Kami menikmati makan malam dengan suasana gembira, aroma masakan dan harum mawar memberikan atmosfer menyenangkan. Duduk di sebelah Ken Bersama ibu dan Nuggie membuatku merasa tentram. Sosok Kenny yang jangkung dan tegap, tangannya yang kokoh dan wajah dengan bulu mata lentik serta berewoknya yang dicukur tipis memberi kesan 5 o'clock shadow, membuatku ingin memandangnya terus menerus.
"Berapa lama di Belanda?" tanya Kenny kepada ibu, sementara tangannya mengambil ikan dan meletakkannya ke piringku.
"Sesuai visa yang kami dapatkan, 14 hari, " jawab ibu.
"Terima kasih," kataku.
Bukankah seharusnya aku yang meladeninya, sebagai tuan rumah.
Kenny meremas bahuku ketika mendengar aku berterimakasih. Sentuhannya mengirimkan kehangatan ke seluruh tubuhku.
"Semoga nanti kegiatan bunda lancar dan mendapat kesempatan yang lebih bagus." Kata Kenny.
Dia makan pelan-pelan, menyuap seseondok lalu mengunyahnya dan membuka percakapan dengan ibu dan Nuggie. Caranya makan kali ini sangat berbeda dengan kebiasaannya makan dengan cepat. Kurasa Kenny bukan sedang makan melainkan menikmati duduk bersama dan berbincang bincang. Mata Kenny yang selalu bersinar menyiratkan sikap yang optimistis.
"Terima kasih Ken, kami memang sedang berharap ada buku-buku yang akan diterbitkan dalam bahasa asing. Laura dan Nuggie menyiapkan beberapa judul buku untuk kami tawarkan." Kata ibu.
"Saya rasa meskipun ada kemungkinan buku akan lebih banyak diterbitkan secara daring, bisnis penerbitan akan terus jalan," kata Kenny.
"Nah, itu yang akan dikerjakan oleh Laura dalam waktu dekat. Dia akan sangat sibuk untuk menggarap e-book ." Kata Nuggie dengan wajah serius.
Kurasa dia ingin memberi isyarat bahwa aku akan sangat sibuk dalam pekerjaan dan tidak punya waktu untuk urusan lain, termasuk menikah.
"Bagus untuk Laura, dia pasti akan senang dengan kesibukannya," kata Ken sambil tertawa dan mengusap kepalaku. Ken menunjukkan keintiman terus menerus, matanya menatap lembut dan aku merasa sikapnya yang berlebihan membuat Nuggie tidak nyaman.
Ponselku bergetar, kulihat ada pesan masuk.
"Ray, aku mengharapkan kamu menimbang dengan benar-benar untuk memutuskan masa depanmu. Aku ingin kamu hidup bahagia dengan mendapat suami yang tepat."
Pesan tersebut dikirim oleh Nuggie.
Kulihat dia duduk santai menikmati makanan dan sesekali menimpali percakapan dengan ibu dan Kenny.
"Nuggie, kakak tercinta yang selalu memberi perhatian, terima kasih untuk nasihatnya." Aku membalasnya.
Baru saja pesan terkirim ketika ada telepon masuk dari dr. Hardy.
Aku menjawab panggilannya.
"Laura, apa kabar, manis?" suara Hardy terdengar antusias.
"Baik. Dokter, tentang bunga sebaiknya …"
"Kamu suka bunganya? Itu mawar special."
Hardy memotong kalimatku.
"Maksudku, sebaiknya tidak usah kirim-kirim lagi." Aku berdiri mendekati pot besar berisi puluhan atau ratusan bunga mawar merah yang menebar aroma harum ke seluruh ruang. Bunga itu indah dan aku menyukainya, namun maksud pengirimannya yang membuat aku tidak nyaman dan ingin menyingkirkan bunga-bunganya.
Dari sudut mata kulihat Ibu, Nuggie dan Kenny mengikuti percakapanku, meski tidak mendengar suara Hardy, mereka pasti bisa menduga isi percakapan kami
"Laura, aku memujamu. Bunga-bunga itu mewakili kehadiranku. Please, izinkan aku untuk terus mengirimnya."
"Maaf bila terdengar kasar, tetapi lebih baik aku berterusterang. Aku tidak ingin memberi harapan kepada dokter."
"Laura… apakah karena kamu masih menunggu laki-laki yang sudah menyakitimu itu?"
