"Aku tidak kesal tapi, aku cemburu."
"Beneran, kamu cemburu?"
Naulida tidak percaya dengan ucapannya karena ia hanya sebatas berpelukan dan melambaikan tangan kepada Jonathan, teman baiknya. Sikap biasa yang tidak perlu dicemburui oleh Alexander dan kita juga belum memiliki hubungan spesial.
"Iya, aku cemburu."
"Apa yang kamu cemburukan dari sikapku dan sikapnya?"
Alexander mengalihkan pandangan kepada Naulida. Ia menatap dengan lamat sambil membisu selama lima detik. Ia menghela napas dan bersandar di kepala kursi. Alexander bingung mencari jawaban yang dilontarkan oleh Naulida kepadanya karena sikap mereka sangat biasa.
"Kenapa diam saja?" tanya Naulida yang menunggu jawaban darinya.
"Aku diam karena bingung menjawabnya dan mungkin ini hanya sikapku saja yang berlebihan sekaligus takut kehilangan kamu."
Naulida menghela napas."Nah, kan, kamu jadi bingung sendiri karena itu. Kita belum memiliki hubungan spesial. Kita hanya sebatas karyawan dan atasan. Jika, kamu mencintaiku, tunjukkan kepadaku dan buat aku untuk jatuh cinta sama kamu."
Naulida memberi peringatan tegas kepada Alexander yang cemburu semaunya dan tanpa ada alasan yang jelas untuk cemburu. Ia juga meminta kepada Alexander untuk menunjukkan sikapnya jika, ia memang mencintainya.
"Baiklah, aku akan menunjukkan itu," ucap Alexander dengan intonasi penekanan.
"Bagus. Aku suka dengan lelaki seperti ini," ungkap Naulida.
"Apakah itu artinya kamu suka dengan lelaki yang gentle?" tanya Alexander.
Naulida tertawa."Hahaha, iya dong. Mana ada perempuan suka dengan laki-laki yang pengecut dan menyembunyikan perasaannya?" ucap Naulida.
"Aku kira perempuan masih ada yang suka dengan lelaki seperti itu."
"Mungkin ada tapi, kalau yang laki hanya diam tanpa mengutarakan perasaannya kepada perempuan yang disukai itu hanya akan menjadi angan untuk memiliki perempuan itu meskipun ia menunjukkan sikapnya karena perempuan itu butuh kepastian."
"Iya, kamu betul juga tapi, bagaimana dengan lelaki yang sudah mengutarakan perasaannya kepada perempuan yang disukai lalu ia menolaknya?"
"Kalau itu kembali ke lelakinya. Jika, lelaki itu benar mencintainya, ia tidak akan memaksakan cintanya untuk dibalas, tetapi kalau ia tidak benar mencintainya dan hanya karena nafsu, ia akan memaksa perempuan itu untuk menerima cintanya," jelas Naulida.
Alexander mengangguk sembari mengelus dagu dan mengernyitkan dahi seakan ia memikirkan perkataan naulida yang dewasa dan masuk akal. Perkataannya bisa menjadi bekal untuknya.
"Aku suka dengan pendapat kamu dan secara tidak langsung, aku belajar dari kamu mengenai cara menyikapi yang dewasa dan bijaksana untuk mengikhlaskan seseorang yang dicintai oleh kita."
"Terima kasih. Aku juga sedang belajar."
"Belajar apa?"
"Belajar mengendalikan emosi, menerima kehidupan dan berpikir positif," jawab Naulida sambil tersenyum lebar.
"Bagaimana caranya kamu belajar itu?" tanya Alexander penasaran.
Naulida mengangkat kedua bahu secara bersamaan."Aku juga tidak tahu dan belum belajar ilmu pastinya karena aku hanya mengalir dalam menjalani kehidupan," jawab Naulida.
"Apakah itu berhasil kamu jalani?"
"Aku tidak tahu karena aku berusaha untuk berubah menjadi lebih baik dan versi lebih baikku adalah mengendalikan itu semua akan kejadian yang ada dalam hidupku."
Ketika, Naulida dan Alexander berbicara mengenai kehidupan dan saling berbagi pengalaman, bus berhenti. Ia dan Alexander mengalihkan pandangan ke jendela. Penglihatan mereka disuguhkan pemandangan laut dengan pasir berwarna putih, air laut berwarna biru muda dan biru tua. Sontak, Naulida melebarkan bola matanya dan mendekatkan wajah ke jendela dengan mulut sedikit terbuka.
"Wow, indah sekali pantainya. Di mana ini, Pak?"
"Ini masih di Sumba."
"Keren dan indah pantainya, Pak."
"Ayo, turun!" ajak Alexander.
Naulida mengangguk dan bangkit dari kursi. Ia menerobos Alexander karena senang melihat pantai yang sangat indah, bersih dan sejuk. Ia turun dari bus lalu, berlari ke pinggir pantai bersama teman-temannya.
