"Apakah kamu mau makan siang dengan saya?" Alexander menawarkan diri kepada Naulida untuk makan siang.
Naulida menatap Alexander dengan lamat dan mematung. Alexander menggerakkan dan menggeserkan ibu jarinya di jari tengah sehingga menghasilkan bunyi. Jentikan jemarinya membuyarkan lamunan Naulida.
"Iya, Pak?" sontak Naulida.
"Kamu ditanyain malah diam," ucap Alexander.
Naulida meringis ke Alexander."Baiklah. Saya mau makan siang dengan Bapak. Tapi, saya yang menentukan tempatnya, ya, Pak," ucap Naulida.
"Nah, gitu, dong. Boleh," kata Alexander.
Naulida memikirkan makanan kesukaannya yang berada di pinggir jalan. Makanan kesukaannya adalah bakso mercon. Ia dan Alexander melangkah ke luar bersama dengan jalan sejajar sehingga sorotan mata karyawan lain beralih kepada mereka. Naulida juga sedikit mendengar perkataan mereka.
"Bu Naulida jalan dengan Bapak Alexander? Apakah mereka pacaran? Kalau pacaran tidak apa-apa, sih karena mereka cocok dan saling melengkapi," bisik beberapa karyawan.
Naulida dan Alexander terus melangkah ke parkiran mobil. Naulida berbelok ke kanan menuju mobilnya. Namun, tangan Alexander memegang tangannya dan ia berhenti sekaligus berbalik badan.
"Kenapa?"
"Kita berangkat bersama dan kamu tidak perlu ke mobil kamu," jawab Alexander.
"Jadi, seperti itu. Baiklah."
Alexander melangkah ke mobilnya dengan menggandeng tangan Naulida. Ia berdehem kepada Alexander agar melespakan tangannya.
"Ehem," dehem Naulida.
"Apa?" tanya Alexander.
"Apakah Bapak suka dengan tangan saya?" sindir Naulida.
Alexander dan Naulida berhenti di sebelah mobil sport berwarna hitam. Alexander menoleh ke bawah dan ia langsung melepaskan tangan Naulida. Lalu, ia dan Alexander masuk ke mobil sport itu.
"Maaf, aku tadi tidak tahu kalau masih memegang tangan kamu."
"Tidak apa-apa, Pak. Santai saja," ucap Naulida.
Alexander menginjak gas mobilnya dengan kecepatan normal. Karyawan yang berada di parkiran mobil memandangi Naulida dengan mengernyitkan dahi dan mulutnya sedikit terbuka.
"Apakah Bapak tadi mendengar bisikan teman-teman?"
"Bisikan karyawan yang lain tentang kita?"
"Iya, Pak."
"Saya mendengarnya tapi, saya pura-pura tidak tahu dan mendengarnya."
"Bagaimana caranya seperti itu?"
"Cuekin aja dan anggap itu semua tidak penting dan tidak berpengaruh sama kamu terus anggap itu angin lalu," jawab Alexander.
"Baiklah."
Naulida bersandar di kepala kursi mobil Alexander dengan mengalihkan pandangan ke arah jalanan yang padat dengan kendaraan bermotor, asap bus mobil yang mengepul dan hitam, anak sekolah dasar dan menegah pertama pulang sekolah dengan mencegah dan naik angkutan umum secara bergerombolan dan bersenda gurau. Mobilnya berhenti di lampu lalu lintas.
Naulida memandanginya sambil ikut tersenyum lebar ketika mereka menorehkan senyuman sampai semua barisan gigi terlihat. Ia asik dengan pemandangan jalanan.
"Senangnya bisa tertawa bebas seperti mereka," ucap Naulida dengan pelan.
Alexander memperhatikan Naulida yang asik memperhatikan anak sekolah dasar dan menegah pertama selama mobil Alexander berhenti di lampu lalu lintas.
"Apakah kamu suka melihat senyuman mereka?" tanya Alexander.
"Iya, aku suka melihat senyuman mereka karena mereka seperti tidak ada beban dalam hidupnya," jawab Naulida dengan menggerakkan bola mata ke arah Alexander.
"Semua orang telah dewasa pasti memiliki keinginan untuk kembali ke masa kecil dan aku pun juga begitu," ucap Alexander sembari melirik Naulida sekilas dan tersenyum lebar.
"Iya benar juga."
"Oh, iya, dimana lokasi bakso yang enak?" tanya Alexander.
"Bapak nanti belok kanan lalu kiri dan lokasinya sebelah kanan. Lokasinya masih di jalanan yang besar dan parkirannya sedikit," ucap Naulida.
"Tidak apa-apa. Aku nanti bisa mengaturnya," ucap Alexander.
Alexander berbelok ke kanan lalu belok ke kiri dan hitungan detik, mereka tiba di kedai bakso. Ia mematikan mesin mobil dan memperhatikan kondisi kedainya dengan mengernyitkan dahi.
"Kita makan di kedai bakso ini?"
"Iya. Apakah Bapak keberatan?"
Alexander menggeleng cepat."Tidak, saya tidak keberatan," jawab Alexander sambil melepas sabuk pengaman.
"Baiklah. Kita turun sekarang!"
Naulida turun dari mobil terlebih dahulu menuju kedai bakso dan menghampiri penjual baksonya untuk memesan makanan untuk dirinya dan Alexander. Ia juga memesan minuman untuk mereka.
