Jam di atas nakas berbunyi dengan keras dan nyaring sehingga Naulida mengernyitkan dahi dan meraba untuk mematikan bunyi jam itu. Puluhan detik tangannya berhasil menemukan lokasi jam lalu, ia mematikannya dan sedikit menoleh ke arah jam yang menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Bola matanya membesar ketika ia mengetahui jam saat ini.
"Astaga, jam setengah tujuh."
Sontak, Naulida terbangun dari kasur. Ia langsung beranjak menuju kamar mandi untuk bersiap diri secepat mungkin karena ada jadwal meeting bersama klien penting.
Naulida bersiap diri dengan durasi paling cepat dari sebelumnya karena bangun terlambat. Ia berpakaian satu set jas dengan celana kain panjang berwarna biru muda. Ia sengaja memilih warna biru muda agar terlihat cerah dan ceria meskipun pikiran dan hatinya sedang kalut.
Setelah semuanya selesai dan sebelum menuju mobil, ia memeriksa berkas-berkas penting di meja kerjaannya untuk meeting.
"Ah, dokumen bapak Alexander sudah siap dan dokumen lainnya sudah siap juga. Dokumen sudah lengkap," ucap Naulida.
Naulida merapikan dan memasukkan dokumen ke tas kerjanya berwarna abu-abu terang dengan corak bintang kecil di kantong tas. Ia ke luar dari kamar sambil menggendong tas yang berisi dokumen dan laptop.
Naulida turun membawa sepatu kerja ke lantai bawah dan tanpa menoleh ke arah dapur dan berpamitan dengan orang tua dan adiknya karena malas mendengar ocehan ibunya yang membuat telinganya semakin panas. Hendak melangkah ke pintu rumah, ia dipanggil Ibunya dengan nada tinggi.
"Naulida, sini!" perintah Ibu Naulida.
Naulida memutar bola matanya dengan malas sambil menghentakkan satu kaki ke lantai. Ia malas mendengar suara kasar dari Ibunya sehingga ia berputar balik menuju sumber suara.
"Ada apa, Bu?" tanya Naulida dengan nada malas yang tidak ingin berdebat dengan Ibunya.
"Kamu main pergi saja, kamu harus mengantarkan adikmu terlebih dahulu sebelum ke kantor dan jangan lupa ini sudah waktunya untuk membayar uang kuliah adik kamu karena kamu memintanya dibayar perbulan bukan per satu semester," ucap Ibu Naulida dengan intonasi penekanan dan tinggi.
"Aku ingat itu dan setelah sampai kantor nanti aku mentransfer ke rekening kampusnya. Aku membayar per bulan karena gajiku tidak cukup jika membayar per semester, Bu dan Ibu tahu itu," ujar Naulida dengan nada kesal dan intonasi penekanan."Aku tidak bisa mengantarnya karena ada meeting penting hari ini dan dia juga bisa berangkat naik motor sendiri atau minta dijemput Alexio," tolak Naulida sambil mengeja kekasih adiknya dengan menggerakkan pipi ke kanan dan kiri.
"Alexio?" tanya ibu mereka dengan mengernyitkan dahi dan menatap adiknya.
"Ibu tanya saja sama Adik karena Nau tidak mempunyai waktu banyak karena sudah terlambat."
Ibunya tidak mengetahui apa pun tentang Alexio, kekasih Nurlida sehingga ia menoleh ke arah adiknya dengan tatapan yang penuh tanda tanya dan kedua bola mata adiknya membesar seperkian detik.
Naulida berbalik dan melangkahkan kaki ke luar rumah menuju mobil. Ia berangkat dari rumah tanpa sarapan dan pikiran terasa segar karena mencoba berdamai dengan diri sendiri dan melupakan kejadian semalam.
Naulida memutar lagu kesukaanya yang berjudul A Thousand Years sambil bernyanyi dengan kencang. Ia mencoba menghibur diri sendiri agar tidak sepi dan teringat kembali dengan hal yang telah terjadi pada dirinya.
Hari ini adalah hari pada awal bulan dan telah berganti bulan. Naulida membayar uang kuliah adiknya perbulan setiap awal bulan karena ia telah mendapatkan gaji dari perusahaannya. Uang perkuliahan adiknya menjadi tanggung jawabnya sampai ia lulus dan tidak hanya itu, keperluan bulanan juga menjadi tanggungannya. Namun, semua itu tidak dirasakan dan dijalankan olehnya dengan ikhlas karena itu bentuk bakti kepada orang tua dan meringankan beban hidup mereka.