"Aaaaaa," teriak Naulida bersama teman-temannya.
"Hai, Laut, apa kabar?" ucap Naulida."Aku harap kamu baik-baik saja karena aku suka denganmu. Kamu itu tenang, damai dan sejuk," ujar Naulida.
Naulida berteriak dengan kencang dan berbicara dengan laut. Ia senang bertemu dengan laut dan menghirup udara sejuk dan segar seakan tubuhnya disirim oleh air dingin yang bisa membuat seluruh badannya menjadi segar kembali dan lupa dengan dunia kota.
Ketika, ia berbicara dengan laut, salah satu temannya menceletuk dan menganggap dirinya aneh karena berbicara dengan alam.
"Eh, Nau, apakah kamu sudah gila?" tanya Andria.
Naulida menggeleng cepat."Aku tidak gila," tolak Naulida."Ini adalah caraku untuk melampiaskan semua kepenatan, kegelisahan, kesedihan dan kekhawatiranku akan sesuatu," imbuh Naulida.
"Apakah itu berhasil?"
"Iya, berhasil meskipun tidak seratus persen tapi, setidaknya itu berhasil sebanyak delapan puluh lima persen, An."
"Serius, Bu Naulida?" celetuk Eko.
"Iya, serius. Coba saja!" seru Naulida.
Naulida memberikan saran kepada Andria dan Eko untuk melampiaskan rasa negatif yang ada dalam diri mereka. Cara sederhana, tetapi berhasil untuk menyegarkan pikiran. Lalu, teman-temannya mencoba cara itu.
"Aaaaaa. Laut, terima kasih telah membuat Ibu Naulida senang dan merasakan kebahagiaan karena ciptaan-Mu, salah satu hamba-Mu pikirannya segar kembali," celetuk teman-temannya.
Naulida menoleh ke arah teman-temannya dengan membulatkan bola mata dan pandangan menjadi kabur. Netranya dipenuhi buliran bening yang hendak membasahi pipinya. Teman-temannya tersenyum lebar kepada Naulida dan ia merentangkan kedua tangannya.
Teman-teman menghampirinya dan hendak memeluknya. Namun, mereka gagal memeluk karena Alexander memeluknya terlebih dahulu. Pelukan erat dan hangat dari seorang CEO yang terkenal jutek, cuek dan pemarah memeluk seorang Manajer di depan banyak orang.
Naulida membelalakkan mata dalam pelukannya dan semua orang berada di sekitar merasa senang sehingga mereka bertepuk tangan dan menyindirnya. Ia meliriknya secara perlahan.
"Alex, sudah dong, kita dilihat oleh banyak orang, nih, karena kamu memelukku," pinta Naulida.
Alexander tidak merespons ucapan naulida yang meminta untuk melepaskan pelukannya karena tidak enak dilihat oleh banyak orang apalagi bawahannya. Ia semakin memeluk erat sehingga Naulida tidak bisa melepaskannya.
"Alex, apakah kamu sengaja melakukan ini?"
"Aku tidak sengaja. Aku hanya ingin memeluk perempuan yang terlihat tegar di depanku dan banyak orang tapi, aku belum tentu tahu di belakangku. Aku percaya dengan perkataan teman kamu karena mereka mungkin pernah melihat kamu sedih di kantor dan bekerja terus tiada henti sampai pulang malam," jawab Alexander dengan pelan."Izinkan aku memelukmu dan meringankan pikiranmu, Naulida Ambiraksi sebelum aku menjadi sandaranmu untuk bercerita dan menangis," imbuh Alexander.
Naulida mematung dan membisu mendengar perkataan Alexander yang tidak pernah terdengar dari mulutnya. Perkataan lembut yang hangat membuatnya mengalirkan buliran bening dan merasakan memiliki pelindung sehingga ia merasa nyaman dan tenang.
Naulida mengangguk pelan."Terima kasih untuk semuanya, Alex," ucap Naulida.
"Sama-sama. Aku tidak akan pernah melanggar perkataanku ketika aku mencintai seorang perempuan dan biarkan semua orang tahu bahwa aku mencintaimu dan ingin memilikimu. Aku akan membuktikan semua ucapanku kepadamu sampai akhir hayatku, Nau bukan di awal saja ketika ingin memilkimu."
Naulida meneteskan buliran bening di pipinya dengan deras dan ia membalas pelukannya dengan erat sampai semua orang menyoraki mereka.
"Kalian cocok, Pak, Bu."
"Terima cinta dari Bapak Alexander, Ibu Naulida. Kita mendukung kalian."
Teman-teman, pejabat kantor, Bapak Harry dan klien mendukung hubungan mereka untuk menjalin hubungan dan berharap Naulida menerima perasaannya. Naulida memejamkan mata sekilas dalam pelukannya untuk merasakan kehangatan dan kenyamanan. Ia memikirkan kembali untuk memutuskan menerima perasaan alexander.