Sudah lima hari Kenny tidak menghubungiku dan ini membuatku gelisah. Setiap kali hp berdering aku berharap mendapat telepon darinya, namun berkali-kali aku kecewa, sebab ternyata telepon masuk dari orang lain.
Pada siang hari aku terus memikirkan Kenny, namun perhatian teralihkan oleh kesibukan kerja yang semakin padat dan persiapan ke Belanda yang semakin dekat. Ibu dan aku membeli tiket, mengajukan permohonan visa, belanja baju dan mengemas bawaan.
Di antara rasa malu dan rindu yang menekan, beberapa hari ini aku ingin menelpon Kenny tetapi selalu kubatalkan.
Malam ini dadaku terasa sesak menyimpan kerinduan kepadanya. Suara Kenny terdengar di rongga kepala, wajah dan senyumnya terlihat di dinding, di langit, di pohon sedangkan pelukannya kuinginkan.
Aku tidak lagi mampu menahan tekanan itu, dengan jari gemetar kutekan nomor teleponnya, membuat video call, aku ingin melihat wajah dan senyumnya, bukan sekedar suaranya.
Ketika telepon tersambung, aku melihat wajah Kenny dan mendengar suaranya dengan nada rendah dan pelan.
"Laura… aku senang kamu menelepon," katanya.
Perasaan tertekan yang sejak beberapa hari ini menyesakkan dadaku segera terdorong keluar. Airmataku tercurah tanpa dapat kutahan.
"Hei… kenapa La?? Apa yang terjadi?"Kenny panik dan mengernyitkan kedua alisnya yang tebal.
"Kenapa… kenapa Ken tidak menelpon, tidak kirim WA?" Aku mencecarnya sambil menangis.
"Maaf tidak sempat menelpon," katanya.
" Minggu lalu bisa kenapa sekarang tidak? "
"Laura, setiap mendengar suaramu membuat hatiku gembira. Aku memikirkanmu setiap saat," katanya.
"Aku benci kamu… benci," kataku sambil mengusap air mata dengan punggung tangan.
"Hey… Do you miss me?" suaranya terdengar dekat, dia menatap dengan matanya yang hitam dan dalam.
"Tidak! Aku hanya ingin mendengar suaramu, melihat senyummu…"
Kenny terdiam. Di layar telepon kulihat wajahnya tertegun.
" I'm here." Suaranya sangat menenangkan.
Dia tersenyum geli.
"Kenapa tertawa?"
Kenny menggelengkan kepala dengan bibir yang tersenyum semakin lebar.
"Kenapa kamu tidak mau mengaku kalau rindu kepadaku?" katanya.
Aku ingin berada di dalam pelukannya seperti yang dilakukan waktu itu. Aku merindukannya, aku tidak ingin kehilangan Kenny lagi.
"Ken, jangan tinggalkan aku lagi." Kataku kepadanya.
"Laura, aku bahagia mendengarmu."
"lalu kenapa tidak menghubungiku selama lima hari?"
"Sebenarnya aku baru sembuh, kemarin demam tinggi, infeksi lambung." Kata Kenny dengan serius.
"Oh… aku tidak tahu, tidak ada yang beri tahu. Bagaimana sekarang?"
Wajahnya terlihat sabar dan matanya memancarkan cinta.
"Aman, kemarin dirawat di rumah sakit tiga malam. Aku tidak ingin membuatmu cemas." Katanya.
Kalau aku tidak terlalu sombong mungkin bisa mendapat informasi mengenai keadaan Kenny dari Adriana atau Richard, namun karena aku tidak ingin diketahui bahwa aku masih mencintai Kenny dan mengharapkannya, maka aku menjadi seperti terkucil.
Aku bertanya bagaimana dia bisa mendapatkan penyakit tersebut
"Laura, my sweetheart, sekarang aku sudah sehat. Bagaimana denganmu? Tanggal berapa kamu pergi?"
"Besok lusa, tanggal 28."
"Jaga kesehatan, jangan terlalu lelah dan nikmati perjalananmu."
"Hmmm."
"Sudah malam, tidurlah, besok kita bertemu lagi." Katanya.
