Alexander mendekatkan posisi duduknya ke Naulida sambil menatapnya. Mereka saling melempar tatapan. Tatapan Naulida yang sayu membuatnya semakin penasaran dengan sesuatu yang menimpanya dan tatapan Alexander kepada Naulida untuk mencari jawaban.
"Nau, jawab pertanyaanku, please," pinta Alexander dengan lembut.
Alexander sangat berharap kepada Naulida untuk menjawab pertanyaannya yang sederhana agar ia bisa membantunya atau menghiburnya. Namun, Naulida masih membisu dan menatap Alexander.
Alexander memperhatikan Naulida yang masih menatapnya. Ia menghela napas dengan pelan lalu, tersenyum dan mengelus tangannya.
"Tidak apa-apa kalau kamu belum menjawabnya dan kamu boleh istirahat di rumah. Saya akan mengantarkanmu pulang."
Alexander melepaskan tangannya dan berdiri dari kursi untuk berjalan ke mejanya. Ia hendak melangkah ke meja kantornya, Naulida memegang tangan kekarnya dan ia mendongakkan kepala ke atas.
"Saya tidak ingin pulang karena pekerjaanku masih banyak."
Alexander melihatnya dan duduk kembali di sofa."Apakah kamu yakin bisa bekerja dengan kondisi kamu saat ini?"
"Saya yakin bisa bekerja dengan kondisi seperti ini, Pak."
"Baiklah. Kamu sebelum bekerja, tolong jawab pertanyaan saya yang tadi."
"Saya tidak ingin menjawabnya karena itu privasi saya dan tidak ingin orang lain tahu."
"Saya tahu kalau itu privasi kamu tapi, saya mengetahui kamu dengan kondisi yang tidak baik karena make up dan pakaianmu berantakan. Jika, saya mengetahui karyawan saya dengan kondisi kamu seperti ini, saya berhak tahu karena ini merupakan tanggung jawab saya," terang Alexander.
Naulida mengalihkan pandangan ke arah lain sambil menghela napas dengan berat. Ia menatap Alexander. Naulida membuka mulut hendak berbicara kejadian di toilet. Ia maju mundur untuk mengatakannya sehingga Alexander memegang dan menggenggam tangannya dengan erat.
"Kamu sampaikan saja, jangan takut karena saya ada di sini, Nau."
Naulida menatap Alexander dan teringat perdebatannya dengan Satrio pada malam hari itu di taman. Satu sisi, ia ingin menyampaikan hal yang terjadi pada toilet dan satu sisi yang lain, tidak ingin menyampaikannya karena ia dengan Satrio adalah teman SMA.
Ketika pikirannya memutar memori pada malam hari itu di taman, Naulida teringat perkataan mereka bahwa hubungan mereka telah rusak karena masalah perempuan yang mereka sayangi.
Jemari Alexander menggenggam tangan Naulida semakin sehingga pikirannya kembali ke Alexander dan bola mata merayap ke Alexander.
"Kenapa? Ada apa?" tanya Alexander.
"Saya akan menjawab pertanyaan Bapak tapi, Bapak janji dulu tidak marah dan membicarakan masalah saya kepada siapa pun," pinta Naulida.
Alexander menggerakkan kepala ke kiri sekali dan menatap Naulida."Baiklah, saya janji tidak akan membocorkan kepada siapa pun karena itu bukan tipe saya untuk menyampaikan itu kepada siapa pun," ucap Alexander.
Naulida mengangguk pelan lalu, ia membuang napas secara kasar dan membenarkan posisi duduknya karena perkataan disampaikan olehnya sangat serius karena Satrio ingin menodainya dan perlakuannya sudah dua kali kepada Naulida.
"Apakah Bapak bisa pegang janji sendiri?"
"Saya bisa memegang janji dan anggap saya sebagai teman cerita kamu."
"Oke, saya akan mempercayai hal itu."
"Silakan."
Naulida mengernyitkan dahi karena ia masih tidak yakin dan takut untuk menyampaikan kejadian sesungguhnya di toilet kepada Alexander. Hal itu baginya adalah privasi dirinya yang orang lain tak boleh mengetahuinya, tetapi ia memikirkan resiko ke depannya, jika tidak memberi tahu kepada atasannya.
Naulida terjebak di antara kebimbangan dan keharusan untuk mengatakan kejadian di toilet. Ia mengatupkan dan membuka mulutnya berulang kali dan Alexander memperhatikannya sembari mengernyitkan dahi.
"Apa? Kenapa kamu diam dan terlihat bingung?" tanya Alexander.
"Saya bingung karena itu berkaitan dengan pekerjaan, perusahaan dan hubungan," jawab Naulida.
