Hari ini adalah hari keberangkatan divisi pengelolaan, pejabat kantor dan klien pergi ke luar pulau. Tujuan pulau yang akan dikunjungi adalah pulau Sumba.
Pulau Sumba menjadi tujuan Alexander sebagai hadiah untuk keberhasilan karyawan dan kerja sama dengan klien.
Naulida masih memperhatikan jalanan yang ramai dengan pedagang, terdapat orang yang adu mulut dengan mengernyitkan dahi, asap sate dan rombongan sepeda tua yang dihiasi dengan bendera merah putih di belakang sepeda dan Kakek memakai udeng.
Naulida tersenyum lebar ketika melihat Kakek mengendarai sepeda tua yang dihiasi dengan rombongan para Kakek dari bus. Bus telah melewati rombongan Kakek bersepeda tua, perut berbunyi dan ia reflek menutup perutnya yang berbunyi dengan menundukkan kepala.
"Ssst," desis Naulida ke perutnya.
Naulida mengambil makanan cup dari tas plastik untuk sarapannya dan ia memakannya tanpa menoleh ke sebelah karena ia belum sadar bahwa kursi di sebelahnya sudah terisi. Naulida memakan makanan cup itu secara perlahan dan hendak mengarahkan sendok ke mulutnya, suara bariton yang ia kenal meledek sekaligus menggodanya.
"Kamu suka atau lapar?" ledek Alexander sambil terkekeh dan mengusap hidungnya sekilas.
Naulida menoleh ke arahnya secara perlahan sambil mengunyah dan sedikit menaikkan bibirnya yang penuh dengan nasi dan lauk.
"Dua-duanya, Pak," jawab Naulida.
Alexander tertawa."Hahaha, astaga, Nau, kalau kamu makan itu pelan-pelan meskipun posisi kamu sedang lapar," tutur Alexander.
"Iya, Pak," ucap Naulida.
Naulida melanjutkan makannya sampai habis tanpa sisa nasi dan lauk. Lalu, ia minum dan setelah itu membersihkan mulut menggunakan tisu dan tangan menggunakan tisu basah.
Naulida meletakkan tisu kering dan basah di dalam cup dan memasukkannya ke tas plastik kecil untuk sampahnya. Ketika, ia memasukkan cup bekas ke tas plastik, ia teringat kursi di sampingnya kosong dan tiba-tiba ada Alexander.
"Pak, kenapa Bapak bisa duduk di sini?" tanya Naulida dengan berbisik.
"Bisalah karena kursi yang kosong hanya ini dan orang yang memiliki jabatan tinggi dan klien duduk di depan," jawab Alexander.
"Terus, kenapa Bapak tidak duduk di depan?" tanya Naulida.
"Penuh," jawab Alexander dengan singkat.
Naulida mengernyitkan dahi lalu, ia sedikit berdiri dan menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri untuk mencari kursi kosong khusus untuk pejabat kantor dan klien karena ia tidak percaya dengan jawaban Alexander yang singkat dan membuatnya curiga.
Matanya berhenti pada kursi kosong di bagian depan, bangku isi tiga orang yang terdapat dua laki-laki yang berambut sedikit dan memakai kacamata sedang berbicara. Lalu, Naulida duduk kembali dan menatap Alexander sembari melipat kedua tangan di depan dadanya.
"Kursi depan ada yang kosong, Bapak Alexander," ucap Naulida dengan intonasi penekanan dan matanya sedikit terbelalak.
"Itu pasti sempit dan saya ingin duduk di sini meskipun kamu tidak suka," ucap Alexander dengan bersandar, meletakkan kepala di kepala kursi, tangan dilipat dan memejamkan mata.
Naulida mendengar perkataan dan melihat sikapnya yang mengesalkan, ia mengaitkan gigi dan mengepalkan kedua tangannya karena ia tidak bisa melakukan apa pun meskipun ingin memukulnya. Lalu, ia bersandar di kepala kursi dan mengalihkan pandangan ke jalanan.
Sesaat, ia bersandar, pikirannya menemukan ide untuk membuatnya terkejut dan bangun dari tidurnya. Naulida menoleh ke arahnya dan mengeluarkan keras kepadanya.
"Pak, bangun, Pak sudah sampai," ucap Naulida dengan nada tinggi sembari menggoyangkan lengannya.
Sontak, Alexander terbangun dari tidurnya dan ia menoleh ke kanan dan kiri sambil merapikan bajunya dan raut wajahnya ketika terkejut membuat Naulida tertawa. Semua pasang mata menoleh ke arahnya dan Alexander. Lalu, Naulida menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya dan Alexander menoleh ke arahnya dengan memicingkan mata.
