Ia memejamkan mata dan meletakkan kepala di kursi selama beberapa menit agar rasa tegang di lehernya menghilang. Naulida membuka mata dan memandang langit-langit di ruangannya.
Sesaat, ia memandang ke atas, pikirannya memutar hal yang baru saja terjadi mengenai membersihkan noda kopi di celana atasannya dan ia terlihat tidak fokus karena serangan panik. Naulida pun mengalihkan kepalanya dari kepala kursi dengan menggeleng cepat dan sedikit menekan ujung matanya sekilas.
"Astaghfirullah, tidak tidak tidak, Nau. Kenapa kamu tidak sadar kalau itu adalah bagian sensitifnya, sih, Nau!" umpat Nau dengan mengetuk dahinya berkali-kali.
Naulida mengingat kejadian itu lagi sehingga ia merasa telah melihat hantu dan baru menyadari lokasi hantu ditambah desahannya yang membuat dirinya merinding saat ini.
Pikiran Naulida menjadi campur aduk dan panas seperti sambal yang telah bercampur dan menyatu dalam makanan yang berkuah. Itulah perasaannya saat ini.
"Kamu harus bisa menghilangkan pikiran yang berantakan, Nau agar tidak mengganggu pikiran yang digunakan untuk bekerja," ucap Nau pada diri sendiri.
Ia memejamkan mata sambil menarik dan membuang napas secara berkali-kali dengan jumlah yang tak terbatas sampai pikiran yang kacau pergi dan berganti dengan pikiran yang cerah.
Sepuluh menit, pikirannya kembali normal dan menjadi terang karena banyak cahaya yang menyinari gelapnya dalam benak ketika hal yang buruk menyerang di dalam. Ia pun kembali bekerja dengan mengetik laporan.
Jemarinya mengetik dengan kecepatan normal dan mata yang tajam sambil melirik data yang ada di sampingnya.
Naulida, selain perempuan yang cerdas, berani, baik dan pekerja keras, ia juga memiliki pendirian yang teguh, tegas dan tatapan yang tajam ketika ia tidak setuju dengan perkataan orang lain. Ia tidak suka memberi tahu masalahnya kepada siapa pun karena baginya, itu adalah masalah pribadi, tidak ingin dikasihani oleh siapa pun dan ingin menyelesaikannya dengan caranya.
Suara pintu ruangan diketuk dan ia mempersilakannya masuk tanpa melihat ke arah pintu dan penglihatannya fokus ke data dan laptopnya.
"Silakan masuk," ucap Naulida.
"Permisi, Bu," ucap karyawan yang masuk ke ruangan Naulida.
Naulida mengalihkan pandangannya ke salah satu karyawan yang bernama Andria. Ia masuk sambil membawa dokumen di tangannya.
"Ada apa, Andria?"
"Saya ingin meminta tanda tangan Ibu untuk ACC keberangkatan minyak ke luar kota dan luar negeri pada hari ini."
"Boleh saya lihat dulu dokumennya?" Naulida meminta dokumen yang berada di tangan Andria.
Naulida memberikan satu dokumen kepadanya dan Naulida mengecek dokumen keberangkatan pengiriman dengan seksama dan teliti. Ketika, ia sedang memeriksa dokumennya satu per satu, ia menanyakan kelengkapan bahan dan kondisi kendaraan kepada Andria.
"Apakah minyak yang akan dikirim ke luar kota dan luar negeri sudah dihitung dan dicek kembali?"
"Sudah, Bu. Saya sudah menghitung dan mengecek kembali semua produk kita secara teliti."
"Apakah ada barang yang rusak atau kurang?"
"Tidak ada, Bu."
"Apakah kamu yakin dengan semua itu?" tanya Naulida sembari menatap Andria dengan lamat.
"Ya-yakin, Bu," jawab Andria dengan ragu.
Naulida menghela napas lalu memberikan dokumen kepada Andria dan ia menerimanya tanpa ditandatangani olehnya.
"Apakah Ibu sudah tanda tangan?" tanya Andria dengan pelan.
"Belum. Saya mau memeriksanya terlebih dahulu sebelum tanda tangan dokumen itu," jawab Naulida dengan tegas.
"Baik, Bu."
Naulida beranjak dari ruangannya menuju ke gudang barang yang digunakan untuk mempersiapkan produk yang akan dikirim. Ia disuguhkan pegawai yang sibuk mempersiapkan produk minyak dan terdapat dua buah truk besar yang telah terisi produk dan siap berangkat.
Naulida menghampiri pengemudi truk untuk menanyakan jumlah dan orang yang bertanggung jawab atas perhitungan produk.