"Pekerjaan, perusahaan dan hubungan. Apakah itu karyawan di sini yang ingin menyakitimu, Nau?" sontak Alexander.
Naulida membulatkan bola matanya karena Alexander langsung merepons dan menebak dari kode yang diberikan olehnya. Ia mengatupkan bibirnya dan menarik tangannya dari genggaman Alexander.
"Apakah orang itu memiliki hubungan denganku yang sangat dekat, Nau?" tanya Alexander yang menatap Naulida.
Napasnya naik turun ketika Alexander mengatakan hubungannya dengan seseorang karena Satrio memiliki hubungan dengannya. Naulida menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri dengan ritme yang sedikit cepat.
"Jawab pertanyaan saya, Nau," pinta Alexander.
Naulida menolaknya dengan menggeleng cepat dan berkali-kali karena ia tidak ingin memperparah hubungan mereka sebagai teman. Alexander menutupi wajahnya lalu, mengusapnya dengan kasar.
"Kenapa kamu tidak ingin memberi tahu orang yang menyakitimu kepada saya, Nau?" tanya Alexander dengan intonasi penekanan.
"Karena saya tidak ingin membuat Bapak atau siapa pun terbebani hanya masalah saya," jawab Naulida dengan nada sedikit tinggi."Biarkan saya yang menyelesaikannya, Pak," imbuhnya.
"Saya sudah memberi tahumu, Nau bahwa masalah karyawan adalah masalah saya juga."
"Apakah itu akan berlaku juga untuk karyawan lainnya ketika mereka mendapatkan masalah di kantor dengan masalah yang bermacam-macam? Apakah Bapak juga akan mendengarkan dan menanggapi permasalahan mereka di kantor?" cecar Naulida.
Alexander mematung dan membisu, setelah mendengar dua pertanyaan dari seorang karyawan perempuan cerdas, berani dan mandiri. Ia memandangi atasannya yang memperlihatkan raut wajah yang bingung untuk menjawab pertanyaannya.
Mereka saling melihat dan Naulida memegang tangan Alexander sekilas. Ia beranjak dari kursi dan mengalihkan pandangan ke kanan belakang. Pupilnya terarah pada tulisan toilet di dalam ruangannya. Naulida menuju toilet untuk merapikan pakaian dan riasannya.
"Saya permisi ke toilet, Pak."
Ia melangkah ke toilet dan menutup pintunya dengan rapat. Naulida merapikan pakaian dan riasannya selama beberapa menit. Lalu, ia ke luar dari toilet dan netranya disuguhkan pemandangan Bapak Harry dan Alexander sedang berbicara mengenai bisnis.
Naulida masuk kembali ke toilet agar Bapak Harry tidak curiga dan salah paham mengenai keberadaannya di ruangan Alexander dan setelah dari toilet.
Ia memandangi dirinya di cermin dengan dua tangan di pinggangnya. Naulida mengambil dan membuang napas berulang kali. Ia lakukan itu untuk menghibur dan mengusir rasa kesedihan, ketakutan dan kekhawatiran.
Ia melakukan itu sebanyak mungkin sampai rasa itu hilang. Ketika, Naulida menyelesaikan pekerjaannya di dalam toilet dan tidak mendengar pembicaraan mereka lagi, ia ke luar toilet dan dikejutkan Alexander berdiri di depan toilet.
"Astaga," ucap Naulida sembari memegang dadanya dan memejemkan matanya sekilas.
"Kamu lama sekali di dalam sana," ucap Alexander.
"Saya lama karena melihat dan mendengar Bapak berbicara dengan Bapak Harry," ujar Naulida.
"Baiklah. Kamu boleh ke luar dari ruangan saya sebelum yang lain mengetuk pintu dan masuk ke ruangan saya," ketus Alexander.
Naulida menegang dua detik ketika mendengar dan melihat raut wajah Alexander yang berubah menjadi ketus.
"Saya minta maaf tidak memberi tahu masalah saya kepada Bapak," ucap Naulida.
"Tidak apa-apa." Alexander merespons Naulida dengan singkat.
Responsnya yang singkat membuat Naulida ingin mengetahui penyebabnya menjadi ketus dan hanya perkataan yang singkat.
"Apakah Bapak menjadi ketus karena saya?" tanya Naulida.
"Apakah saya terlihat ketus ke kamu?" tanya Alexander.
Naulida terkekeh."Iya, Bapak terlihat ketus," jawab Naulida.
"Alasannya bukan karena kamu," ucap Alexander.
"Baiklah. Saya akan kembali ke ruangan saya."
Naulida pergi dari hadapannya dan melangkah ke arah meja Alexander untuk mengambil laptop. Ia hendak membuka pintu, Alexander menghentikannya dan Naulida reflek menghentikan langkah kakinya.