Chereads / After Bad Destiny / Chapter 22 - Gandengan Tangan

Chapter 22 - Gandengan Tangan

"Kenapa, sih, kebanyakan orang suka main rahasia?" gerutu Naulida.

Naulida bergegas bersiap sebelum Alexander masuk ke kamarnya lagi untuk menjemput atau melakukan yang tidak diinginkan olehnya. Ia menyelesaikan mandinya selama lima belas menit lalu, ia keluar dari kamar mandi dan mengenakan kaos lengan panjang, celana jeans berwarna hitam, memakai riasan tipis dan memakai sepatu kets berwarna putih.

Naulida bercermin sambil memegang dan mengelus dadanya untuk menenangkan dirinya karena ia masih trauma dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Ia tersenyum kepada dirinya sendiri di cermin.

Naulida bukan tipe perempuan yang suka memendam kebencian dalam dirinya meskipun ia tersakiti oleh orang yang disayangi. Ia ingin berdamai dengan hidup agar perjalanan hidupnya mulus. Namun, itu tidak mungkin karena akan selalu ada ujian dalam hidup.

Cuaca pagi yang cerah di Sumba harus bisa menyeimbangi cuaca pada pagi hari ini karena hari yang cerah akan menghasilkan energi positif dari dalam maupun luar. Selain itu, juga bisa membuat mood selalu bagus.

Naulida menghela napas dengan sekali hembusan keras dari dalam untuk mengeluarkan semua rasa negatif dalam diri dan melupakan sejenak masalah yang ada di kantor dan rumah. Ia menyakinkan diri untuk tetap semangat dan bisa melewati semuanya dengan baik dan mendapatkan akhir yang baik.

Ia mengikat satu rambutnya lalu memakai topi berwarna putih sebelum ke luar dari kamar dan hendak membuka pintu, pintu diketuk berkali-kali. Naulida membuka pintu dan Andria bersama teman-temannya sudah di depan kamar.

"Kalian?" sontak Naulida.

"Iya, Bu. Kita menjemput Ibu karena perintah Bapak Alexander," ucap Eko.

"Kalian mau saja diperintah sama Bapak Alexander padahal kalian sedang liburan," ucap Naulida sambil menutup pintu kamarnya.

"Kita jelas mau karena beliau atasan dan yang menggaji kita, Bu," sahut teman lainnya.

"Iya juga, sih," ucap Naulida.

Naulida dan teman-temannya melangkah ke luar resort dan penglihatannya terdapat pejabat kantor dan klien telah siap dan sedang memasuki bus yang kemarin ditumpangi. Alexander masih berdiri di samping bus dan menoleh ke arahnya dan teman-teman. Lalu, Naulida masuk terlebih dahulu sebelum teman-temannya naik bus agar tidak sempat berbicara dengan Alexander.

Naulida duduk di tempat biasa dan mencegah Andria dengan cara menariknya, Andria langsung duduk di kursi sebelahnya. Ia heran melihat sikap atasannya yang aneh dan menginginkannya untuk duduk dengannya.

"Kenapa? Ada apa, Naulida?" bisik Andria.

"Ssst," desis Naulida."Aku ingin kamu duduk sama aku agar Alexander tidak duduk di sebelahku," bisik Naulida.

"Kenapa memangnya, kan, enak duduk sama CEO?" tanya Andria.

Naulida memutar bola mata dengan malas."Hadeh, enak dari mana, Andria?" keluh Naulida.

"Dasar, kamu kemarin ketawa bersama ketika Bapak Alexander duduk di sebelah kamu," ucap Andria sembari menjitak kepala naulida.

"Tapi a—"

Perkataannya terputus karena ia melihat Alexander yang berdiri di samping Andria dengan melipat kedua tangannya dan memperhatikan Naulida sedang membicarakan dirinya.

Andria sedikit membulatkan matanya karena melihat temannya tidak melanjutkan perkataan dan melirik ke arah lain. Sontak, Andria menoleh ke belakang dan tampak Alexander yang berdiam dan berdiri.

"Bapak, Bapak mau duduk di sini, ya." Andria basa-basi terhadap Alexander agar ia tidak dimarahi dan kena semprot CEO-nya.

Andria berdiri dan pergi dari bangku naulida sambil tersenyum lebar dan sedikit membungkukkan badan untuk melewati atasannya sambil mempersilakannya duduk di samping Naulida. Alexander duduk di sebelah Naulida tanpa melihatnya.

