"Tidak, aku tidak akan melepaskannya sampai ia mau menerimaku sebagai kekasihnya di depan kamu agar kamu tahu rasa sakit yang pernah kurasakan melihat seseorang yang kita sayang dan cintai harus menerima cinta orang lain yang juga mencintainya, Alex," tolak Satrio dengan nada tinggi sampai raut wajahnya memerah.
Satrio sangat kesal kepada Alexander seperti menyimpan dendam yang terpendam selama beberapa tahun yang lalu dan Naulida membelalakkan matanya ketika mendengar pernyataan yang mengaitkan perasaan yang ada pada dirinya dan Alexander.
Ia mengernyitkan dahi dan menatap bingung Alexander yang membulatkan matanya sambil melihat Naulida dan ia memperhatikan Alexander yang mengepalkan tangannya dengan kencang, raut wajahnya menampakkan wajah yang penuh amarah dan ingin memukul Satrio dengan menggunakan tangannya.
"Lepaskan!" bentak Alexander.
Alexander sangat kesal dengan Satrio karena telah mengambil, menutup mulut dan menyiksa Naulida dengan cara memegang dan membelakangkan tangannya di punggung.
"Tidak akan. Aku tidak akan melepaskannya karena ia milikku, Alex!" bentak Satrio.
Satrio semakin memperkuat tangannya untuk mendekap mulut Naulida. Naulida menggerakkan badan sekuat tenaga agar ia terlepas dari dekapannya. Namun, usaha Naulida sia-sia karena jemarinya semakin kuat. Ia merintih kesakitan dengan berteriak di balik tangannya.
Alexander tampak marah melihat perempuan yang disukai tersiksa seperti itu. Ia langsung berlari ke arah Satrio dan melayangkan pukulan kepadanya dengan keras sampai tersungkur ke lantai dan Naulida berlari cepat ke arah Alexander.
"Kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan Naulida selama dia berada di sisiku, Sat!" Alexander memberi peringatan kepada Satrio dengan intonasi penekanan.
Satrio merangkak dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Alexander menggandeng tangan Naulida dan melangkah ke mobil. Ia dan Alexander hendak memasuki mobilnya, Satrio tertawa jahat mendengar perkataan Alexander sambil menatap nanar kepadanya dan mengusap ujung bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah.
"Hahaha, lihat saja nanti. Aku pasti akan mendapatkan seorang perempuan yang kamu sukai," ucap Satrio.
"Silakan, aku tidak takut," kata Alexander.
Alexander dan Satrio berperang dalam perkataan dan tatapan sehingga Naulida memegang tangan seorang laki-laki yang berdiri di sampingnya sambil meletakkan kepala dan memegang lengannya karena tidak kuat berdiri dan lemas.
Alexander panik melihat kondisi Naulida yang lemas karena kehabisan darah di kakinya. Ia langsung menggendong Naulida dan membawanya ke dalam mobil menuju rumahnya.
Alexander tidak memedulikan Satrio yang tersungkur di tanah. Ia memilih menolong Naulida, perempuan yang ia sukai.
Naulida memandang Alexander dari samping dengan mata sedikit terbuka karena ia sangat lemas dan segera sampai di rumah untuk istirahat. Jemarinya menggenggam tangan Naulida dengan erat.
"Sabar, ya. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah dengan selamat."
"Rumahku di –"
"Di jalan Anggrek nomor lima blok B, kan?"
Nualida menatap Alexander."Bagaimana kamu tahu alamat rumahku?"
"Aku mengetahui dari curiculum vitae kamu ketika melamar kerja."
"Aku mengira kamu selalu menguntitku."
Alexander tertawa pelan mendengar perkataan yang keluar dari mulutnya. Naulida tersenyum lebar melihat lelaki yang membuatnya nyaman tertawa bersamanya. Mata sipitnya semakin tipis ketika sedang tersenyum.
"Apakah aku memiliki tampang mesum? Hmm?" tanya Alexander dengan mendekatkan wajahnya sekilas ke arah Naulida.
"Cukup, kamu membuatku semakin lemas, Bapak Alexander," ucap Naulida dengan tersenyum tipis sambil memegang perut.
Naulida bisa tersenyum tetapi, senyuman itu adalah senyuman palsu untuk menyembunyikan rasa trauma, takut dan sedih yang disebabkan oleh Satrio dari Alexander.
Satrio berhasil membuat Naulida takut dan mempunyai trauma dengan laki-laki. Pengalaman yang tak bisa terlupakan olehnya karena itu akan membekas dalam benak sampai ia mati.
Naulida mengalihkan pandangannya ke arah jalanan untuk mengamati jalanan malam yang sepi dan hanya terlihat lampu warga, jalanan yang menyala dengan ukuran kecil dan besar.
Ia memperhatikan jalanan dengan tatapan kosong karena memikirkan cara untuk meredakan rasa takut dan trauma agar meeting berjalan dengan lancar untuk besok pagi. Ketika Naulida memandang jalanan, ia teringat dengan perkataan Satrio mengenai perasaan Alexander kepadanya.
"Pak, aku mau tanya sesuatu."
