Naulida memeluk badannya sendiri sambil mengelus lengannya. Ia menghela napas dengan berat dan merayapkan bola mata ke segala arah. Tangan satunya turun air dan memainkan airnya secara perlahan.
Naulida memperhatikan bayangannya yang nampak di air. Ia berkedip dan menopang dagunya dengan tangan. Jemari telunjuknya bergerak berputar di air sampai membentuk tornado.
Alexander berdiri di belakangnya dengan kedua tangan di kantong celana dan menghirup udara segar di pinggir laut. Naulida menggerakan bola matanya ke kanan untuk meliriknya yang berdiri di pinggir laut.
"Nau, aku ingin bertanya sama kamu."
"Apa yang ingin ditanyakan oleh Bapak?"
"Apakah kamu malu ketika memakai pakaian mini, seperti itu?"
"Iya, saya malu dan tidak terbiasa dilihat oleh orang lain ketika saya mengenakan pakaian mini dan saya lebih nyaman memakai pakaian panjang, jika bertemu dengan banyak orang atau ke luar rumah," jawab Naulida.
"Apakah ada alasan lagi selain itu?"
"Selain alasan itu, saya ingin menjaga diri dari laki-laki karena kebanyakan laki-laki itu mata telanjang dan mencintai wanita hanya berdasarkan kecantikan, postur badan dan dada. Bahkan, saya tidak percaya dengan yang namanya cinta tulus karena zaman sekarang susah mempercayai siapa pun meskipun itu sudah sangat dekat dan menjadi teman dekat," jawab Naulida.
"Kenapa kamu tidak mempercayai adanya cinta yang tulus?"
"Karena saya pengalaman meskipun belum pernah merasakan secara pribadi."
"Apakah itu kamu yakin dengan hubungan mereka yang kamu lihat?"
"Iya, yakin dan itu benar adanya."
"Lalu, bagaimana dengan kamu, jika ada lelaki yang menyukaimu dengan tulus dan ingin selalu ada di sisi kamu dan hadir dalam kehidupanmu?"
Naulida menghentikan jemari telunjuk yang memutar air dengan pelan. Ia menoleh ke belakang sekilas lalu, mengalihkan ke lautan sembari memandangi lautan Sumba yang sangat luas, tenang dan sejuk.
"Jika, ada lelaki yang menyukai saya dengan tulus dan selalu ada untuk saya, tentu saya senang karena lelaki seperti itu jarang ada. Tapi, sebelum menerimanya, saya ingin melihat sikap, sifat, pemikiran dan lisannya terlebih dahulu karena itu penting untuk saya," jelas Naulida.
Alexander menghampirinya dan duduk di sampingnya sembari menatap Naulida dari samping. Pandangannya masih ke arah lautan.
"Kenapa kamu melihat empat hal itu dan sangat penting untuk kamu?"
"Karena itu adalah kunci keseriusan lelaki ketika ia mencintai seorang perempuan dengan tulus," jawab Naulida.
"Apakah kamu bisa menjamin dengan empat hal itu bahwa lelaki itu tulus sama kamu?" tanya Alexander.
Naulida mengalihkan pandangannya ke Alexander dan menatapnya dengan lamat. Ia menghela napas lalu menundukkan kepala sekilas dan kembali menatapnya.
"Iya, saya bisa menjaminnya selama saya dengan lelaki itu dekat dan menjalani dengan kejujuran. Jika, lelaki itu atau saya tidak bersikap jujur maka, hubungan itu berakhir dan empat hal itu akan sia-sia karena nanti akan terlihat dan terbukti bahwa lelaki itu tulus mencintai seorang perempuan atau tidak," jawab Naulida.
"Saya kagum dengan semua jawaban kamu, Nau dan saya pertama kali melihat dan mengetahui jawaban dari seorang perempuan yang tidak kenal lelah dalam bekerja," puji Alexander.
"Terima kasih, Pak."
"Bagaimana caranya kamu memiliki pemikiran seperti itu?"
Naulida tersenyum."Tidak ada cara khusus untuk berpikir dewasa," jawab Naulida yang tersenyum lebar sambil menatap Alexander.
Alexander melihat senyumannya sangat dekat. Ia pun tersenyum lalu tertawa pelan karena jawabannya. Alexander mengalihkan pandangannya ke arah lautan dan memandangi keindahan lautnya.
Naulida mengambil air dengan kedua tangannya lalu, ia melempar air ke Alexander dan Alexander langsung mengatupkan bibirnya sambil pandangan lurus ke depan. Naulida mengangkat kedua pundaknya ketika melihat atasannya diam. Ia takut atasannya marah karena dilempar air dari tangannya.