"Pak, saya pesan dua porsi bakso campur ukuran biasa dan satu pentol berukuran sangat besar dengan isi cabai, ya, Pak. Minumannya es teh dua berukuran jumbo, ya, Pak dengan gula sedikit," pesan Naulida kepada penjual bakso.
"Baik, Mbak."
"Terima kasih."
Naulida berbalik badan dan melihat Alexander sedang sibuk membersihkan meja dengan menyemprot cairan ke meja dan menggunakan tisu untuk mengeringkannya. Ia terkekeh melihat kelakuannya dan menghampirinya.
"Ya ampun, Pak. Kamu sampai segitunya dan kelihatan sekali tidak pernah makan di pinggir jalan," ledek Naulida sembari tertawa sedikit keras.
"Kamu senang sekali melihatku sedikit tersiksa," ucap Alexander.
"Aku bukannya senang tapi, lucu saja melihat seorang CEO yang belum pernah makan di kedai bakso yang terkenal enak," ucap Naulida yang melihatnya dengan menampakkan barisan giginya.
Alexander menatap Naulida yang tertawa lebar. Ia sedikit tersenyum karena Naulida tertawa dengan lepas. Naulida mengambil kerupuk yang berada di dinding samping Alexander sambil tersenyum lebar.
Ia mengambil dua buah kerupuk dan mengambil tisu sebanyak empat lebar untuk alas kerupuk. Naulida meletakkan satu kerupuk di meja dan satu buah kerupuk dimakan olehnya. Alexander memperhatikan Naulida yang makan kerupuk dengan mengernyitkan dahi.
"Kenapa?"
"Apakah yang kamu makan itu enak?"
"Enak. Mau?" Naulida menawarkan kerupuk ke Alexander.
"Tidak!" tolak Alexander sembari menggeleng cepat.
Naulida memotong seperempat bagian untuk Alexander dan memberikan itu kepadanya. Ia menggeleng cepat dan Naulida semakin menggodanya. Ketika, Naulida menggoda Alexander, penjual bakso mengantarkan pesanannya.
"Permisi, Mbak," ucap penjual bakso.
Naulida menghentikan godaannya ke Alexander dan ia menoleh ke penjual bakso yang meletakkan makanan dan minumannya di meja. Lalu, penjual bakso pergi dari meja mereka.
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama."
Alexander mematung dengan bola mata yang membesar dan dua alis terangkat. Naulida menggeleng sambil menggoyangkan lengannya.
"Alexander!" pekik Naulida.
"Suara kamu keras juga," ucap Alexander dengan nada sedikit kesal.
"Kamu diam saja. Silakan dimakan."
Naulida memasukkan sambal sebanyak lima sendok di piringnya. Lalu, ia mulai makan secara perlahan tanpa meniup baksonya yang panas. Alexander sedikit membuka mulutnya dan menggeleng heran.
"Kamu makan bakso yang panas tanpa ditiup dan ukuran pentol ini besar sekali?" Alexander terkejut melihat kelakuan karyawan perempuannya dan ukuran pentolnya yang aneh juga.
"Makanan dan minuman yang panas tidak boleh ditiup, Alex. Ukuran bakso ini memang sangat besar dan isinya luar biasa," jawab Naulida."Kamu buruan makan nanti kalau dingin tidak enak ditenggorokan!" seru Naulida.
Alexander mulai makan bakso tanpa ditiup sambil merasakan rasa bakso. Naulida memperhatikan raut wajahnya yang menampakkan dahi berkerut dan ia mengarahkan sendok ke mulutnya beberapa kali.
"Enak, ya, Alex?"
Alex melihat Naulida sambil meringis."Iya, enak dan aku kepanasan karena kamu bilang tidak boleh ditiup," jawab Alexander."Kenapa tidak boleh ditiup?" tanya Alexander.
"Pilihan saya memang bagus dan di sini bersih. Kita coba pentol berukuran besarnya," ucap Naulida."Aku juga tidak tahu alasannya itu yang pernah aku dengar," jawab Naulida.
Naulida memotong pentol berukuran besar menjadi dua bagian. Satu bagian untuk Alexander dan satu bagian untuknya. Alexander terkejut melihat isi pentolnya.
"Cabai semua?" tanya Alexander.
"Iya, Pak. Coba saja, Pak."
Naulida dan Alexander mulai makan bakso mercon dan mereka membuka mulut dengan lebar sambil menggerakkan tangan di bibirnya.
"Ah, pedas!"sontak Alexander.
Naulida dan Alexander kepedasan sehingga ia memakan pentol itu dengan cepat agar tidak terasa pedasnya. Namun, rasa pedas itu semakin membara di mulut Naulida dan Alexander. Mereka mengambil minum dan meminumnya sampai habis. Alexander dan Naulida angkat tangan.
"Ampun, aku menyerah kalau makan ini lagi."
"Sama, Alex."
Alexander melihat jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangan. Naulida membersihkan mulutnya dengan tisu. Lalu, ia menghampiri penjual bakso untuk membayar pesanannya.
"Terima kasih, Mbak."
"Sama-sama."
Alexander langsung masuk mobil. Ia pun masuk mobil. Mereka kembali ke kantor dalam keadaan masih berkeringat karena pentol mercon.