Chereads / After Bad Destiny / Chapter 25 - Permintaan Maaf dan Bijak

Chapter 25 - Permintaan Maaf dan Bijak

Naulida membuka mata dengan pelan yang disuguhkan langit-langit berwarna putih, lampu persegi berwarna putih. Ia menggerakkan bola mata ke arah kiri sambil mengusap matanya dan netranya melihat kolam renang dan laut seperti gaya resort disinggahi.

Naulida mengernyitkan dahi lalu, ia melihat dari balik selimut dan pakaiannya masih lengkap menutupi tubuhnya lalu, ia menghela napas dan merebahkan badan di kasur. Namun, ia masih bingung dengan keberadaannya saat ini dan bertanya dalam hati waktu ia tiba dan siapa yang menggendongnya ke kamar.

'Kapan aku tiba di sini? Siapa yang menggendongku ke sini, ya?'

Naulida memandangi kasur dan berkedip. Hitungan menit, pikirannya memutar posisi terakhir berada di dalam bus dan menghadap ke jalanan ketika, Alexander duduk di sebelah kursi. Ia menjetikkan tangan dan menyandarkan kepala di kepala kasur.

"Iya, benar, posisi terakhirku di dalam bus habis menangis dan tidur di dalam bus ketika, Alexander duduk. Jangan-jangan, ia yang menggendongku ke kamar." Naulida menerka-nerka seseorang yang menggendongnya ke kamar.

Naulida menggeleng cepat untuk menolak hasil bayangannya sambil memejamkan mata sekilas. Ia menepuk dahinya berulang kali.

"Astaga, Nau, kenapa kamu menjurus ke sana, sih, pikirannya? Bukannya kamu sedang kesal sama Alexander? Please, Nau, kamu jangan mengingatnya lagi," gerutu Naulida.

Suara nada dering panggilan masuk membuyarkan pikiran dan gerutunya sehingga ia mengambil dan layar handphone terdapat nama Alexander. Naulida mengangkat panggilan masuk darinya.

"Halo, Nau."

"Halo, Pak."

"Makan malam kamu sudah diantarkan dan diletakkan di meja depan kamar kamu."

"Iya, Pak. Terima kasih."

"Buruan diambil nanti diambil kucing duluan, loh."

"Iya, nanti aku ambil. Aku sedang ingin rebahan di kasur dan suasana malam di sini enak apalagi kalau aku di pinggir laut. Bapak jangan khawatirkan aku dan pasti aku makan."

"Buruan diambil kalau kamu ingin di pinggir laut!" seru Alexander.

"Hadeh, iya, ini aku ambil. Aku matikan teleponnya."

Panggilan terputus dan Naulida bangkit dari kasur menuju pintu untuk mengambil makan malam. Ia membuka pintu, sontak Naulida terkejut dengan keberadaan Alexander di depan pintu. Alexander tersenyum kepadanya.

"Kamu?"

"Iya, aku di sini dan makan malam kamu belum diantarkan."

Naulida menoleh ke arah meja di depan kamar."Jadi, Bapak ... berbohong?"

"Saya tidak ada maksud untuk membohongimu, saya ke sini ada maksud."

"Sekarang jam berapa?" tanya Naulida yang ingin mengakhiri pembicaraan dan pertemuannya dengan Alexander.

"Jam tujuh malam sekarang dan semuanya sudah di depan meja makan untuk makan malam. Sebelum, saya menghampiri mereka, saya ingin menyampaikan maksud datang ke kamar kamu."

"Hmm ... apa yang ingin disampaikan, Pak?"

"Saya mau minta maaf atas sikap saya tadi siang."

"Tidak apa-apa, Pak. Saya juga minta maaf kalau mudah tersinggung dan dimasukkan ke hati."

Naulida dan Alexander saling mengutarakan permintaan maaf, tetapi terjadi adu mulut tak penting karena mereka tidak saling mengalah sehingga Bapak Harry menghampiri suara gaduh di lorong menuju kamar Naulida.

"Tidak, saya yang salah."

"Tidak, Pak. Saya yang salah karena mudah tersinggung."

"Tidak, kamu tidak salah."

"Tidak, Pak. Saya juga salah."

"Tidak, saya yang memulai dan membuat kamu menangis."

"Tidak, Pak. Saya salah karena sudah berbicara dengan nada tinggi kepada atasan saya di depan orang banyak."

"Tidak, apa-apa. Kamu tidak salah."

"Tidak, saya yang sa—"

Ucapan naulida terpotong karena kehadiran Bapak Harry yang berbicara dengan sedikit tinggi dan menatapnya dan Alexander. Ia dan Alexander terkejut mendengar suaranya dan menundukkan kepala karena ayah Alexander datang tiba-tiba.

