Chereads / After Bad Destiny / Chapter 8 - Mata Cokelat dan Bibir Merah

Chapter 8 - Mata Cokelat dan Bibir Merah

Teman-teman, Bapak dan Ibu yang memiliki jabatan tinggi darinya menjabat tangan kepada dirinya atas usaha dan kerja kerasnya yang membuat daftar tambahan negara lain percaya dengan perusahaan Bapak Harry Perdana. Ia pun membalas satu per satu jabatannya sambil tersenyum lebar.

Suasana ruang meeting menjadi ramai karena semua orang senang mendengar kabar baik dari Naulida yang berhasil menambahkan daftar negara dalam catatan perusahaan. Ia pun senang disambut dan diberi ucapan dari banyak orang.

Suara bariton membubarkan kesenangan, keceriaan dan kebanggaan atas hasil yang dicapai oleh Naulida sebagai Manajer Pengelolaan. Semua orang yang berada di ruang meeting langsung terdiam dan duduk di posisi masing-masing.

"Ehem, minta perhatiannya sebentar."

Naulida menoleh ke sumber suara yang berada di sebelah kanan dan netranya disuguhkan lelaki yang semalam membantunya sedang berdiri di sebelah papan presentasi. Ia mengernyitkan dahi melihat Alexander berdiri di sana.

"Apa yang Alexander lakukan di sana?" gerutu Naulida dengan pelan.

"Maaf sebelumnya kalau saya memotong kebahagiaan Bapak dan Ibu kali ini atas kerja keras dan keberhasilan Manajer Pengelolaan kita. Manajer Pengelolaan kita sangat cerdas, pintar, pemberani dan pantang menyerah. Selain itu, ia memiliki nama yang cantik sesuai dengan pemiliknya juga cantik. Ia tadi lupa tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu maka dari itu, saya akan memperkenalkannya kepada Bapak dan Ibu sebagai petinggi di perusahaan dan klien kita. Nama Manajer kita adalah Naulida Ambriaksi," jelas Alexander.

Bapak dan Ibu yang memiliki jabatan yang lebih tinggi dan klien perusahannya menjadi ramai dan mengangguk satu sama lain. Ia heran melihat kelakuan mereka ketika Alexander menyebutkan namanya.

"Namanya cantik dan sesuai dengan sikapnya, ya," celetuk Bapak yang memiliki badan besar.

Naulida tersenyum sambil sedikit mengangguk kepada Bapak itu dan semua orang sedang membicarakan di depannya. Ia menghela napas agar tidak berprasangka buruk terhadap banyak orang dan Alexander melanjutkan perkataannya.

"Saya mempunyai ide untuk merayakan keberhasilan karyawan kita selain Naulida dan kerjasama terhadap Bapak dan Ibu."

"Idenya seperti apa, Pak?" tanya Satrio.

"Ide saya adalah berlibur di Lombok selama tiga hari dua malam," jawab Alexander."Bagaimana? Apakah Bapak dan Ibu setuju?" tanya Alexander.

Semua orang yang berada di ruang meeting saling berdiskusi selama beberapa detik dan Naulida hanya berdiam karena ia senang mendengar ide Alexander.

'Berlibur ke Lombok selama tiga hari dua malam? Asik itu,' ucap Naulida dalam hati.

Bapak Harry langsung menyetujui ide Alexander dan semua orang ikut menyetujui idenya. Alexander tersenyum puas dan bahagia karena semua orang menyetujui idenya.

"Yes. Baik, terima kasih, Pak, Bu telah setuju dengan ide saya," ucap Alexander."Liburan ke Lombok diadakan pada hari Jumat sampai Minggu, minggu ini," imbuh Alexander.

"Wah, tidak sabar berlibur," celetuk Martha.

"Sama. Terima kasih, Pak, Bu, Martha."

"Sama-sama."

Alexander kembali duduk di kursinya dengan merapikan jasnya dan melirik Naulida sekilas sambil tersenyum kepadanya. Naulida membalas senyumannya dan Bapak Harry mengakhiri meeting pada pagi hari ini yang tidak terasa sudah memakan waktu selama dua jam untuk membahas kerja sama dan lainnya.

"Baik, meeting hari ini selesai dan terima kasih untuk semuanya. Selamat bekerja kembali," ucap Bapak Harry.

Beberapa orang langsung ke luar dari ruangan meeting. Naulida merapikan berkas-berkasnya dan memasukkannya ke dalam tas beserta tempat penanya. Ia pamit kepada Bapak Harry tanpa melihat Alexander karena ia tidak ingin mengetahui mata sembabnya.

"Saya izin ke ruangan ya, Pak," pamit Naulida.