Alexander mengambil air menggunakan satu tangan dan mengarahkan ke Naulida. Sontak, Naulida terkejut dengan sikap seorang CEO yang justru membalas menyiprati karyawannya dengan air. Naulida membalasnya lagi berkali-kali sehingga mereka berperang menggunakan air dan tertawa lepas bersama.
"Hahaha."
Suara pintu diketuk dan Naulida sedikit menoleh ke belakang untuk memeriksa pintunya dan pintu kamarnya tertutup dengan rapat sehingga ia menghentikan kejahilannya dan beranjak menuju pintu kamar.
Naulida membuka pintu kamar dan terdapat pelayan resort mengantarkan beberapa makanan dan minuman untuk sarapan.
"Selamat pagi, Bu, saya mengantarkan sarapan untuk Ibu dan Bapak Alexander," ucap pelayan resort.
"Apakah Mas mengetahui kalau Bapak Alexander berada di kamar saya?" tanya Naulida.
"Iya, saya mengetahui Bu karena Bapak Alexander yang meminta sarapan diantarkan ke kamar Ibu," jawab pelayan itu.
Naulida menoleh ke belakang dan Alexander masih duduk di tangga dengan memeluk diri sendiri dan membasuh wajahnya dengan air laut.
"Baik, Mas. Terima kasih."
"Sama-sama."'
Naulida mengambil nampan yang berisi beberapa makanan dan minuman untuk sarapan. Ia membawanya ke halaman dan beralaskan kayu yang dekat dengan pantai. Ia meletakkan nampan itu di dekat Alexander dan Alexander menoleh ke belakang.
"Sarapannya sudah datang?"
"Sudah dan kamu yang bilang kalau ingin sarapan di kamarku," jawab Naulida.
"Iya memang, aku sengaja sarapan bareng kamu dan buktinya kamu menerima ajakan sarapanku."
"Iya, aku menerimanya karena kasihan dengan pelayan tadi," ungkap Naulida.
"Astaga, kamu kalau bicara jujur sekali, ya."
"Memang. Ayo, sarapan!" ajak Naulida.
Naulida duduk bersila di pinggir laut dan Alexander juga duduk bersila di seberangnya. Ia dan Alexander sarapan bersama dan ditemani tiupan angin laut yang sejuk dan segar melengkapi suasana sarapan yang sepi hanya terdengar suara angin sepoi-sepoi.
"Bapak tahu tempat ini dari mana?" tanya Naulida.
"Aku tahu tempat ini dari temanku yang memiliki resort ini. Sebelumnya, Jonathan pernah membagikan foto resort-nya di sosial media. Nah dari situ, aku memiliki ide membawa karyawan berprestasi ke tempat ini beserta bawahannya," jawab Alexander.
"Jadi, seperti itu. Nama teman Bapak bagus, Jonathan Clasio. Nama yang unik," ucap Naulida.
"Kenapa kamu memujinya? Apakah kamu naksir temanku?" tuduh Alexander.
"Enak saja main menuduh sembarangan, saya tidak naksir hanya saja terdengar unik mendengar namanya," sanggah Naulida.
"Sungguh?" Alexander sedikit tidak mempercayainya karena ia tiba-tiba memuji Jonathan padahal sedang tidak membahas sosok laki-laki itu.
"Iya, Bapak Alexander," jawab Naulida dengan intonasi penekanan sambil mengunyah makanan.
"Oke. Saya kira kamu beneran naksir Jonathan."
Naulida tersenyum. Ia hanya merespons perkataan Alexander dengan senyuman dan itu membuat Alexander lega dan ikut tersenyum.
Naulida dan Alexander melanjutkan makannya sampai habis. Mereka menghabiskan makanan dan minuman selama lima belas menit. Naulida berdiri lalu mengambil nampan yang berisi piring dan gelas yang kotor. Ia meletakkan itu semua di depan kamarnya agar pelayan bisa mengambilnya.
Alexander menghampirinya dan ia berpamitan dengannya untuk mandi dan memberi tahu acara yang akan dilakukan olehnya, Naulida dan teman-teman lainnya.
"Nau, terima kasih sudah mengizinkan saya sarapan bersama kamu," ucap Alexander."Saya kembali ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap ke suatu tempat," imbuh Alexander.
"Ke suatu tempat? Apakah itu semuanya akan ikut, Pak?" tanya Naulida.
"Iya, semuanya harus ikut karena ini untuk menyegarkan pikiran," jawab Alexander.
"Ke mana kita akan pergi?" tanya Naulida yang penasaran.
"Nanti kamu juga tahu," jawab Alexander.
Setelah menjawab pertanyaan Naulida, Alexander pergi meninggalkannya menuju kamarnya dan Naulida masuk kamar sembari mengernyitkan dahi.