Aku mengangguk, kali ini ingin mendengar dia menyatakan cinta, namun terlihat Kenny tidak akan mengatakannya.
"Stay safe for me Laura, I need you."
Ah… kata-kata Kenny mempunyai makna yang lebih dalam dari tiga kata ajaib itu, I Love You. Aku seperti melambung tinggi dalam kebahagiaan, merasa diperlukan, tetapi setiap saat aku dalam situasi ini, maka wajah Marina terbayang, menggangguku.
"Selamat malam Ken, peluk cium untuk mama." kataku.
"Untukku mana La?" matanya menggoda.
"kamu yang peluk."
"Okay. Tidurlah, besok kamu kerja pagi," Kenny mengecup ujung jarinya dan dan mengarahkannya kepadaku. Aku membalasnya.
"Daaaah…" Sambungan telepon berakhir.
Kutatap langit-langit sambil melekatkan jari-jariku ke bibir, membayangkan Kenny yang menyentuhnya.
Aku tertidur nyenyak, tidak terbangun sama sekali hingga pagi juga tidak ada mimpi buruk lagi. Perasaan yang nyaman membuat tidur menjadi nyenyak.
Ada pesan dari Kenny di ponselku.
"Selamat pagi Laura, tidak sabar untuk berjumpa denganmu."
Tapi malam dia mengatakan "sampai jumpa besok, tetapi tanpa mendengar suara dan melihat wajahnya melalui video, aku belum merasa berjumpa.
"Datanglah setelah aku pulang dari Belanda." Aku membalas pesannya.
Dia pasti sudah di sekolah dan akan menjawab pesan pada waktu istirahat siang. Kenny orang yang disiplin. Dia melarang murid memakai hp pada jam belajar dan dia memberi contoh juga tidak mengoperasikan ponselnya saat mengajar.
Pagi-pagi di kantor ibu memanggilku dan Nuggie.
"Kalian sudah baca email tawaran kerjasama penerbitan e-book oleh Dipabook?" tanya ibu begitu kami duduk berhadap-hadapan.
Kami mengangguk bersamaan.
"Saya rasa bagus, saling menguntungkan." Kata Nuggie.
"Pelajari lebih teliti untuk kemungkinan yang lebih baik. Proyek ini bagian Nuggie." Kata ibu.
Aku menjadi lega, sebab beban pekerjaanku masih banyak. Ada tiga buku yang antri untuk diedit dan semua harus selesai akhir bulan depan.
"Untuk Laura, ada pekerjaan lain. Kita diberi kesempatan mengajukan proposal serial buku ilmiah popular untuk anak SD dan SMP. Kamu bikin draft proposal lengkap dengan judul dan topik 12 buku."
Serasa tersiram seember air es, tubuhku segera kaku.
"Bu… kerjaanku masih banyak."
"Bersyukurlah, banyak orang tidak bisa kerja."
Uhhh perempuan ini, kalau soal pekerjaan dia sekeras besi. Aku mengeluh diam-diam.
"Kamu pasti bisa Ray, dan tugas itu akan menyenangkan, membuatmu bersemangat. Aku akan bantu jika kamu merasa perlu." Nuggie menyemangatiku.
"Baiklah."
"Ngomong-ngomong hari ini ada kiriman bunga lagi nggak ya? Siapa sih pria itu? Hendra?" tanya Nuggie.
Aku cepat-cepat menggeleng.
"Bukan."
"Hardy, atau ada orang lain?"
Ibu melirikku.
"Mana aku tahu!" kataku sambil mengangkat bahu.
"Tidak bisa menduganya?" Nuggie masih mendesak.
"I don't care! Sudah bu rapatnya? Hari ini aku ingin kerja lembur dan besok tidak ke kantor." Kataku.
"Sudah."
Kami meninggalkan ruang kerja ibu untuk kembali ke t empat masing-masing.
"Ray… kamu sungguh tidak bisa menerimaku?" tanya Nuggie ketika kami berjalan bersama-sama dari tempat ibu.
"Nug, kakakku tersayang, lihatlah banyak perempuan lain di sekitar kita. Kamu tahu jawabanku." Kataku sambil bergelayut manja di lengannya.
"Tapi aku tertarik hanya kepadamu."
