"Ada lainnya?" mata Kenny menatap dalam, dengan sabar dia menunggu jawabanku.
Aku menggelengkan kepala tetapi segera berkata:
"Ada… hmm, jika aku mengetahui ada perempuan lain, kita langsung berpisah." Kataku sambil menatap matanya yang hitam dan dalam.
"Bagaimana?"
"Laura, tidak ada perempuan lain kecuali mungkin anak kita." Katanya.
Kenny benar-benar ingin segera punya anak, pikirannya ke anak terus, padahal aku ingin menunda kehamilan untuk satu-dua tahun pertama pernikahan kami.
"Besok aku siapkan perjanjian tertulis dan kita menandatanganinya bersama, dengan saksi ibu dan Nuggie."
" Aku tidak akan mengecewakanmu." Kenny menarik tubuhku ke dalam pelukannya.
"Tahukah kamu bahwa perjanjian nikahmu ini sebenarnya aneh dan tidak lazim?"
Aku mengangguk. "Tapi kamu bersedia menandatanganinya ?"
"Untuk membuatmu merasa senang dan tenang." Kata Kenny.
Dia terlalu baik dan menjadi penurut.
Malam itu langit berwarna biru terang oleh sinar bulan, lampu-lampu rumah tetangga gemerlap memberi rasa riang seperti hatiku saat ini.
Duduk dalam dekapan Kenny membuatku tidak ingin melepaskannya lagi. Meskipun Kenny adalah guru, dia adalah pria yang suka bekerja di rumah. Telapak tangannya keras, di beberapa tempat kulitnya menebal sedangkan otot-otot di lengannya menonjol. Aku justru menyukainya. Kulihat dia sangat maskulin. Wajahnya dengan garis yang keras dan tatapannya yang dalam serta tajam membuatnya tampil sebagai pria yang dapat kupercaya akan melindungiku. Tetapi keraguan belum sepenuhnya hilang.
"Ken, apakah kamu sudah melupakan dia?" tiba tiba aku menanyakannya.
"La, jangan mundur lagi, mari kita melangkah ke depan. Lihat aku!" Kenny menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya dan mata kami saling mengunci dalam tatapan yang dalam.
Aku tahu aku mencintainya dan ingin hidup bersamanya, tetapi bayangan Marina tidak bisa kulepaskan.
"Mau kah kamu melupakan masa lalu yang menyakitkan itu? Percayakah kamu kepadaku, Laura? Kamu harus berani melakukannya." Kata Kenny.
Setelah itu dia diam, hanya matanya yang menatapku. Aku memeluknya dan menyembunyikan wajah di dada Kenny. Aku tidak menjawabnya dengan kata-kata tetapi memeluknya lebih erat lagi, merasakan detak jantungnya yang berirama menenangkan.
"Thanks, honey…" Kenny mencium kepalaku, menghirupnya seakan membuat kami menjadi satu tubuh.
Keesokan paginya aku bangun lebih pagi dari biasanya, namun tidak tahu harus melakukan apa. Aku bangun karena ingin sepagi mungkin melihat Ken. Kutemukan Ken berada di dapur bersama ibu. Dia sudah mandi dan rapi, wajahnya terlihat segar dan senyumnya melebar ketika melihatku. Kenny sedang membantu ibu menyiapkan sarapan untuk kami.
"Selamat pagi," aku menyapa dan berdiri di ambang pintu dapur.
"Nah, Ken, kamu harus terbiasa dengan Laura, dia bangun siang dan tidak bisa masak." Kata ibu kepada Kenny.
"Oke Bunda, kami akan bergantian, tugas Laura siang dan malam," kata Ken sambil mengedipkan mata kepadaku.
"Apa maksudnya?"
"Aku tidak keberatan bila kamu bangun siang." Dia mengambil kotak telur.
"Mau telur dadar!" kataku kepadanya.
"Segera disiapkan, my princes," kata Ken.
"Mandi dulu!" seru ibu. Dia mendorongku keluar dari dapur.
"Okay… Ken, tiga butir telur, please ?" kataku sambil meninggalkan dapur untuk mandi.
Sambil mandi aku membayangkan telur dadar yang akan dibikin oleh Ken.
Pasti menyenangkan kelak, bila setiap pagi Kenny menyiapkan makan pagi kami. Bukan hanya karena aku tidak bisa memasak, melainkan ada perasaan dimanjakan oleh Ken yang membuatku senang.
Dia tidak terlihat berkeberatan untuk memasak sehingga aku tidak perlu risau menghadapi protes dari suami karena tidak bisa memasak. Mama pasti bisa memaklumiku.
Keluar dari kamar, aroma telur dadar yang harum menyambutku, sedangkan ibu dan Ken duduk mengobrol menghadap meja makan.
"Maaf membuat Ibu dan Ken menunggu." Kataku sambil duduk.