Naulida merasa bersalah dan salah tingkah setelah kejadian di dekat laut yang berada di belakang kamarnya. Suasana yang tidak biasa seperti suasana di kantor ketika ia berbicara dengan Alexander karena tidak ingin menimbulkan kesalah pahaman di antara mereka.

Bus pun berjalan, Naulida dan Alexander masih berdiam dan tidak melirik sekali pun. Naulida duduk menghadap jendela dan membelakanginya sembari memperhatikan jalanan yang sepi dengan kendaraan bermotor. Bayangan Alexander memantul di jendela bus sehingga ia masih bisa melihat yang dilakukan oleh Alexander.

Naulida menghela napas dan mengalihkan posisi duduknya menjadi bersandar di kepala kursi dan kepala lurus ke depan sambil memperhatikan televisi yang mati. Ia melirik Alexander yang tertidur dengan melipat kedua tangannya.

Naulida mengamati wajah seorang pria yang terkenal jutek, cuek dan pemarah setiap inchinya. Ia sesekali berkedip karena Alexander terlihat ganteng ketika ia sedang tidur.

Naulida tersenyum melihat atasannya tertidur dengan kepala bergerak ke bawah kanan dan kembali lagi ke posisi awal. Ia memegang dan mengarahkan kepalanya di pundaknya dan Naulida mengambil handphone untuk mengirim uang jajan ke adiknya karena hari ini adalah waktunya untuk memberikan uang jajan setiap bulan kepada adiknya.

Naulida memasukkan handphone ke dalam tasnya dan melirik atasannya yang masih tertidur. Ia terkekeh pelan dan menggeleng pelan karena masih pagi sudah tidur lagi.

Naulida menoleh ke jalanan untuk menikmati pemandangan yang dilewati oleh bus. Netranya dihadirkan pemandangan gunung, sawah yang tumbuh tanaman hijau dengan dedaunan bergoyang lambai karena angin dan danau dengan air yang bersih dan tenang.

Bus masuk ke jalanan pedesaan yang hanya bisa dilintasi oleh satu kendaraan besar dan bergantian ketika ingin melewati jalanan itu. Ia mengambil handphone-nya dan merekam video jalanan pedesaan yang tidak pernah ia lewati semasa hidupnya.

Ia tersenyum lebar ketika merekam video sawah, gunung dan danau selama perjalanan menuju tujuan. Beberapa menit kemudian, bus berhenti di halaman luas dan sedikit naik. Naulida menepuk pipi Alexander secara perlahan dan berbisik ke telinganya.

"Alex, bangun, kita sudah sampai di tujuan dan tujuan itu sangat bagus," bisik Naulida.

Alexander terbangun dari tidurnya sambil mengusap matanya dan menoleh ke kanan. Ia memicingkan mata sekilas dan mengalihkan pandangannya ke Naulida.

"Apakah kita sudah sampai dari tadi?"

"Tidak, Pak. Kita baru saja sampai dan teman-teman juga baru turun dari bus."

"Syukurlah."

Naulida berdiri dan ke luar dari bangkunya sembari memegang dan menggandeng tangannya. Ia dan Alexander turun dari bus. Ketika, mereka turun dari bus, teman-temannya membelalakkan matanya karena melihat atasannya bergandengan tangan sembari menunjuk tangannya.

"Apakah kalian ...?"

"Jadian?" Alexander menyambungkan perkataan salah satu dari karyawannya yang terputus.

Naulida terkejut dengan perkataannya yang membahas hubungan mereka, ia langsung melepaskan tangannya dan menggeleng cepat agar teman-teman, pejabat kantor dan klien tidak salah paham.

Ia hendak menjelaskan kebenarannya, tetapi dipotong oleh Bapak Harry, Ayah dari Alexander dengan raut wajah yang dihiasi dengan mata berbinar dan senyuman merekah.

"Cie, CEO kita telah menemukan seorang pasangan yang bisa mengambil hatinya," celetuk Bapak Harry.

Naulida menggeleng cepat sambil menggerakkan tangannya ke kanan dan kiri dengan cepat. Ia tersenyum dan sedikit menarik baju alexander untuk membantunya memberi penjelasan kepada mereka. Alexander tersenyum dan meminta semuanya tenang terlebih dahulu.

"Bapak, Ibu, teman-teman, saya minta tenang terlebih dahulu karena saya akan menjelaskan hubungan saya dengan Naulida," ucap Alexander.

"Apakah Bapak ingin menjelaskan atau memberi tahukan hubungan kalian bersatu?" tanya Andria.