Suasana gudang sangat ramai dengan suara mesin dan orang sedang bekerja bagian bungkus. Suara mesin truk dan mobil pick up yang kasar sehingga ia berbicara kepada pengemudi dengan nada sedikit tinggi.
"Pak."
"Iya, Bu Naulida."
"Pak, apakah semuanya telah dihitung dengan baik, jumlahnya sesuai tidak, ada yang rusak atau ada yang kurang?" tanya Naulida dengan nada sedikit tinggi dan intonasi penekanan.
"Sudah, Bu."
"Siapa orangnya, Pak?" tanya Naulida.
"Bapak Alexander yang menghitungnya karena beliau bilang kalau Ibu sedang sakit dan membutuhkan waktu istirahat."
"Bapak Alexander bilang seperti itu?" tanya Naulida dengan mengernyitkan dahi.
"Iya, Bapak Alexander bilang seperti itu. Maka dari itu, saya disuruh kembali ke sini ketika hendak memasuki ruangan Ibu dan Bapak Alexander ke luar dari ruangan Ibu. Lalu, Bapak Alexander menghampiri kami dan menghitung jumlah produk dan mengkoordinasi pengelolaan minyak," terang pengemudi truk."Selain itu, Bapak Alexander juga membelikan makanan dan minuman untuk kita semua yang ada di sini. Makanan dan minuman itu untuk makan siang. Beliau membeli dengan jumlah yang sangat banyak," imbuh pengemudi truk.
"Padahal Bapak Alexander tidak pernah begitu dengan siapa pun dan hari ini beliau terlihat senang," bisik salah satu karyawan dengan menyindir Alexander.
Naulida menggerakkan bola matanya ke arah meja kayu panjang berwarna cokelat. Sontak, ia membelalakkan matanya melihat makanan dan minuman yang sangat banyak untuk karyawannya. Ia terkejut dengan perbuatan Alexander yang tak pernah ia lakukan kepada siapa pun karena terkenal jutek dan cuek terhadap karyawannya.
Naulida sedikit membuka mulutnya sembari memandangi makanan dan minuman yang banyak. Ia tersenyum lebar melihat sisi baik dari CEO yang tampan dan sedikit merinding.
"Syukurlah kalau Bapak Alexander masih memiliki sisi baik terhadap karyawannya, Pak," ucap Naulida.
"Apa yang Ibu lakukan kepada Bapak Alexander?" tanya pengemudi truk.
Naulida mengernyitkan dahi sambil menggeleng pelan."Tidak ada yang saya lakukan, Pak," jawab Naulida.
"Seperti itu. Bagaimana kondisi Ibu saat ini?" tanya pengemudi truk.
Naulida tersenyum."Alhamdulillah sedikit baikan, Pak," jawab Naulida."Bapak dan teman-teman yang lain jangan lupa makan siang dulu karena lima menit lagi akan istirahat makan siang," imbuh Naulida.
"Baik, Bu."
"Saya kembali ke ruangan saya dulu, ya," pamit Naulida.
Naulida hendak kembali ke ruangannya, Andria mencegah di depannya sambil menyerahkan dokumen kepadanya. Ia tersenyum lalu, menandatangani dokumen pengiriman produk.
"Terima kasih, Bu."
"Sama-sama."
"Selamat istirahat makan siang, Bu Naulida."
"Iya, Pak, Bu." Naulida merespons teman-temannya dengan mengangguk pelan dan tersenyum lebar.
Naulida melangkah ke ruangannya dengan menundukkan kepala sekilas sambil merapikan pakaiannya. Ia pun disapa oleh karyawan lain dan membalasnya dengan ramah.
"Siang, Bu."
"Siang juga, Bu, Pak."
Naulida menuju ruangannya dan berpas-pasan dengan Satrio. Ia pun mengalihkan pandangannya dan terus melanjutkan langkahnya.
Naulida sengaja melakukan itu karena ia masih sakit dengan perlakuan teman dekatnya yang membuatnya trauma. Hubungan pertemanannya menjadi jauh dan rusak karena satu perbuatan yang buruk yang dilakukan oleh Satrio.
Naulida memasuki ruangannya dan hendak menutup pintunya, tetapi pintu ditahan oleh tangan. Pintu pun terbuka dan sosok yang menahan pintu adalah Alexander.
"Bapak Alexander?"
"Kamu tidak makan siang?"
"Tidak, saya ingin istirahat di ruangan," tolak Naulida dengan pelan.
"Apakah kamu mau makan siang dengan saya?" Alexander menawarkan diri kepada Naulida untuk makan siang.