Di depanku terhidang telur dadar yang digulung, terlihat pluffy berwarna kuning kecoklatan dan masih mengepulkan asap. Semangkuk salad sayur berada di tengah meja bersebelahan dengan tahu dan tempe goreng. Ibu dan Kenny juga menghadapi telur dadar masing-masing.
"Terima kasih Ken," kataku dengan terharu.
Dia yang dulu pernah akan menjadi suamiku, lalu menjadi orang asing sama sekali selama lima tahun lebih, sekarang menjadi orang yang dekat lagi. Cara dia memasak dan menyiapkan makan pagi ini membuatku merasa special.
"Selamat makan." Kata Ken singkat.
"Ummm telurnya lembut, matang tetapi lembap tidak garing, aku suka." Kataku.
"Benar, Kenny pintar memasak." Kata ibu serta memuji sambal kecap buatan Ken yang diramu dengan irisan bawang merah dan cabe.
"Ibu belum tahu kalau Ken memasak sup ikan asam… sedap sekali." Kataku.
"Itu karena kami terpaksa harus memasak, semua laki-laki di rumah bisa masak, oleh sebab itu Richard membuka kafe. Dia yang masak, bukan Adriana." Kenny menjelaskan.
Pembicaraan mengalir tentang kuliner di Pulau Bunga, kemudian soal buku-buku.
Tiba-tiba ibu melempar pertanyaan kepada kami.
"Jadi kapan kalian berencana menikah?"
Kenny menatapku. Kami belum membahas tentang rencana tersebut sehingga tidak segera bisa menjawab pertanyaan ibu.
"Kalau saya ingin secepatnya, tetapi biarlah Laura yang memutuskan." Mata Kenny menatap penuh cinta.
"Akan kita bahas." Kataku.
"Sebaiknya ibu dan Laura focus pada kegiatan ke Belanda dulu, supaya perhatian tidak terpecah. Saya hanya memerlukan kepastian dari Laura, bahwa dia setuju menikah."
Saat itu pembantu masuk sambil membawa satu rangkaian bunga lily putih dan lima kuntum mawar merah.
Aku mengembus nafas kesal.
"Kembalikan kepada bapak yang mengirim, bilang salah alamat. Nama tidak dikenal." Kataku kepada Wiwit, pembantu.
"Orangnya sudah pergi," kata Wiwit.
"Bawa kemari," kata Kenny membuat aku dan ibu menatapnya heran. Kenny meminta ponselku dan menyetelnya untuk camera lalu meminta Wiwit memotret kami. Dia meletakkan bunga di pangkuanku lalu Kenny memelukku dari samping.
"Lihat kamera!"katanya. Dia meminta Wiwit memotret beberapa kali. Salah satu foto diambil saat Ken mencium pipiku, juga foto bertiga dengan ibu. Kumisnya menggelitik sehingga aku tertawa geli.
Dia memilh tiga foto dan memintaku mengirimnya ke WA Hardy.
"Katakan terima kasih kiriman bunganya, membuat hari kita menjadi lebih indah." Ibu menggeleng-gelengkan kepala mendengar usul tersebut.
"Kamu usil," kataku.
"Dijamin dia akan berhenti mengirimimu bunga." Jawabnya.
"Ayo kirim!"
"Haha… okay." Aku mengirim pesan dan foto-foto kepada Hardy.
"Ibu akan ke kantor, kalian ikut atau tidak?"
"Ikut, yuk Ken, masih terlalu pagi untuk ke toko buku, museum atau ke mall. Kita jalan setelah waktu makan siang," aku mengajaknya.
Di kantor tanpa memperkenalkan Ken, orang-orang sudah menduga bahwa laki-laki yang ada di sebelahku ini adalah seseorang yang istimewa.
"Laura, akhirnya kamu memperkenalkan kekasihmu?" kata Jessy dengan tertawa lebar.
Para karyawan perempuan ini bekerja sekitar empat tahun lalu menggantikan karyawan yang pensiun. Mereka tidak pernah mendengar kasusku putus dari Ken di masa lalu sehingga mereka tidak mengenal Kenny.
Jessy mengajak Ken keliling kantor, melihat ruang promosi tempat kami memajang semua contoh produksi, Gudang, juga ke ruang percetakan.
Saat mereka berkeliling, aku membuka email dan membaca beberapa pesan baru khususnya yang terkait proyek digitalisasi penerbitan.
Setelah membalas semua email aku membuka ponsel dan melihat jawaban dari Hardy.
"Laura, you hurting my heart, namun aku tidak berhenti mencintaimu dan akan terus mendekatimu."
Aku menggigit bibir karena gemas. Mengapa ada pria yang ngotot seperti ini? Apa yang akan dilakukannya?
"Dok, saya menghargai Anda, mohon Anda mengerti dan tidak menganggu karena kami akan segera menikah. Salam hormat." Aku mengirim balasan kepadanya.
***