Naulida tertidur pulas sampai ia mengernyitkan dahi seperti bermimpi buruk dan ia menggerakkan badannya ke kanan dan kiri sambil menggerakkan kakinya ke depan. Ia sedikit membuka mulutnya.
"Jangan, jangan, arggh!"
Alexander membangunkannya dengan menggoyangkan badannya dan memanggilnya berkali-kali.
"Naulida Naulida Naulida!"
Naulida membuka matanya dengan lebar dan mengeluarkan banyak keringat, ia reflek memeluk Alexander dengan erat sambil mencengkeram bajunya.
Raut wajahnya pucat bak orang ketakutan yang dikejar oleh hantu atau melihat hantu dan hendak dibunuh. Alexander memeluk dan mengelus punggungnya berkali-kali. Semua pasang mata menoleh ke arahnya dan Andria menatap dirinya dengan mengernyitkan dahi.
Telinganya mendengar bisikan teman-teman dan penumpang lain yang menghina dan mengeluarkan kata yang tidak pantas.
"Kenapa, ya, dengan Bu Naulida?" tanya teman lainnya.
"Wajahnya sampai pucat seperti itu dan ia terlihat ketakutan," sahut Andria.
"Apakah perempuan itu tidak bisa menahan suaranya ketika bermimpi? Atau baru pertama kali naik pesawat?" geram penumpang lain.
"Dasar perempuan yang tidak pantas naik pesawat!" umpat penumpang lain.
Alexander memeluknya erat dan masih mengelus punggungnya."Perkataan mereka jangan didengar, ya, Nau, mereka hanya iri sama kamu," ucap Alexander.
Naulida merespons perkataan Alexander dengan mengangguk pelan. Anggukan itu menandakan bahwa ia mengerti maksud dari perkataan Alexander.
Pramugari mendatangi Alexander untuk menawarkan makanan dan minuman. Alexander berpesan kepada pramugari untuk membeli minuman air mineral ukuran enam ratus mili liter sebanyak dua buah. Lalu, pramugari memberikannya dan ia memberinya uang untuk membayar minuman.
"Terima kasih, Mbak."
"Sama-sama, Pak."
Alexander membuka botol minuman untuk Naulida. Ia berbisik ke telinganya untuk minum terlebih dahulu agar tidak tegang.
"Minum dulu, Nau."
Naulida melepas pelukannya dan mengambil botol minuman untuk minum. Ia menghabiskan setengahnya dari botol minuman berukuran enam ratus mili liter.
"Terima kasih, Pak," ucap Naulida sambil menutup botolnya.
"Sama-sama, Nau."
Raut wajah Naulida masih sedikit terlihat pucat dengan keringat yang bercucuran di pelipisnya. Alexander memperhatikannya dengan menatapnya lamat. Ia melirknya sambil mengusap bibirnya.
"Apakah kamu mimpi buruk, Nau?" tanya Alexander.
Naulida menggeleng cepat untuk menolak menjawab pertanyaan dari Alexander, seorang CEO. Alexander tersenyum ketika seorang karyawannya menolak menjawabnya.
"Tidak apa-apa kalau mau belum mau menjawab pertanyaan dariku," ucap Alexander.
Naulida melirik Alexander dan tersenyum tipis. Lalu, ia mengalihkan pandangan ke arah jendela dan netranya disuguhkan pemandangan yang sangat indah dari balik jendela pesawat.
Penglihatannya melihat gumpalan awan, langit biru sedikit tua yang bersih tanpa ada garisan awan dan ia terpaku pada ciptaan Allah yang sangat indah dan belum pernah melihat pemandangan dari atas awan dan di dalam pesawat.
"Beautiful," ucap Naulida dengan pelan.
Rasa sedih, khawatir dan takut dari mimpi buruknya terhapus secara perlahan karena keindahan alam dari atas awan. Alexander memperhatikan Naulida dari belakang sambil tersenyum ketika melihat Naulida yang sudah tidak sedih lagi.
Naulida sengaja mengalihkan kesedihannya dengan melihat pemandangan di atas awan dan tidak ingin orang lain ikut sedih karena masalahnya apalagi, ia harus mengubah rasa sedih menjadi normal kembali untuk dirinya dan orang lain karena ia tidak ingin dikasihani, dihina dan dicaci maki oleh siapa pun.
Alexander sampai penasaran dengannya karena Naulida adalah seorang perempuan pertama yang berani dengannya, menolak ajakannya, mengalihkan rasa tegang yang berujung kenikmatan menjadi normal kembali, pemikiran yang dewasa dan cerewet.
"Nau, are you, okay?"