"Hmm, awas kamu, ya, aku balas nanti," ancam Alexander.
Semua pasang mata beralih ke aktivitasnya masing-masing dan Naulida menjulurkan lidahnya ke arah Alexander yang mengancamnya untuk membalas perbuatan Naulida yang menjahilinya.
Sepuluh menit setelah Alexander mengancam Naulida untuk membalas perbuatannya, bus berhenti di lahan parkiran bandara dan Naulida menoleh ke jendela. Sontak, Naulida melebarkan bola matanya karena ia senang bisa melihat suasana bandara dan akan naik pesawat.
Ia merapikan topinya lalu, mengambil tas plastik berisi camilan dan minuman. Naulida bergegas turun dari bus, tetapi Alexander masih duduk di kursi dengan santai karena bus masih penuh dengan teman-teman yang turun sehingga ia menunggu sambil berdiri selama lima menit.
Semua teman-teman, pejabat dan klien telah turun dari bus, tetapi Alexander masih duduk dengan santai tanpa minggir sedikit pun meskipun ia tahu bahwa Naulida ingin turun dari bus.
Naulida meliriknya dengan tatapan tajam dan Alexander merayapkan bola mata ke arahnya yang berdiri.
"Kamu mau ke luar?"
"Iya, saya mau ke luar, Pak. Apakah Bapak tidak turun?" tanya Naulida.
"Turun."
"Kalau turun, Bapak buruan turun nanti ketinggalan pesawat loh, Pak," ucap Naulida dengan intonasi penekanan.
"Kamu turun duluan."
Naulida kesal melihat seorang CEO yang menyebalkan. Ia melewati Alexander dengan sedikit menggeser kakinya dengan kaki Naulida dan hendak berhasil ke luar dari bangku, kaki Naulida tersandung kaki Alexander sehingga ia terjatuh di pangkuan Alexander dan ia reflek memeluk Naulida.
Tangan Naulida berada di pundak Alexander dan jarak wajah mereka sangat dekat. Ia dan Alexander saling memandang dan Alexander melirik bibirnya. Jantung Naulida berdegup dengan kencang setiap jarak wajah mereka dekat, napasnya naik turun dengan cepat dan ia menatap bola matanya yang cokelatnya nan teduh membuat penglihatannya terpaku pada matanya.
Suara sopir bus membuyarkan pandangannya dan Alexander, Naulida langsung berdiri dan turun dari bus untuk pergi dari Alexander. Ia mengambil koper kecil dari bagasi lalu, berjalan masuk bandara bersama teman-temannya.
"Kenapa lama, Naulida?" tanya Andria.
"Tidak apa-apa, tadi ada kendala sedikit dan itu menyebalkan."
"Pasti Bapak Alexander," celetuk Eko.
"Tidak perlu dibahas," tolak Naulida.
Naulida dan teman-temannya mengantre untuk masuk ke bandara. Lalu, tiketnya dan lainnya diperiksa oleh petugasnya. Setelah itu, mereka melakukan pemeriksaan bagasi, lalu, ia mengambil koper dan tas kecil setelah melakukan pemeriksaan bagasi. Setelah itu, ia dan lainnya badannya di scan untuk pemeriksaan barang berbahaya. Lalu, mereka masuk ke lorong menuju pesawat.
Matanya berbinar ketika ia memandangi pesawat dari kejauhan dan Andria memeluk lengannya sambil tersenyum dan tertawa pelan. Ia hanya bisa tersenyum dengan hal yang dilihat dan didapatkan olehnya.
Ia dan teman-temannya sedikit mempercepat langkahnya agar cepat sampai dan masuk di pesawat. Andria memotretnya dari depan dan ia mengeluarkan pose angka dua dengan dua tangannya di samping kanan dan kirinya sambil tersenyum lebar ke kamera.
"1 2 3 cizzz."
Ia dan teman-temannya tiba di dekat pesawat dan mereka masuk secara bergantian. Sedangkan, Naulida masih berdiri di dekat pesawat untuk membalas pesan dan mengirim uang ke rekening kampus adiknya. Lalu, ia masuk dan mencari nomor kursinya.
Dua menit, ia menemukan nomor kursi dan meletakkan barang di bagasi lalu, duduk di dekat jendela. Ia mengubah nada deringnya menjadi mode pesawat dan menoleh ke arah jendela dan meletakkan kepala di kepala kursi lalu, ia memejamkan matanya untuk tidur.