"Saya yang salah," potong Bapak Harry dengan nada sedikit tinggi dan intonasi penekanan.

"Bapak, Papa." Naulida dan Alexander reflek menoleh ke arah Bapak Harry.

"Iya, saya tahu keberadaan kalian karena mendengar suara perempuan dan laki-laki sedang ribut dan tidak ada yang mau mengalah," sindir Bapak Harry.

"Maaf, Pak."

"Tidak apa-apa, Naulida. Kamu tidak salah, anak saya yang salah."

Sontak Naulida, mengalihkan pandangan ke Bapak Harry. Ia bingung dengan perkataan pemilik perusahaan itu. Naulida melirik Alexander dan sedikit mengernyitkan dahi. Alexander membelalakkan matanya karena ia terkejut juga.

"Kenapa Bapak berbicara seperti itu?"

"Karena anak saya membuatmu menangis dan kamu wajar membentak Alexander seperti itu. Anak saya terlalu memaksakan keinginannya untuk memiliki kamu dan itu adalah cara yang salah sampai ia membahas orang lain dalam perbincangan kalian di gunung tadi. Itu adalah sikap yang salah. Saya menyalahkan Alexander karena sikapnya salah meskipun, ia adalah anak saya." Bapak Harry menjelaskan jawaban dari alasan menyalahkan anaknya.

Alexander menundukkan kepala dan menghela napas karena bapaknya berlaku adil, bijaksana dan dewasa. Naulida pun diam beribu bahasa sekaligus air mata yang hendak mengalir di pipi ketika Bapak Harry berbicara dengan lembut walaupun, ia menyalahkan anaknya.

Naulida menghela napas lalu, ia tersenyum."Terima kasih, Pak sudah membela saya dan berbicara dengan lembut terhadap saya dan Bapak Alexander meskipun Bapak Alexander tidak sepenuhnya salah," ujar Naulida dengan nada bergetar.

Alexander dan Bapak Harry memperhatikan Naulida yang berbicara dengan nada seperti orang hendak menangis. Tanpa sadar, Naulida menjatuhkan buliran air bening yang ia tahan sedari dalam kelopak matanya. Mereka saling melirik pada saat Naulida meneteskan air mata di pipi.

"Kenapa kamu menangis, Nau?" tanya Alexander.

Naulida menggeleng dan menyeka air matanya dengan cepat."Tidak, saya tidak menangis," sanggah Naulida.

"Lisanmu boleh berbohong tapi, mata dan air mata yang membasahi pipi kamu tidak bisa berbohong, Ibu Manajer," tutur Bapak Harry.

"Ada apa, Nau?" tanya Alexander.

Naulida hanya menggeleng dan tersenyum untuk menjawab pertanyaan alexander. Ia hanya bisa melakukan itu karena tidak ingin masalah pribadi diketahui oleh siapa pun. Baginya, keluarga adalah nomor satu walaupun, orang tua tidak pernah berbicara lembut kepadanya.

Bapak Harry tersenyum dan mendekati Naulida."Tidak apa-apa, jika kamu tidak ingin memberi tahu alasan kamu menangis," jawab Bapak Harry sembari mengelus lengan Naulida.

Naulida mengangguk sambil menyeka air mata yang membasahi pipi. Ia menatap mereka secara bergantian lalu, tersenyum karena Bapak Harry mengerti kondisinya sehingga Naulida merasa nyaman dan memiliki arti keluarga sebenarnya.

"Nah, gitu, dong, senyum. Kalau senyum, kan, kamu cantik," celetuk Alexander.

Naulida, Alexander dan Bapak Harry tertawa pelan mendengar celetukan dari seorang laki-laki terkenal jutek dan cuek memuji karyawannya. Sesaat, kami tertawa bersama, seorang pelayan menghampiri dan memberikan peringatan.

"Selamat malam, Pak, maaf, saya mengganggu, saya ingin menyampaikan kepada Bapak dan Ibu kalau makan malam telah siap."

"Baik, terima kasih, Mas. Ayo, kita ke sana!" ajak Bapak Harry.

"Ayo, Pak."

Naulida, Alexander dan Bapak Harry melangkah ke ruang makan untuk makan malam bersama setelah pemilik perusahaan melerai dan memberi nasihat kepada kami.

Teman-teman, klien dan pejabat kantor memberikan senyuman lebar kepada Naulida dan Alexander. Mereka menyambut Naulida dengan ramah dan ia membalas senyuman dengan ramah dan mengangguk sekali. Makan malam pun menjadi ramai dan senang meskipun suasana hati dan pikiran naulida sedang kacau.