"Tanya apa?"
"Apakah yang dikatakan oleh Satrio itu benar tentang perasaan Bapak kepada saya?" tanya Naulida sambil menatapnya.
Alexander menoleh ke arahnya dengan mulut tertutup dan mengalihkan pandangannya ke jalanan. Naulida penasaran dengan perkataan Satrio tentang perasaan suka sehingga mereka terjadi pertengkaran.
Kini, perasaannya menjadi satu dan berantakan. Ia tidak ingin memikirkan hal yang belum pasti terjadi karena Alexander dan dirinya hanya sebatas teman kerja dan jarang berkomunikasi jika, tidak ada keperluan tentang pekerjaan.
Naulida menahan rasa sedihnya agar Alexander tidak mengetahui sesuatu yang terjadi padanya. Ia menautkan barisan gigi dan mengalirkan buliran air bening di pipinya. Suara bariton Alexander membubarkan penglihatan dan pikirannya yang sedang mencari jalan keluar.
"Kenapa Naulida? Ada apa?" tanya Alexander yang menatap Naulida.
Naulida menoleh ke arah Alexander yang menatapnya sambil menggeleng dan tersenyum.
"Tidak ada apa-apa, Pak," jawab Naulida.
"Apakah kamu yakin?" tanya Alexander."Aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu dan itu terlihat sangat menyulitkanmu." Alexander menerka-nerka dari mata Naulida yang sedikit sembab.
"Saya tidak terjadi apa-apa, Pak hanya saja lelah dan sedikit mengantuk apalagi sudah semakin larut malam," jawab Naulida dengan pelan sambil tersenyum.
Alexander menoleh ke arah jam mobil sekilas."Iya, sekarang sudah jam sebelas malam. Kamu masuk dan langsung istirahat dan jika, badanmu masih sakit lebih baik kamu izin tidak masuk terlebih dahulu dan jangan khawatir untuk soal perizinannya karena saya yang mengurusnya terus jangan khawatir soal gaji dipotong karena saya mengetahui sendiri dan akan memberi tahukan kepada Papa," jelas Alexander.
"Iya, Pak. Terima kasih banyak sudah baik kepada saya," ucap Naulida.
"Sama-sama," kata Alexander."Jangan memanggil saya dengan sebutan Bapak tapi, kamu memanggil saya dengan nama tidak apa-apa dan anggap saya sebagai teman kamu ketika berada di luar kantor," pinta Alexander.
"Iya, Alexander. Terima kasih."
Tidak terasa perjalanannya dari taman menuju rumahnya telah tiba dan mobil Alexander berhenti tepat di depan rumah Naulida yang bertingkat dua dengan desain America Style bercat warna abu-abu.
"Ini, kan, rumahmu?" tanya Alexander.
"Iya, ini rumahku," jawab Naulida dengan melihat rumahnya yang lampunya telah banyak yang dimatikan.
"Aku suka rumah kamu dengan gaya amerika."
"Terima kasih."
Naulida turun dari mobil dengan lemas dan pikiran yang berantakan. Ia masuk ke rumahnya tanpa melihat Alexander yang memperhatikannya dengan tatapan sedih.
Ruang tamu, keluarga dan dapur telah tidak terdapat pencahayaan sehingga ia langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya dengan mempercepat langkahnya dan mengusap mata.
Naulida meletakkan tas di atas kasur secara kasar dan ia bercermin di depan cermin meja riasnya. Ia menatap dirinya dengan mengernyitkan dahi dan tatapan nanar sambil memegang dua buah gunung kembar.
Ia menangis sesenggukkan dengan raut wajah memerah, semua urat keluar dan menautkan semua barisan gigi. Naulida memukul dirinya dengan kencang karena ia merasa jijik terhadap dirinya. Bagaikan barang yang tak layak dipakai.
"Kurang ajar, kamu, Satrio. Kamu telah membuatku menjadi sedikit benci dan tidak percaya dengan lelaki. Kamu merusak pikiran dan diriku, Sat!" geram Naulida sembari menatap dirinya tajam di cermin dan meneteskan air bening yang tumpah tiada henti sejak ia diperlakukan buruk oleh Satrio.
Naulida mengusap kasar air mata yang jatuh ke pipi dengan memandang dirinya yang tajam. Ia tidak boleh menangisi keadaannya yang sudah terjadi karena kelakuan laki-laki yang tidak memiliki hati.
Naulida membersihkan diri di kamar mandi selama sepuluh menit sebelum tidur. Ketika ia membersihkan wajah, pikirannya mengingat kejadian di restoran.
Naulida memejamkan mata sekilas sambil menarik dan menghembuskan napas secara perlahan agar pikiran itu hilang dari benak dan usahanya berhasil. Ia melanjutkan aktivitasnya hingga selesai. Lalu, ia naik ke kasur dan memeluk guling untuk menatap langit-langit rumah berwarna putih bersih.
Ia berharap esok hari adalah hari yang cerah dengan melakukan kerjaan dan meeting di kantor karena pikrannya sedang kalut. Naulida pun memejamkan mata untuk beristirahat.