"Ahhh aahh sshh."
"Aaah sshh."
Naulida dan Alexander berdesis karena pentol mercon yang sangat pedas. Pentol berukuran besar dan berisi sambal dan cabai utuh.
Alexander menginjak gas mobilnya dengan kecepatan normal dan ia memutar pendingin mobil dengan suhu yang paling dingin agar keringat mereka dan wajah yang memerah hilang.
"Baksonya memang enak tapi pentol mercon yang berukuran besar dan mungkin ukurannya seperti bola mainan yang berbahan karet itu pedas sekali padahal enak."
"Pilihan makananku memang tidak salah dan itu sudah diakui oleh aku sendiri bahkan bakso mercon itu terkenal dan Bapak baru tahu."
"Saya tidak baru tahu," kilah Alexander.
"Sungguh?" tanya Naulida.
"Iya."
"Kalau Bapak sudah lama tahu seharusnya tahu tempat ini dan tidak seperti tadi."
"Seperti tadi? Maksudnya?"
Alexander bingung dengan perkataan Naulida. Ia mengernyitkan dahi sambil meliriknya sekilas. Naulida menatap Alexander yang bingung.
"Maksud saya adalah Bapak kalau sudah tahu tentang bakso mercon, Bapak tidak akan membersihkan meja dengan raut wajah yang meringis seperti jijik dan anti makan di pinggir jalan," terang Naulida.
"Bukan jijik tapi, aku tidak terbiasa," sanggah Alexander.
"Bukan tidak terbiasa tapi, belum terbiasa, Alex," ucap Naulida yang mengukir garisan panjang di bibirnya.
Alexander memandangi Naulida selama tiga detik sambil tersenyum dan mengelus kepalanya sekilas. Naulida reflek menegakkan badannya bak tersengat aliran cinta tanpa berkedip.
Naulida mematung selama perjalanan dengan jantung berdegup kencang karena tangan Alexander menyambar kepalanya dengan lembut sehingga ia membisu sampai di parkiran mobil. Alexander menggerakkan lengannya secara pelan dan Naulida menggeleng sekilas dan berkedip.
"Naulida!" pekik Alexander.
"Astaga, iya, Pak?" sahut Naulida.
"Kenapa kamu diam saja?" tanya Alexander.
"Tidak, Pak. Saya hanya syok saja," jawab Naulida sambil melepas sabuk pengaman.
Alexander dan Naulida ke luar dari mobil. Mereka jalan sejajar dengan langkah kaki yang sama. Alexander dan Naulida mengusap keningnya yang sudah tidak berkeringat. Alexander pun teringat dengan pembicaraan mereka belum selesai di mobil.
"Kenapa kamu syok?" tanya Alexander.
"Seorang CEO mengelus kepala karyawannya," sindir Naulida sembari terkekeh pelan dan menutupi mulutnya.
Naulida sedikit mempercepat langkahnya di depan Alexander agar karyawan yang lain tidak memberikan komentar aneh terhadap dirinya dan atasannya.
Ia dan Alexander memasuki kantor secara bergantian dan semua karyawan lantai satu menoleh kepada mereka dan memberikan sapaan kepada mereka.
"Selamat siang, Bu, Pak."
"Siang," jawab Naulida dan Alexander secara bersamaan.
Setelah mendengar sapaan dari karyawan lain, ia mendengar sekilas tentang harapan kepada dirinya dan Alexander untuk bersatu, menikah dan bahagia selamanya. Naulida tidak mendengar itu saja, ia mendengar perbedaan antara ia dan Alexander.
"Wah, mereka cocok, ya."
"Aku berharap Bapak Alexander menikahi Bu Naulida."
"Semoga mereka berjodoh, ya."
"Kalau mereka beneran menikah, pasti kalian panas."
"Tidak. Kami tidak panas karena mereka adalah orang yang memiliki kecerdasan yang sama tapi, kepribadiannya berbeda."
"Iya, benar. Ibu Naulida itu cerewet, teliti, pintar, baik dan berani. Sedangkan, Bapak Alexander itu jutek, cuek, pemarah."
Ketika salah satu karyawan menyebutkan perbedaan Alexander dan Naulida, Alexander membentak karyawan dan ia menoleh ke belakang. Karyawan yang ia marahi adalah perempuan.
"Apa yang kamu katakan?!" bentak Alexander.
"Maaf, Pak, tidak ada," jawab karyawan perempuan itu dengan menundukkan kepala.