"Bukan menunggu, tetapi kami akan segera menikah." kataku sambil menghadap ke Kenny. Dia tersenyum dan menatapku dengan matanya yang teduh.
"Hah… apa kamu sudah berpikir dengan jernih? Apa kelebihan dia sehingga kamu mau menerima meskipun dia sudah meninggalkanmu untuk perempuan lain?"
Ucapan Hardy sedikit melukaiku. "dia meninggalkanmu untuk perempuan lain."
Dalam beberapa detik kalimatnya serasa menusuk-nusuk dadaku, namun ketika aku memandang Kenny, aku segera dapat menjawabnya.
"Karena aku mencintainya."
"Kamu sinting Laura!" suaranya terdengar berteriak dan mengejutkan.
Aku tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis mendengar kata makiannya ini. Kami baru berkenalan dan sebenarnya belum terlalu akrab. Aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya, bagaimana karakternya, pergaulannya, teman-temannya. Tiba-tiba dia mendesakku, menelepon setiap hari dan menyatakan cinta, lalu mengirimi bunga setiap hari. Sekarang dia berani memakiku. Orang seperti apa si Hardy ini. Aku bergidik membayangkan kekasaran sikapnya. Orang seperti ini akan mengejar keinginannya sekuat tenaga, setelah berhasil dia akan meremehkannya. Kalau sekarang saja sudah kasar, bagaimana kelak sebagai suami? Wajahnya yang tampan dan statusnya sebagai dokter tiba-tiba lenyap. Aku tidak merasa perlu menenggang rasa untuknya, juga tidak perlu menghormati laki-laki seperti ini.
"Haha.. saya masih waras. Maaf dok, saya harus menutup telepon, kami sedang makan saat ini. Terima kasih." Kataku lalu memutus telepon tanpa memberinya kesempatan menjawab. Aku kembali ke kursiku dan duduk dengan kesal.
"Dia pikir siapa dirinya, semaunya menilai orang dan mendesakkan kemauan." Kataku.
Kenny berdiri dan memelukku.
"Terima kasih, sayang." Tangan Kenny yang hangat segera meredakan kemarahanku, memberi rasa aman dan aku merasakan kehadirannya untuk melindungi.
"Bagus kamu bersikap tegas," kata ibu.
"Dia merasa dirinya tinggi Bu, jadi dia pikir semua perempuan akan tergiur olehnya. Kalau dipikir-pikir dalam usianya yang sekarang dan karirnya yang cemerlang, seharusnya dia sudah punya istri atau pacar," kataku.
"Siapa dia?" tanya Kenny.
"Dr. Hardy, kamu kenal juga kan?"
Kenny mengangguk.
"Pasti ada yang aneh kalau dia belum punya pacar atau istri." Kataku.
Kenny mengatakan bahwa dr. Hardy setiap malam saat tidak piket, duduk di kafe Richard dan mengorek informasi tentang diriku.
"Aku takut kamu terpikat kepadanya, pria tampan, banyak uang dan punya karir bagus." Kata Kenny. Aku melotot kepada Kenny. Ada yang salah dengan para pria ini! Mereka meremehkan perempuan.
Nuggie yang sedari tadi menjadi pendiam, berdiri dan berpamitan.
"Saya pamit, ada janji sama teman," katanya.
Kami berdiri dan mengantar Nuggie sampai ke pintu gerbang.
"Ken, kuharap kamu mengerti dan menghargai Laura. Dia sudah banyak menderita karena ulahmu. Kalau kamu tidak bisa membahagiakannya, kurasa aku yang harus bertindak." Kata Nuggie kepada Kenny.
"Saya akan memperbaiki kesalahan. Terima kasih sudah diingatkan." Jawab Kenny.
Dia membungkukkan badan di depan Nuggie menunjukkan kesungguhan kata-katanya. Nuggie menipiskan bibirnya dan mengangguk lalu masuk ke mobilnya.
Setelah Nuggie pulang, Kenny memaksa membantu mencuci piring.
"Bunda, saya bukan mencari muka, tetapi memang sudah menjadi kebiasaan saya mencuci piring dan memasak. Laura tahu. " ucap Kenny saat ibu melarangnya.
"Baiklah, ibu menonton televisi." Kata ibu meninggalkan kami di dapur.