Naulida terus bernyanyi sambil mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata agar tidak terlambat dan usahanya tidak sia-sia.
Ia tiba di depan kantor pukul tujuh lebih dua puluh lima menit sehingga ia hanya mempunyai waktu sebanyak lima menit untuk masuk ke ruangan meeting. Naulida bergegas mengambil tasnya dan berlari masuk ke kantor.
Katika ia masuk kantor, penglihatannya disuguhkan pemandangan antrean lift sedikit panjang sehingga Naulida mengambil langkah yang praktis tetapi, melelahkan.
Ia berbelok ke arah kiri menuju tangga yang setengah melingkar dengan berlari. Naulida menaiki dua buah lantai anak tangga agar cepat tiba di ruangan sebelum petinggi perusahaan masuk ke ruang meeting.
Naulida menaiki anak tangga sambil menghitungnya dengan dua buah lantai yang ia pijak sampai lantai lima. Ruang meeting berada di lantai lima dan ia menaiki anak tangga sebanyak dua ratus anak tangga dengan memakai sepatu high heels.
Ia pun membungkukkan setengah badan dengan kedua tangan di pinggang dan napas tersengal-sengal. Ia beristirahat satu menit dan melanjutkan langkahnya menuju ruang meeting masih terbuka yang terlihat dari tempatnya berdiri dan melangkah. Pintu ruang meeting hendak ditutup oleh karyawan lain, ia menahan dan sedikit mendorong pintunya. Lalu, ia masuk ke ruang meeting dengan menarik garisan panjang di bibirnya sambil mengangguk pelan kepada Alexander, Bapak Harry dan petinggi perusahaan lainnya.
Ia duduk di seberang Alexander, bersebelahan dengan karyawan lainnya yang memiliki jabatan yang sama sambil mengeluarkan berkas penting dari dalam tasnya.
Naulida merasa ada yang memperhatikannya, tetapi ia tidak memedulikan itu karena fokusnya tidak ingin berubah dan hanya pada meeting agar hasil kerjanya bagus.
Suara perempuan membuka meeting pada pagi hari ini dengan tegas dan lantang. Ia pun menoleh ke sumber suara dan perempuan itu berambut pendek, manis dan memiliki kulit berwarna sawo matang.
"Selamat pagi."
"Pagi."
"Sebelum memulai meeting pada pagi hari ini, kita memanjatkan doa terlebih dahulu sesuai kepercayaan dan keyakinan masing-masing."
Kami berdoa terlebih dahulu sebelum meeting agar berjalan dengan lancar, mempunyai solusi dari setiap permasalahan yang ada. Hal itu sudah menjadi kebiasaan di kantornya.
"Baik, pertama saya akan membahas permasalahan tentang budget untuk pembangunan pom bensin di luar kota yang lokasinya tepat di Malang. Kita memiliki budget sekitar dua ratus miliar yang akan dialokasikan dalam bentuk tabung gas dan wadah untuk pengisian bahan bakar minyak."
Perempuan itu membahas pembangunan pom bensin di luar kota dengan menjelaskan rincian anggaran dana kepada kami secara urut dan terperinci sehingga Naulida mencatat semua yang dibicarakan oleh perempuan itu.
Bapak Harry, Manajer yang berkaitan seperti Naulida juga ikut berpresentasi mengenai minyak yang ia kelola di dalam maupun di luar negeri. Ia menjelaskan detail mengenai kerjaannya selama sebulan.
"Selamat pagi, Pak, Bu. Saya akan menjelaskan mengenai minyak yang saya kelola. Saya mengelola minyak kelapa dan kelapa sawit. Laporan bulan kemarin tidak ada masalah dalam pengelolaan dan pengirimannya di luar kota maupun ke luar negeri justru ada penambahan pemesanan dari negara London dan Korea sehingga kami berkoordinasi mengenai pengelolaannya bersama teman-teman yang lain sehingga omzet perusahaan bulan ini melebihi dari target saya," terang Naulida.
"Teman-teman lainnya?" tanya Ibu yang memiliki sawo matang.
"Teman-teman lainnya adalah karyawan lain atau anak buah saya."
"Oh, seperti itu."
"Sekian dari saya, terima kasih."
Naulida duduk, Bapak Harry bertepuk tangan dan diikuti oleh teman-teman dan pejabat lainnya. Ia tersenyum lebar dan menjabat tangan Bapak Harry, Alexander dan Ibu itu.
"Selamat, ya."
"Terima kasih, Pak, Bu."