Semua karyawan menoleh ke arah mereka. Suasana kantor di lantai pertama menjadi hening karena seorang CEO membentak karyawan perempuan yang membandingkan dirinya dengan Naulida.
Naulida merayapkan bola mata ke segala arah. Raut wajah teman-temannya menjadi tegang dan takut karena Alexander marah besar terhadap salah satu karyawan. Ia menghampiri Alexander dan mencoba untuk mencairkan suasana dan meredakan amarah Alexander.
"Teman-teman bisa kembali kerja dan tidak ada yang ditonton," ucap Naulida kepada teman-temannya.
Semua karyawan lantai satu berbalik badan dan kembali bekerja. Naulida berada di antara mereka dengan menoleh ke temannya dan Alexander menatap karyawan dengan tajam. Ia memajukan kepala di telinga Alexander.
"Apakah seorang CEO memarahi karyawannya dengan cara seperti ini hanya masalah sepele? Saya minta maaf tidak ada bermaksud untuk ikut campur tapi, saya tidak ingin atasan kesayangan saya marah hanya masalah sepele dan selain itu, tunjukkan kepada mereka untuk dihargai bukan ditakuti, Pak. Apakah Bapak tidak ingin dihargai oleh karyawan sendiri? Jika, Bapak ingin dihargai oleh karyawan atau orang lain, Bapak belajar menghargai diri sendiri dan orang lain. Saya ingin Bapak memimpin perusahaan dengan baik, bijak dan dihargai oleh karyawan sendiri bukan ditakuti. Saya menyayangi, peduli dengan Bapak," bisik Naulida dengan lembut.
Naulida memundurkan kepala dan menatap Alexander. Tatapan Alexander berubah menjadi normal. Ia menghela napas lalu mengusap seluruh wajahnya. Naulida menyingkir dari antara mereka.
Naulida memperhatikan Alexander dan karyawan perempuan. Atasannya menjulurkan tangan kepada karyawan perempuan yang ia marahi. Karyawan perempuan mendongakkan kepala sambil menatap atasannya dan menoleh ke arah Naulida hanya dua detik.
Alexander menggerakkan tangannya sekilas ke arah karyawan perempuan. Lalu, karyawan perempuan itu menjabat tangan seorang CEO yang terlebih dahulu mengulurkan tangannya.
"Saya minta maaf sudah memarahi kamu di depan banyak orang," ucap Alexander.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya juga minta maaf sudah membandingkan Bapak dengan Ibu Naulida," ucap karyawan perempuan.
"Tidak apa-apa," ucap Alexander sambil tersenyum lebar.
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama. Kamu lanjut bekerjanya dan berterima kasih kepada Ibu Naulida karena Ibu Manajer, saya bisa memaafkanmu," ucap Alexander.
Karyawan perempuan melepaskan jabatannya lalu, ia sedikit membungkukkan badan kepada Naulida dan Naulida membalasnya.
Alexander dan Naulida melangkah ke lift dan masuk ke lift secara bersamaan. Naulida menekan tombol tiga dan empat. Lantai tiga adalah lantai menuju ruangannya dan lantai empat adalah lantai menuju ruangan Alexander.
"Terima kasih," ucap Alexander.
"Terima kasih untuk apa?" tanya Naulida.
"Teirma kasih sudah membuka pikiranku dan menurunkan egoku," jawab Alexander.
"Itu bukan karena aku tapi, kamu sendiri yang mau membuka pikiran dan menurunkan ego kamu," ucap Naulida.
Alexander mendekati Naulida dengan merentangkan kedua tangannya. Ia langsung menghindarinya sambil menyingkirkan tangan yang hendak memeluk Naulida.
"Maaf, aku tidak ingin membuat banyak orang salah paham nantinya," ucap Naulida.
Alexander tersenyum lebar melihat seorang perempuan yang menolak pelukannya. Pintu lift terbuka dan Naulida langsung ke luar dari lift sambil melambaikan tangan kepadanya.
"Selamat bekerja kembali, Pak," teriak Naulida.
"Kamu juga."
Naulida masuk ruangannya dan duduk di kursi kantor untuk mengerjakan laporan harian. Ketika, ia mengerjakan laporan, ia teringat dengan ekspresi atasannya di kedai bakso pinggir jalan dan kepedasan.
Seorang CEO hanya tahu makan makanan di restoran mewah dan ketika diajak makan di pinggir jalan langsung ingin tempatnya higienis.