"Apakah ini cara kamu merayu seorang perempuan?"
Naulida melontarkan pertanyaan untuk menghalangi rasa takut dari Alexander. Alexander tersenyum mendengar pertanyaan itu dan memberikan jarak di antara mereka. Naulida menghela napas karena Alexander tidak mengecupnya.
"Itu adalah salah satu caraku mencintai seorang perempuan dan membuat nyaman ketika pasangan saya sedang sedih atau takut."
"Hmm, I see."
"Iya, aku nanti juga akan begitu kalau kamu sudah menjadi pasangan saya."
"Pasangan Bapak? Berarti kalau sudah menikah, kan, Pak?" Naulida memastikan pernyataan Alexander mengenai cara yang dilakukannya tadi.
"Iya, tapi tidak harus menikah dulu karena kecupan itu akan sangat berarti untuk perempuan ketika ia sedih, kecewa, takut, marah dan kesal."
"Apa?!" sontak Naulida.
"Iya, kenapa kamu kaget begitu?"
"Tidak apa-apa," jawab Naulida sambil melangkah ke arah lemari baju.
Naulida sengaja ke lemari untuk mengalihkan pertanyaan Alexander yang kemungkinan berkelanjutan. Alexander menghampirinya yang mengambil pakaian. Ia reflek membelakanginya karena tidak ingin bagian dada dilihat olehnya.
"Kenapa Bapak ikut ke sini?"
"Apakah kamu sungguh belum pernah melakukan hal begitu?"
"Pertanyaan itu tidak penting dan aku tidak mau menjawabnya."
"Jawab dong," pinta Alexander.
"Tidak dan itu sudah jelas seperti yang saya bilang ke Bapak waktu itu di ruangan saya," tolak Naulida dengan tegas.
"Astaga, jadi, benar, nanti kamu juga akan merasakannya suatu hari nanti, Naulida Ambriaksi."
Naulida membalikkan badan ketika Alexander melontarkan pernyataan mengenai kecupan yang akan terjadi kepadanya pada suatu hari nanti. Ia menempatkan kedua tangan di pinggang dan membelalakkan mata ke Alexander.
"Iya, suatu hari nanti kalau aku sudah menikah, Pak baru bisa merasakan itu."
"Ah, terserah kamu, Nau. Pokoknya intinya itu kamu akan merasakan itu entah sama aku atau orang lain."
"Ih, Kamu!" geram Naulida."Aku mau ganti baju, Bapak ke luar dulu." Naulida sedikit kesal terhadapnya sehingga ia menarik tangan alexander untuk mengeluarkannya dari kamar.
"Aku bisa ke luar sendiri, Nau," ucap Alexander sambil menahan tarikan naulida.
Naulida mencoba menariknya dengan keras tetapi, tarikan itu berhasil ditahan oleh Alexander dan Alexander menarik tangan naulida sampai mereka berdua jatuh di kasur.
"Aduh!"
Naulida terjatuh di atas badan alexander sambil mengelus hidung dan Alexander memerhatikan naulida. Ia tersenyum melihat seorang perempuan yang disayangi berada di atas badannya.
Alexander memeluk Naulida dan Naulida mengernyitkan dahi melihatnya tersenyum. Lalu, ia menjitak dahinya dengan sedikit keras.
"Kenapa senyum-senyum?"
"Kamu cantik kalau begini."
Naulida mengalihkan pandangan ke bawah dan ternyata kaitan handuknya sedikit terbuka dan Naulida reflek menutupi dada menggunakan tangannya. Ia langsung menyingkir dari atas badannya dan menarik tangannya untuk membawa ke luar kamar.
Ia menarik tangannya dengan sekuat tenaga menuju pintu dan Alexander berhasil dibawa olehnya sampai di depan kamar. Alexander tertawa pelan melihat Naulida malu.
"Haha, astaga, Nau, kamu kuat juga ternyata menarikku sampai ke luar kamar kamu," ledek Alexander.
"Kuatlah kalau menyuruh seorang laki-laki yang otaknya minta dicuci setiap hari seperti Bapak," ketus Naulida lalu menutup pintu dengan kencang.
"Maksudnya gimana, Nau dari perkataanmu?" tanya Alexander dengan nada tinggi dan mengetuk pintu.
"Pikir aja sendiri!" geram Naulida.
Naulida melangkah ke kasur untuk memakai pakaian lengkap. Ketika, ia memakai pakaian, pikirannya memutar kejadian yang baru saja terjadi di atas kasur dan beberapa menit lalu sembari senyum-senyum sendiri. Lalu, pikirannya memutar kejadian di gunung sehingga ia menggeleng cepat dan memukul pipi berkali-kali.