Naulida menoleh ke arahnya."Yes, I am," jawab Naulida sembari menorekan senyuman panjang di bibirnya yang memiliki tahi lalat di ujung bibir.
Alexander ikut tersenyum melihat Naulida tersenyum dan kembali seperti biasa. Naulida menikmati perjalanannya meskipun ia tidak mempunyai teman dekat dan hanya Alexander yang dekat dengannya.
Posisi pesawat sedikit menurun dan suara peringatan dalam pesawat terdengar keras untuk memberi tahukan bahwa pesawat akan mendarat.
"Perhatian, pesawat akan tiba di lokasi dan seluruh penumpang diharapkan berpegangan dan berdoa agar pesawat mendarat dengan baik," ucap pilot.
Naulida bersandar di kepala kursi pesawat sambil mengepalkan tangannya dan memejamkan mata karena posisi pesawat semakin menurun. Ia hanya bisa mengucapkan kalimat permohonan kepada Sang Pencipta.
"Ya Allah, selamatkan kami dan mudahkanlah pilot untuk mendaratkan pesawatnya dengan baik," ucap Naulida sebanyak mungkin.
Ia memejamkan mata terus sampai badan pesawat kembali normal. Beberapa menit kemudian, badan pesawat sejajar dan pilot berhasil mendaratkan pesawatnya dengan baik.
"Pesawat telah mendarat dengan baik dan semua penumpang harap tenang dan turun secara bergantian," ucap pilot.
Naulida membuka mata dan tangannya. Ia takut sekali dengan kondisi badan pesawar seperti itu. Ia pertama kali naik pesawat dan tegang. Lalu, ia melepas sabuk pengamannya dan mengambil koper dan tas plastik di bagasi.
Naulida langsung turun dari pesawat dan diikuti oleh Alexander di belakangnya. Sebelum turun, ia menurunkan koper dan tas plastik dari atas melalui seluncuruan karet dan ia turun menggunakan seluncuran karet dengan kedua tangan disilangkan di depan dada.
Ia mengambil koper dan tas plastik lalu, menghampiri teman-temannya yang menunggu di dekat pesawat dan baru saja berkumpul dengan temannya, ia mendapat banyak pertanyaan.
"Kenapa kamu tadi, Nau?" tanya Andria.
"Apakah kamu mimpi dikejar hantu yang melayang?" tanya Eko.
"Atau kamu dikejar oleh manusia yang ingin menyentuhmu?" tanya salah satu teman lainnya.
Naulida terkejut mendengar salah satu temannya yang menebak mimpinya sampai semua pasang mata menoleh ke arahnya sambil mengernyitkan dahi. Ia hanya merespons tebakan teman-temannya dengan senyuman dan terus melangkah ke luar bandara.
"Tuh, kan, Bu Naulida tidak menjawab dan hanya disenyumin tebakan kalian," celetuk Andria.
"Tidak apa-apa karena bagiku, senyuman beliau itu sudah cukup untuk menjawab dari pertanyaan kita dan itu menandakan bahwa ia baik-baik saja," sahut Eko.
"Bu Naulida itu tidak ingin membuat kalian kepikiran karena masalahnya dan ingin menikmati liburannya," ucap salah satu temannya.
"Sudah. Aku tidak apa-apa dan kalian tenang saja," ucap Naulida.
"Kalau kamu butuh teman cerita, cerita ke kita saja tidak apa-apa, Nau," ucap Andria.
"Iya."
Naulida, teman-teman, pejabat kantor dan klien telah ke luar dari bandara. Bola mata merayap ke arah Bapak-bapak, Ibu-ibu dan Kakak sedang berdiri sambil membawa banner yang bertuliskan welcome to Sumba. Ia mengambil handphone untuk mengambil foto dan video teman-temannya yang berfoto dengan penduduk Sumba.
Naulida tertawa melihat kelakuan teman-temannya yang ada-ada saja dan banyak berpose. Ia asik mengambil foto dan video.
Naulida dan semuanya masuk ke bus secara bergantian. Ia masih merekam video dan mengarahkan kamera handphonenya ke teman-temannya.
"Hai, Ibu Manajer."
"Hai, Naulida Ambriaksi."
"Hai, Nau. Lihat, nih, teman kita baru saja duduk langsung nelor."
"Apaan tuh nelor?" tanya Eko.
"Nempel molor," jawab Andria.
Suasana bus yang sepi membuat semua penumpang tertawa karena jawaban Andria dan menoleh ke arahnya.
"Hahahaha."
Naulida duduk di tengah badan bus dan dekat jendela. Ia mematikan rekamannya dan mengambil foto bandara. Setelah mengambil foto, bus pun berangkat dan kursi sebelah Naulida diisi oleh Alexander.