"Maaf, sepertinya aku akan menerima ajakan Kenny."
"Ray… apa sudah pikir baik – baik?"
"Sudah." Kataku melepaskan lenganku darinya dan masuk ke kamar kerjaku.
"Ray..."
Kuputuskan untuk menyiapkan soft copy buku yang harus kuedit, biasanya banyak waktu menunggu di bandara, apalagi kami akan transit di Kuala Lumpur beberapa jam.
Setelah materi editing kusiapkan, aku mulai memikirkan tugas baru dari ibu.
Namun rencanaku untuk ngelembur menjadi buyar ketika siang itu aku mendapat telepon dari Kenny.
"Laura, aku sudah di bandara Kota Jaya, transit. Sore nanti kita bisa berjumpa."
"Hey… apa? sungguh? Kamu sengaja mengejutkanku?" hatiku terasa berdebaru-debar gembira. Tadi malam dia tidak mengatakan apa apa tentang rencana kedatangannya.
"Apa kamu bisa menjemputku di bandara?"
"Tentu, berikan nomor penerbangan dan jadwal mendarat." Aku bersemangat. Kenny akan datang! Dia mengunjungiku.
"Segera kukirimkan. Sampai nanti La."
Aku menuju ke ruang kerja ibu dengan langkah tergesa-gesa untuk mengabarkan kedatangan Kenny.
"Bu, Ken sore ini datang. Dia sedang dalam perjalanan." Rasanya nafasku menipis karena terlalu bersemangat.
"Eh…tiba-tiba begini?" wajah ibu terlihat cerah dan dia tersenyum. Kenny pernah sangat akrab dengan ibu, mereka memiliki kegemaran yang sama yaitu bermain musik.
"Telepon orang di rumah untuk menyiapkan kamar." Kata ibu.
"Sudah, baru saja kulakukan."
Ibu menyarankan aku ke bandara dengan Jo sedangkan dia akan pulang naik taksi atau minta diantar Nuggie.
"Sebaiknya dengan Nuggie, kita makan malam bareng," kataku.
Aku ingin Nuggie mengenal Kenny lebih dekat.
"Baik sudah."
Aku menjemput Kenny di Bandara. Pada saat dia berjalan keluar dari ruang kedatangan, rasa rindu kepadanya tidak dapat kutahan. Kami berpelukan dan Kenny mencium pipi serta keningku.
Aku merasaka kehangatannya dan cintanya, seperti kembali pada enam tahun yang lalu, kami melompati masa enam tahun yang terlewat.
"Thanks La." Suara khas kenny yang berat dan dalam terdengar merdu.
" Aku senang Ken datang." Kataku menatap matanya yang lebar dan hitam, yang selalu mengisapku ke dalamnya.
"Kamu tidak bertanya mengapa aku datang?"
"Tidak perlu," kataku.
Kenny hanya membawa tas kecil, berpakaian kasual dan terlihat segar. Rambutnya terpangkas rapi.
Dalam perjalanan dia melihat keluar jendela mobil.
"Sudah enam tahun aku tidak menginjakkan kaki di sini," katanya.
Tangan kami saling menggenggam. Aku merasa aman dan tenanf. Hanya dengan Ken aku bisa mendapat perasaan seperti ini. Kukira, aku memang terus mencintainya.
"Aku ingin mendapat kepastian sebelum kamu ke Belanda, " bisik Kenny di telingaku.
Kurasa aku sudah memaafkannya dan mulai membangun kembali kepercayaanku kepada Kenny dan aku juga tidak peduli dengan statusnya sebagai duda.
Kami tiba di rumah.
"Ayo masuk, ibu dan Nuggie sudah menunggu."
Kami berjalan masuk sambil berganden tangan.
Pada saat membuka pintu, di lantai ruang tamu terlihat rangkaian bunga mawar merah yang sangat besar, berbentuk hati.
"Kamu memberi sambutan yang luar biasa," kata Kenny. Namun aku terpaku menatap ratusan mawar merah itu. Hardy pasti sengaja mengirimnya ke rumah.
Ibu mengangkat bahu.
"Kenny, selamat datang kembali di rumah." Sapa ibu.
***