"Astaga, Nau. Tidak, tidak, kamu tidak boleh jatuh hati kepadanya," gerutu Naulida.
Ia selesai memakai pakaian dan berdiri di depan cermin untuk memakai riasan natural di wajahnya. Setelah itu, ia memakai topi lalu, memasukkan pakaian kotor ke dalam tas untuk bersiap kembali ke rumah.
Naulida hendak membuka pintu, nada dering panggilan masuk terdengar keras pada saat ia akan membuka pintu dan layar handphone terdapat nama Andria. Ia mengangkat panggilan itu.
"Halo, An, ada apa?"
"Halo, Nau. Kamu sudah bersiap-siap?"
"Aku sudah bersiap-siap, nih," jawab Naulida sambil membuka dan menutup pintu."Kenapa?" tanya Naulida.
"Kamu sekarang buruan ke depan karena kami sudah menunggu kamu untuk sarapan sekaligus mengunjungi destinasi wisata sebelum kembali ke kota dan kuncinya tinggalkan di situ karena pelayannya yang akan membersihkan kamar sekalian."
"Okay. Aku ke sana."
Panggilan terputus dan Naulida mempercepat langkahnya agar semua orang tidak menunggu lama hanya karena seorang. Ia hendak berbelok ke halaman sebagai pintu masuk. Jonathan berpas-pasan dengannya dan jalur mereka sama sehingga ia terpaksa berhenti dan mempersilakan Jonathan untuk lewat terlebih dahulu.
"Sudah, kamu jalan duluan, Jo," ucap Naulida.
"Tidak, saya tadi keburu-buru untuk menjemput kamu dan ternyata kamu sudah di sini. Kamu sudah ditunggu sama Alexander dan lainnya."
"Kamu pasti disuruh sama Alex, ya?"
"Tidak, saya sendiri."
"Baiklah. Aku menghampiri mereka dan terima kasih banyak untuk pelayanan resort-nya. Aku suka dengan tempat dan pemandangannya," ucap Naulida sembari tersenyum.
"Sama-sama. Syukurlah kalau kamu suka. Lain kali datang saja ke sini kalau liburan."
"Iya, Jo."
"Terima kasih dan hati-hati di jalan, Nau."
"Iya, Jo. Terima kasih."
Naulida dan Jonathan saling melempar senyuman dan Jonathan memeluknya erat selama beberapa detik dan ia membalas pelukannya sebagai tanda pertemanan dan perpisahan. Lalu, mereka melepas pelukan masing-masing.
"Kamu hati-hati di sini dan sesekali main ke kantornya Alexander biar aku ada teman dan tidak bosan bertemu dengan Alexander saja," celoteh Naulida sambil tertawa pelan.
"Iya, pasti. Aku minggu depan ada rencana ke kota kamu dan menghampiri kantor alexander."
"Baguslah. Aku tunggu kehadiranmu di sana, ya," ucap Naulida sambil menepuk pundaknya dua kali.
Naulida dan Jonathan menghampiri teman-teman, klien dan pejabat kantor. Ia melambaikan tangan kepadanya sebelum masuk ke bus sambil tersenyum lebar.
"Terima kasih, Jo."
"Sama-sama, Nau. Hati-hati di jalan."
Naulida mengangguk dan tersenyum lalu, ia masuk ke bus dan duduk di bangku kesukaannya. Ia duduk dengan Alexander karena atasannya telah menduduki bangku itu lebih awal.
Naulida duduk dekat jendela dan menghadap ke jalanan. Ia membelakangi Alexander dan Alexander memperhatikan Naulida.
"Kalau memperhatikan itu sekalian tanya, jangan diam saja," sindir Naulida.
"Aku tidak memperhatikan kamu." Alexander berkilah dan mengalihkan pandangannya dari Naulida sambil bersandar di kepala kursi.
"Aku bisa melihatmu dari kaca ini kalau kamu memperhatikanku secara diam-diam, Alex," ucap Naulida dengan memperhatikan jalanan yang berubah menjadi mendung.
"Aku tidak mau bertanya kalau wajah kamu terlihat kusut dan cerah di depan Jonathan."
Naulida berubah arah menjadi duduk menghadapnya. Ia memiringkan kepala dan menatap Alexander yang terlihat kesal.
"Apakah kamu memperhatikanku dengannya tadi?"
"Iya. Aku memperhatikan kalian."
"Apakah kamu kesal atau cemburu?"