Kenny mencuci piring, aku menyimpan sisa makanan yang masih bisa dikonsumsi ke dalam kulkas dan membereskan peralatan di dapur.
Bekerja berdua di dapur memberikan perasaan bahwa kami berada "di rumah", menjalankan tugas keluarga bersama-sama. Mungkin kelak seperti ini yang kulakukan sehari-hari jika kami menikah. Aku tersenyum membayangkannya.
"Selain dr. Hardy, masih ada berapa orang pemujamu?" tanya Kenny.
"Banyak." Aku tertawa kepadanya.
" Kalau begitu aku pemenangnya." Kenny tertawa lebar.
"Jangan tertawa dulu, kamu kan belum mendengar syarat yang kuajukan."
"Apa pun yang kamu minta, aku akan beri." Jawab Kenny tanpa ragu.
Aku memandang matanya mencari kejujuran.
"Ken… sebenarnya aku belum yakin betul, aku masih selalu bertanya-tanya… apakah kamu bisa setia kepadaku." Kataku.
"La, aku mengerti, aku bisa memahami kecemasanmu itu, beri waktu dan kesempatan untuk membuktikannya." Jawab Kenny.
Dia membilas mangkuk terakhir, membersihkan tempat cuci piring dan mengelapnya hingga kering. Kenny bekerja dengan rapi. Dia juga mengelap semua perkakas yang tadi baru dicuci. Aku mengamatinya sambil menyusun kalimat yang ingin kukatakan kepadanya, mengenai syarat pernikahan. Pikiranku masih sibuk sendiri sehingga tanpa kusadari Kenny menarik tubuhku dan mencium bibirku. Kenny mengisapku melalui ciumannya yang mengalirkan getar-getar di seluruh tubuh. Badanku terasa tanpa tulang merasakan kenikmatan ini. Lidah Kenny mendesak masuk ke mulutku dan membawaku dalam tarian, melayang-layang ke angkasa. Jika Kenny tidak memeluk erat tubuhku, mungkin aku sudah jatuh terduduk. Dia melepas bibirku yang terasa panas dan tebal saat aku kehabisan nafas.
"Kamu…"
"Suka?"
Dia menggodaku. Kurasakan wajahku hangat. Dulu dia sering menciumku seperti ini. Ah Kenny… kamu luar biasa.
Belum sempat nafasku menormal, Kenny melanjutkan ciumannya dan… dan aku tergerak membalasnya. Kami berciuman seakan bia menyatukan diri dan jiwa. Merasakan kenikmatan ragawi yang membuat tubuhku seperti tersengat listrik nerkali-kali.
Kenny melepaskan ciumannya lalu menangkup wajahku.
Aku mendorong dadanya dan menatap mata Kenny yang terlihat menatapku dengan kasih sayang. Aku bisa merasakannya, dia tidak perlu mengucapkannya. Aku memeluknya dengan erat.
"Jangan tinggalkan aku lagi," kataku sambil menyembunyikan wajah di dadanya. Kudengar degub jantung Kenny yang berirama cepat dan berentum-dentum. Kurasakan gairahnya juga gairahku.
"Tidak akan pernah!"
"Mari duduk di depan, aku beri tahu syaratku," kataku sambil masih terengah. Aku ingin mendengar tanggapannya setelah Kenny mendengar permintaanku.
Ibu duduk di ruang tengah menonton tv, kami memilih duduk di beranda samping.
"Katakan." Kata Kenny setelah kami duduk.
"Aku tidak ingin melepas pekerjaanku di sini."
"Tentu saja tidak." Kata Kenny segera.
"Kamu harus memberi izin aku pulang ke Jakarta setiap aku inginkan."
Kenny tersenyum mendengar permintaan tersebut, mungkin dia berpikir aku kekanak-kanakan.
"Kamu tahu ibu sendiri di rumah ini, kasihan bila aku tidak sering menengoknya."
"Aku bisa mengerti, ayo lanjutkan."
"Aku tidak ingin segera punya anak, pekerjaan masih banyak."
Kenny menatapku tetapi tidak menjawab, baik dengan kata-kata atau kedipan mata, sebuah angukan. Dia pasti keberatan.
"Ken…"
"Berapa lama?"
"sampai aku siap."
Kenny mengusap kepalaku.
"Berat bagiku, tetapi tadi aku sudah bilang, apapun yang kamu minta aku menyetujui.
***