"Silakan, Nau," ucap Bapak Harry sambil menandatangani dokumen kerja samanya.

Naulida mempercepat langkahnya agar Alexander tidak menemui dan mencegahnya. Ia melihat dua pintu lift tertutup dan menuju ke lantai enam. Sedangkan, ruangannya di lantai tiga sehingga ia memilih turun melalui tangga. Naulida turun tangga dengan cepat.

Naulida masuk ke ruangannya dan duduk sambil membuka laptop. Ia bersandar di kepala kursi selama beberapa menit dengan mendongakkan kepala ke atas dan mata terpejam.

"Ya Allah," ucap Naulida dengan lega.

Naulida merasa lelah karena pikirannya yang tak berhenti memikirkan kelanjutan hidupnya, biaya kuliah adiknya, keperluan bulanannya dan beban hidup lainnya. Selain itu, ia juga merasa sendiri dalam hidupnya tanpa ada orang yang bisa mengerti dirinya. Ia ingin memiliki teman berbicara untuk bertukar pikiran, meluapkan keluh kesahnya dan melampiaskan rasa lelahnya dengan kehidupan.

"Ya Allah, aku lelah dengan semua ini," gerutu Naulida dengan Naulida sembari meletakkan kedua tangan di wajahanya.

Ia menundukkan kepala sambil sedikit menekan wajahnya yang kecil sekilas. Lalu, ia mengalihkan tangan dari wajahnya dan penglihatannya dikejutkan oleh sosok lelaki yang menolongnya semalam.

"Bapak Alexander?" sontak Naulida.

"Kenapa kamu terkejut seperti itu?" tanya Alexander.

"Saya jelas terkejut karena Bapak tiba-tiba di situ dan tidak ada ketuk pintu," jawab Naulida.

"Saya sudah mengetuk pintu tapi, kamu tidak mendengarnya. Jadinya saya langsung masuk dan takut kamu pingsan seperti tadi malam yang hampir pingsan," ucap Alexander.

"Maaf, Pak, saya tidak tahu," kata Naulida.

Naulida mengalihkan pandangannya ke arah laptop dan ia membuka satu berkas untuk dikerjakan sebagai laporan. Sepuluh jemarinya mulai aktif di keyboard tanpa memperhatikan Alexander yang masih berada di ruangannya.

Alexander duduk di kursi yang berada di depan meja kantornya dengan memperhatikan Naulida sedang mengetik laporan. Ia melirik Alexander yang tidak mengalihkan bola matanya ke arah Naulida sehingga ia sedikit menutup laptopnya.

"Ada apa, Pak?"

"Aku masih di sini tapi, kamu malah mengetik laporan."

Naulida menghela napas."Saya kerja dan harus mengerjakan laporan sekaligus membuat surat jalan untuk melakukan pengiriman ke luar kota besok pagi."

"Kamu sengaja membuat itu sekarang agar saya tidak bertanya mengenai mata kamu yang sembab?" tukas Alexander.

Naulida membelalakkan matanya sekilas."Tidak, saya tidak sengaja melakukan itu dan mata saya tidak sembab," sanggah Naulida.

Alexander menghampiri Naulida yang menyanggah tuduhannya dengan membungkukkan setengah badan di depannya dan menatap matanya dengan jarak yang dekat. Jantung Naulida berdetak dengan kencang ketika ia dihampiri oleh CEO yang tampan, tinggi, mata sipit, bibir merahnya dan wangi parfumnya yang berbau segar.

Naulida melirik bola matanya yang berwarna cokelat sedang memandang mata sembabnya. Jarak wajah Naulida dan Alexander sangat dekat.

"Mata kamu sembab begini, bilangnya tidak sembab," ucap Alexander.

Naulida hanya berdiam dengan bola matanya melirik bibir merahnya dan lirikan itu diketahui oleh Alexander. Ia menggoda dengan tatapan sendu dan dingin.

"Kenapa kamu melirik bibir saya? Apakah bibir saya menggoda seperti buah strawberry?" Alexander menggoda Naulida.

Naulida mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berkedip. Ia reflek menelan air ludahnya dengan terpaks. Lalu, ia berdehem.

"Ehem, aku eh salah, maksudnya adalah saya. Saya tidak melirik bibir Bapak. Sa-saya melihat pena saya yang saya cari selama ini telah ketemu," sanggah Naulida sambil mengambil dan menjatuhkan pena di bawah meja kantornya.

Tangan Alexander memegang tangan Naulida yang baru saja menjatuhkan penanya di lantai. Sontak, Naulida membulatkan bola matanya ketika tangannya dipegang oleh atasannya yang tampan dan berhasil membuat jantungnya berdegup dengan kencang.