sudah tidak bisa bersama lagi. Kami sudah berpisah 6 tahun yang lalu. Ada alasan yang membuat kami harus berpisah. Kami mencoba segala cara untuk mempertahankan hubungan ini, tapi akhirnya kami tidak bisa. Jika kami terus memaksakan, itu hanya akan menyakiti kami berdua. Kami ingin memberitahumu lebih awal, tapi kami menunggu waktu yang tepat."
"Ayah sudah punya keluarga baru, tapi dia akan tetap menjadi ayahmu. Kita masih keluarga, kamu bisa berkunjung ke rumah dan bermain dengan saudaramu. Ayah sudah ingin mengatakannya sejak lama, tapi kami takut menyakitimu. Tapi kamu berhak tahu semuanya. Jadi, ayah harap kamu mengerti."
Aku hanya bisa diam mendengarkan semua itu. Aku dibohongi selama 6 tahun oleh orangtuaku. Aku pikir keluarga kami baik-baik saja, tapi itu semua palsu. Aku beranjak pergi ke kamarku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kepalaku rasanya mau meledak.
Esoknya, semuanya seperti biasa. Ibu berusaha tersenyum di depanku, tapi matanya berkaca-kaca saat melihatku. Ayah sudah pergi atau kembali ke keluarga barunya. Sejak saat itu, aku mulai kehilangan kepercayaanku pada hubungan. Aku menjadi pendiam dan jarang tersenyum.
Dua tahun kemudian, ibu menikah lagi dan mengajakku tinggal bersama mereka. Tapi aku menolak dan memilih tinggal dengan nenekku. Aku jarang bertemu ayah dan ibu setelah itu. Mereka mengirimiku uang setiap bulan, tapi aku tidak pernah menggunakannya.
Aku hidup bersama nenek, mengandalkan uang dari panen ladang dan kadang membantu tetangga dengan pekerjaan untuk mendapatkan uang yang kusimpan.
Saat aku berusia 18 tahun, nenek meninggal. Aku tinggal sendiri dan memutuskan untuk pergi. Aku mencoba mendaftar beasiswa ke luar negeri dan berhasil diterima di salah satu universitas di Manhattan dengan beasiswa penuh. Dengan keberanian, aku berangkat ke sana setelah menyiapkan segala dokumen dan perlengkapan.
Di sini, aku memulai hidup baru dan melupakan masa lalu.
Minggu-minggu pertamaku tidak semudah yang kubayangkan. Aku yang tanpa pengalaman pergi ke luar negeri tanpa persiapan matang. Di minggu pertama, aku masih sulit menyesuaikan diri. Namun, minggu kedua, aku mulai terbiasa, terutama dengan bantuan teman sekamar yang juga orang Indonesia seperti aku.
Dia membantuku mengurus berkas dan mengajakku berkeliling Manhattan, baik itu berjalan-jalan di taman-taman dekat asrama atau menikmati secangkir kopi di kafe-kafe kecil di pinggir jalan. Dia sudah seperti saudara bagiku. Aku merasa nyaman di sini dan tidak ingin pulang. Meskipun kadang-kadang aku merindukan nenek, aku mengurungkan niatku untuk pulang mengingat kejadian pahit di masa lalu.
Aku memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan orangtuaku. Mereka bahagia dengan keluarga barunya, dan aku ingin mencari kebahagiaan sendiri, meskipun tanpa mereka.